Selibat


Pertanyaan Intro

Apa yang pertama kali muncul di benak kalian saat pertama kali kalian mendengar kata selibat?
Jika kalian merasakan panggilan untuk hidup secara selibat, apakah yang akan kalian lakukan? Sharingkan!

Apakah Selibat

Selibat adalah sebuah bentuk panggilan hidup. Dalam konteks ini selibat memiliki makna penyerahan hidup, pembaktian hidup yang murni dan total kepada Tuhan demi Kerajaan Allah. Pembaktian hidup yang murni dan total terwujud dalam hidup tidak menikah demi Kerajaan Allah. Hal tersebut menegaskan pada makna Kanon Hukum Katolik (KHK) 599:
Can. 599 The evangelical counsel of chastity assumed for the sake of the kingdom of heaven, which is a sign of the world to come and a source of more abundant fruitfulness in an undivided heart, entails the obligation of perfect continence in celibacy.

Selibat merupakan inti atau hakikat hidup bakti, sebab dengan kaul itu orang membaktikan diri secara total dan menyeluruh kepada Kristus. Selibat tidak sama dengan tidak kawin. Itu bukan inti pokok hidup membiara. Yang pokok adalah penyerahan total kepada Kristus, yang dinyatakan dengan meninggalkan segala-galanya demi Kristus dan juga dengan terus-menerus semakin mengarahkan diri kepada Kristus, khususnya dalam hidup doa.

Menikah vs Selibat

Ada satu pertanyaan yang sangat penting untuk direnungkan: Apakah Anda terpanggil untuk menikah? Ataukah Allah justru memanggil Anda untuk hidup membujang (selibat)? Pertanyaan ini penting karena Alkitab memang mengajarkan karunia selibat. Ada beberapa orang yang memang dipanggil oleh Allah untuk tidak menikah.

1 Kor 7:1-40

[table “” not found /]

Rasul Paulus mengatakan di sini bahwa adalah baik untuk hidup selibat, namun untuk itu seseorang memerlukan rahmat yang istimewa dari Tuhan (ay.7). Mengingat keadaan moral di Korintus yang sangat aktif dipengaruhi oleh ketidakmurnian sehingga dapat meningkatkan banyak godaan,maka lebih baik bagi mereka yang tidak mempunyai karunia untuk hidup selibat untuk menikah.

Rasul Paulus sendiri hidup selibat. Ia menginginkan orang lainpun seperti dia, sehingga dapat mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Namun ia juga mengakui bahwa hidup selibat merupakan karunia istimewa dari Allah, seperti yang diajarkan Kristus (lih. Mat 19:11-12). Ini adalah tanggapan terhadap kasih yang telah dinyatakan oleh Yesus secara tak terbatas. Rahmat dengan kekuatan ilahi meningkatkan kerinduan bagi orang-orang tertentu untuk mengasihi Allah dengan total, eksklusif, tetap dan selama-lamanya. Maka keinginan bebas untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah dengan hidup selibat selalu dianggap Gereja sebagai sesuatu yang menandai dan mendorong kasih.

“perkara duniawi” (ay 33, 34): menunjukkan bahwa mereka yang menikah tidak dapat mengabaikan kebutuhan- kebutuhan material dalam keluarga. Bahkan suami (kepala keluarga) tidak dapat menyenangkan Tuhan jika ia tidak memenuhi kebutuhan keluarganya. Maka tidak benarlah jika seseorang terlalu aktif mengikuti kegiatan kerasulan awam, sampai menelantarkan keluarga dan kebutuhan keluarganya sendiri.

Rasul Paulus menjelaskan keistimewaan kehidupan selibat dibandingkan dengan perkawinan. Kehidupan selibat ini akan menuju kepada kehidupan yang penuh dan produktif sebab akan membuat seseorang dapat mengasihi sesama dengan lebih penuh dan mengabdikan diri kepada mereka dengan lebih total. Juga kehidupan selibat mengacu pada dimensi kehidupan di akhir jaman: tanda kebahagiaan surgawi (lih. Vatikan II, Perfectae caritatis, 12) dan mengacu pada kehidupan para kudus di surga.

Mat 22:30

Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.

Rasul Paulus mengajarkan bahwa Perkawinan adalah sesuatu yang baik. Dan di ayat 25-35, Raul Paulus ingin mengatakan bahwa bukan hanya kehidupan selibat yang dapat dilakukan oleh umat Kristiani. Maka ia menyatakan dua hal yang mendasar yaitu memang kehidupan selibat berada di tingkat yang lebih tinggi dari perkawinan, tetapi perkawinan adalah sesuatu yang baik dan kudus bagi mereka yang terpanggil untuk itu.

Ada beberapa tanda jika seseorang terpanggil untuk hidup selibat:

  1. Memiliki fokus hidup untuk Tuhan.

    Setiap orang Kristen memang harus mengasihi Allah dengan seluruh hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan (Markus 12:30), namun ada sebagian orang yang dikhususkan oleh Tuhan untuk lebih terfokus bagi pekerjaan-Nya. Merekalah yang diberi karunia selibasi. Di antara berbagai alasan untuk hidup selibat, Tuhan Yesus menyebutkan hal ini: “Ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” (Matius 19:12). Pada saat menasihati jemaat untuk mempertimbangkan keputusan menikah maupun selibat, Paulus menerangkan bahwa orang yang tidak menikah “memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan” (1 Korintus 7:32-35).

    Beberapa orang tidak mau menikah lantaran tidak ingin repot mengurusi pasangan atau anak-anak. Mereka ingin menikmati hidup dan menghindari masalah. Motivasi semacam ini jelas tidak alkitabiah. Selibasi bukan untuk berpusat pada diri sendiri, melainkan pada Tuhan. Orang yang terpanggil untuk selibat harus siap dengan satu resiko: kekurangan waktu untuk diri sendiri. Allah sengaja memanggil mereka untuk tidak menikah supaya mereka benar-benar mampu mencurahkan segala perhatian, waktu, dan tenaga untuk pekerjaan Tuhan. Mungkin untuk mengasihi orang-orang yang kurang beruntung menurut ukuran dunia. Mungkin untuk memberitakan injil di tempat-tempat yang begitu sulit. Dalam hal waktu, Allah mungkin lebih menuntut (more demanding) daripada suami atau isteri.

  2. Memiliki keyakinan yang teguh dalam hatinya.

    Ketetapan hati memainkan peranan penting dalam keputusan untuk menjalani selibasi. Keputusan penting ini tidak boleh sekadar emosional, melainkan melibatkan pertimbangan yang matang.

    Dalam banyak kasus, keyakinan terhadap panggilan selibat muncul melalui proses yang sangat panjang dan beragam. Ada yang secara spektakuler dan eksplisit diberi tuntunan oleh Tuhan. Ada pula yang harus menghadapi kebingungan dan kegelisahan untuk menuju kepastian. Terlepas dari perbedaan suasana perjalanan menuju keyakinan, langkah awal yang ditempuh tetap sama: secara terbuka berani menggumulkan keputusan ini di hadapan Tuhan.

  3. Menguasai dorongan seksual dalam dirinya.

    Orang yang terpanggil untuk hidup selibat mempunyai dorongan seksual tetapi sangat mampu mengontrolnya (“memiliki otoritas atas kehendaknya”). Intinya, godaan seksual bukanlah hambatan bagi orang-orang yang diberi karunia selibasi.

How do I know if God is calling me to religious life?

“To know whether God will have a person become a religious it is not to be expected that God Himself should speak, or send an angel from heaven to signify His will. It is not necessary that ten or twelve confessors should examine whether the vocation is to be followed. But it is necessary to correspond with the first movement of the inspiration, and to cultivate it, and then not to grow weary if disgust or coldness should come on. If a person acts thus, God will not fail to make all succeed to His glory. Nor ought we to care much from what quarter the first movement comes. The Lord has many ways of calling His servants.” – St. Francis De Sales

Apakah kalian merasakan:

  • Keingingan kuat untuk dekat dengan Tuhan?Have a desire to be close to God?
  • Mempunyai keinginan kuat untuk sesuatu yang lebih dalam hidup kalian?
  • Berpikir tentang kehidupan religius belakangan ini?
  • Merasakan kasih yang semakin kuat terhadap Ekaristi?
  • Merasakan Tuhan memanggil kalian untuk sesuatu yang lebih?

Ambillah waktu untuk discern dan berdoa, juga dalam komunitas. Often repeat these words of St Paul and St Francis of Assisi, “Lord, what will you have me to do?” – and listen to your heart – a heart open unconditionally to fulfil His will.

Conclusion

Keinginan untuk hidup selibat pastilah dikaruniakan dari/ panggilan dari Allah, karena tidak ada orang yang mampu menjalankannya, hanya mereka yang dikaruniai saja. Perhatikanlah, kemampuan untuk menahan diri dari keinginan-keinginan badaniah merupakan karunia khusus dari Allah untuk sebagian orang saja, dan tidak kepada yang lain. Ketika seseorang yang dalam hidup melajangnya menyadari sendiri bahwa ia memiliki karunia ini, maka baiklah ia berteguh hati untuk tidak kawin, dan tetap menguatkan keinginan hatinya untuk tetap hidup demikian. Dalam masalah ini, baiklah kita berhati-hati, jangan sampai kita menyombongkan karunia yang tidak ada dalam diri kita (Amsal 25:14).

Karunia selibasi dapat dilihat dari kehidupan beberapa tokoh Alkitab yang saleh. Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis, dan Paulus adalah beberapa nama yang pantas disebutkan secara khusus. Dorongan di balik kehidupan selibat yang mereka jalani pasti bukan bersifat kultural. Budaya pada waktu itu bahkan memandang selibasi sebagai sesuatu yang kurang lazim. Gaya hidup ini bukan pilihan normal bagi banyak orang. Dalam budaya yang sangat patriakhal (berpusat pada jalur laki-laki), kelanggengan sebuah keturunan atau keluarga diteruskan melalui pernikahan anak laki-laki. Banyak hal dipertaruhkan pada saat seorang laki-laki memutuskan untuk hidup selibat: kehormatan, warisan, nama keluarga, dsb. Di samping itu, dalam budaya Yahudi banyak anak identik dengan banyak berkat Tuhan. Keluarga besar adalah kebanggaan. Menikahkan semua anak dipandang sebagai sebuah pencapaian. Di tengah budaya semacam ini, kehidupan selibat yang dipilih oleh Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis, dan Paulus pasti didorong oleh faktor theologis. Pilihan mereka bersifat kontra-kultural (bertentangan dengan budaya). Mereka meyakini bahwa selibasi adalah panggilan ilahi.
Pemaparan di atas mengingatkan kita bahwa selibasi bukanlah sebuah aib. Bukan sebuah kemalangan. Bukan pula sebuah kutukan. Bagi yang terpanggil untuk menjalaninya, selibasi adalah kehidupan yang indah.
Yang paling penting adalah mengenali karunia dan panggilan ilahi dalam hidup masing-masing orang. Ingat, tidak ada seorang pun yang hidup untuk dirinya sendiri. Roma 14:8 mengatakan: “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan”. Dialah yang berhak menentukan dan mengarahkan seluruh kehidupan kita. Jikalau Dia memanggil Anda untuk hidup selibat, terimalah dan nikmatilah.

Pertanyaan Sharing:

1. Setelah membaca bahan di atas, apakah ada perubahan dalam pandangan kalian tentang hidup selibat?
2. Apakah kalian mengenal seseorang yang hidup selibat secara religius ataupun awam? Bagaimana pandangan kalian tentang kehidupan mereka?

Ref:

  • http://www.katolisitas.org/selibat-bentuk-solidaritas-orang-yang-terpinggirkan/
  • http://www.katolisitas.org/menikah-atau-selibat-1-kor-7-1-40/
  • http://rec.or.id/article_736_Bagaimana-Mengetahui-Panggilan-Untuk-Selibat?
  • http://pendalamanimankatolik.com/tag/selibat/
  • https://www.catholic.sg/participate/vocations/