Sesi 31 - Week of 10th June 2018

Spiritualitas Penderitaan 


Intro

Untuk bahan CG kali ini, kita mau mencoba membahas mengenai apakah sebuah penderitaan itu memiliki makna spiritualitas yang bisa kita renungkan atau dapat kita hidupi?

Secara singkat, pada bagian awal akan diberikan gambaran mengenai karakter dari spiritualitas Katolik hingga tiba pada sebuah pemahaman pada kehidupan sebagai sebuah liturgi yang hidup dan berkenan kepada Allah.

Berikutnya, kita akan memperdalam mengenai makna dari derita – penderitaan. Ada begitu banyak pemahaman dan konsep. Namun kali ini kita akan melihat arti penderitaan dari sudut pandang kesehatan. Kitab suci sebagai sebuah pedoman dasar kita, akan memberikan pengalaman – pengalaman tentang penderitaan yang merefleksikan dari sudut pandang kita tentang Allah. Bagaimana pergulatan para tokoh dari Perjanjian Lama dan Baru menghadapi misteri penderitaan ini. Bahkan Yesus pun, Putra Allah yang hidup, juga mengalami hal yang sama di kayu salib.

  1. Spiritualitas

Berbicara tentang spiritualitas, kita bisa belajar memahami maknanya dari para Bapa Gereja hingga abad VI. Pemahaman ini diteruskan oleh para orang kudus seperti St. Theresa dari Avila, St. Ignasius dari Loyola dan St. Yohanes dari Salib. Mereka lebih menitikberatkan lika-liku yang dialami manusia dalam kehidupan rohani, terlebih dalam doa. Mereka banyak memperkenalkan bentuk-bentuk formasi kehidupan rohani dalam bentuk-bentuk praktek kesalehan, devosi, latihan rohani, doa, dll.

Dengan demikian, kata kunci untuk memahami kata spiritualitas adalah pengalaman religius. Apa artinya? Kita bisa berangkat dari sebuah pengalaman kita sendiri dalam memupuk kehidupan rohani, misalnya dengan berdoa. Kita semua lahir, dibesarkan dan bersosialisasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda strukturnya? Maka, pengalaman rohani / pengalaman batin / pengalaman spiritual adalah sebuah pengalaman eksistensial, pengalaman bersejarah, progresif. Kita bisa mengambil dan mempelajari pengalaman dari para orang kudus. Pergulatan mereka dan kesaksian mereka adalah sebuah contoh, model, dan bukan sebagai hukum universal yang harus dijalankan demikian. Dinamika pengalaman rohani mereka adalah sebuah partisipasi yang mengarah kepada kepenuhan panggilan umum yang ditujukan kepada kita juga, yaitu dipanggil kepada kekudusan, panggilan kepada kesucian Allah. Di dalam panggilan ini, ada aspek-aspek yang berbeda tentang kekudusan dan di dalamnya, kehidupan rohani mengintegrasikan kehidupan manusia secara penuh dan utuh dalam perjumpaan dengan Allah.

Pengalaman rohani masing-masing orang dalam konteks konkrit yang dihadapinya, mendeskripsikan perkembangannya serta struktur-struktur dinamikanya. Spiritualitas ini menawarkan kesatuan dalam hidup, yang merupakan sebuah terjemahan yang bergulat tentang persoalan dan cara berpikir, bertindak, berdoa dan merayakan budaya kehidupan sehari-hari. Spiritualitas Katolik bukanlah ide, tapi keselarasan hidup dalam perjumpaan dengan Allah, sesama, diri sendiri dan alam semesta. St. Paulus merangkumkan ini kepada jemaat di Roma sebagai sebuah liturgi kehidupan demikian: Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (Rm 12:1)

  1. Derita

Kata penderitaan adalah konsep relatif. Lingkup kita dipersempit pada soal kesehatan dan mistik kristiani, berangkat dari pengalaman biblis, liturgis dan spiritual.

Di satu sisi, ada sebuah pengalaman dimana seseorang yang sakit bisa merasakan bahwa semuanya okay. Atau di sisi lain, kita bisa juga bertemu dengan seseorang yang nampak sehat-sehat saja, tapi dirinya sendiri merasa ada saja sesuatu yang tidak beres.

Derita atau penderitaan kerap diasosiasikan dengan kesehatan fisik, penyakit. Namun, ada juga yang memberikan deskripsi tentang kesehatan pada tiga level. Pertama, dari segi fisik, orang yang sehat itu segala struktur fisiknya berfungsi dengan baik. Segala kebutuhan dasarnya bisa dijalankan secara normal. Kedua, dari segi mental, orang yang tidak sehat bisa merasa bahwa dia sehat. Pemahaman pribadi tentang kesehatan yang dialaminyalah yang menentukan baik atau tidaknya seseorang. Orang bisa merasa sehat, meski organnya sakit berat. Ketiga, dari segi spiritual, lebih menekankan soal ada dalam keadaan baik. Deskripsi ketiga ini lebih mengarah pada dimensi spiritual, dalam konteks bahwa manusia menghidupi kehidupannya selaras dengan alam sekitar.

Pada level ketiga ini, konsep kesehatan ada dalam konteks lebih luas dan menciptakan program perencanaan hidup. Ada sebuah visi transendental di mana kehidupan itu lebih daripada kesehatan – penderitaan. Dia berusaha untuk menyadari penderitaan, menerimanya, dan mengolahnya dalam relasi dengan yang transenden.

  1. Tradisi Kitab Suci

Bagaimana Kitab suci memberikan deskripsi dan pemahaman tentang penyakit dan penderitaan? Perjanjian Lama menyodorkan sebuah mitos tentang dosa.  Beberapa teks menggambarkan pemahaman tentang dosa ternyata lebih menarik perhatian daripada beban penderitaan yang harus ditanggung. Kita bisa melihat ini dalam pengalaman dialog Ayub dengan tiga sahabatnya.

Ada semacam trilogi yang mengatur kondisi manusia, yaitu tindakan bebas manusia, keadilan Allah, berkat atau kutuk sebagai efek sampingnya. Yang menjadi pusat perhatian adalah sikap manusia terhadap perjanjian: apakah manusia taat atau memberontak pada perjanjian itu?

Visi uniter tentang Allah, yang memberi berkat atau kutuk menjadi kental ketika manusia itu taat atau melanggar perjanjian dengan Allah. Mari coba dibandingkan pengalaman Mzm 61:6 «Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa, dan melakukan apa yang Engkau anggap jahat». Terhadap visi semacam ini, kita bisa bertanya, apakah doktrin keagamaan menyiksa penderita? Dari pengalaman Ayub, dia hanya mengharapkan belas kasih dari rekan-rekannya, bukan penjelasan religius tentang doktrin keagamaan. Dia sudah banyak menderita meski tidak bersalah. Apakah penderitaannya harus ditambah lagi dengan beban doktrin keagamaan yang mengatakan bahwa kalau orang itu menderita, berarti dia pasti bersalah kepada Allah, sesama dan alam semesta? Kalau dia tidak bersalah, apakah kita harus mencari-cari kesalahan di dalam keluarganya, di dalam diri nenek moyangnya bahwa itu merupakan sebuah dosa turunan? Apakah peneguhan atas derita sebagai akibat dari dosa itu harus dicari dan ditemukan dalam sejarah? Kalau begini, apa yang harus kita katakan tentang Yesus yang wafat di salib seperti para penjahat? Apakah dia juga penjahat yang berdosa? Seolah-olah ada sebuah tuduhan membisu di sini bahwa Allah (yang berdiam diri) bertanggungjawab atas kebahagiaan dan penderitaan manusia yang tidak bersalah. Benarkah demikian?

Persoalan penderitaan masih belum terselesaikan. Ketegangan antara hasrat kuat untuk sembuh dan retorika penebusan itu masih ada. Orang yang mengalami penderitaan, tentu berharap untuk segera sembuh. Bagaimana persatuan dinamika ini dengan misteri Yesus yang menerima penderitaan sebagai bagian dari sejarahnya? Bagi Yesus pun, penyakit dan penderitaan masih merupakan bagian dari kematian. Melihat pengalaman salib demi pengalaman penderitaan itu sendiri tentu bukan sebuah salib yang menebus. Yesus tidak melihat salib sebagai sebuah tujuan akhir sejarah-Nya, melainkan sebagai sebuah jalan.

Pemahaman baru disodorkan oleh Yesus kepada kita. Dia tidak menjelaskan penyebab derita dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Dia justru menempatkan derita dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian hidup-Nya. Paradoks yang bisa kita lihat adalah di dalam Sabda Bahagia (Mt 5). Berbahagialah orang yang miskin, yaitu orang yang tidak bisa berada di tempatnya sendiri. Berbahagialah orang yang berdukacita dan meneteskan airmata, airmata adalah ungkapan pengampunan, tanda sesal, tanda cinta. Yesus juga mengangkat sabda Berbahagialah yang lapar dan haus akan kebenaran,karena mereka akan dipuaskanyang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajan Sorga. Juga Berbahagialah kamu, jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya.

Bagaimana hal ini menjadi konkrit? Paulus mencoba menjelaskannya dengan dirinya sendiri sebagai model. Sebagai seorang mantan pemburu bagi para pengikut Kristus, ketika mewartakan Yesus dalam berbagai perjalanan misinya, bisa kita lihat pengalamannya di 1Kor 4:10-13, 2Kor 4:8-11, 11:23-29. Ada berbagai litani penderitaan dan tekanan yang dihadapinya seperti terabaikan, kelaparan, haus, kurang tidur, disiksa, dianiaya, telanjang, direndahkan… Kepada jemaat di Korintus dia pun menegaskan bahwa Setiap hari aku berhadapan dengan maut (1Kor 15:31). Seolah-olah bagi Paulus, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Kristus (Rm 6:4)!

Namun di dalam pengalaman-pengalaman tersebut, dia merenungkan bahwa Kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami (2 Kor 4:11). Dengan demikian makin nyatalah bahwa menderita karena Kristus adalah makanan sehari-harinya, karena Bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20). Demikianlah pengalaman Paulus.

Bagaimana dengan pengalaman ketiga orang yang disalibkan di atas bukit Golgota? Marilah kita meninjaunya dari sisi pengalaman kehidupan rohani.

Di sebelah kiri ada salib yang buram. Nampaknya kurang cahaya, berwarna agak gelap dan diwarnai dengan penolakan yang mendalam atas beban derita itu. Namun, meskipun menderita begitu hebat, salib ini tidak mencari relasi dengan orang yang disalibkan di Tengah. Dia bahkan memusuhi Yesus, meski sama-sama menderita (bahkan Yesus lebih menderita lagi)! Baginya, derita salib ini tidak ada maknanya sama sekali. Hanya kalau turun dari salib, maka dia dibebaskan dari neraka ini. Sayangnya, harapan itu tidak akan pernah terjadi. Kenyataan inilah yang membuat kita pahit, padahal dia dekat sekali dengan Salib Yesus!  Maka, kita pun bisa bertanya pada diri kita sendiri, berapa banyak salib yang buram, salib tidak tertebus, salib yang kita tolak ada dalam sejarah kita? Berapa banyak penderitaan dan situasi yang membuat kita memberontak pada Allah? Apakah kita menjadi korban dari nasib yang buta dan tidak mengenali kehadiran Yesus yang ada dekat dengan kita?

Di sebelah kanan ada salib yang bercahaya. Salib ini berwarna cerah karena yang berdiri terpaku di atasnya mengakui pantas dan layak menerima salib itu. Dalam penderitaannya, dia justru sanggup melihat dan menilai penderitaan orang lain: Yesus tidak pantas menerima salib seperti dia! Orang yang terpaku itu, dalam sisa waktu yang dia miliki, mencoba sadar diri dan mencari jalan untuk bertemu Yesus yang tersalib. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin untuk menerangi kegelapan. Di depan salib ini, kita harus berhenti lebih lama, untuk melihat dan mempelajari derita-derita kita dalam terang salib Yesus. Berapa lilin yang sudah kita nyalakan untuk menerangi kegelapan penderitaan kita?

Di antara dua salib, ada salib Yesus Kristus. Salib ini ada persis di tengah-tengah. Tidak jauh dari salib buram di sebelah kiri dan salib yang bercahaya di sebelah kanan. Ini mau mengatakan bahwa Di mana ada salib, ada penderitaan, di sana ada Yesus. Tidak diragukan lagi! Di dalam misteri penderitaan Yesus, kita bisa melihat inkorporasi penderitaan manusia dalam misteri penderitaan Anak Manusia.

Penutup

Titik pijak spiritualitas penderitaan adalah keyakinan teguh akan cinta kasih Allah yang tidak terbatas. Bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihiku! Paulus menawarkan sebuah paradigma berpikir mendasar: «Aku hidup dalam iman akan Putra Allah yang mengasihiku dan memberikan hidupnya bagiku». «Siapakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus?» Apa untungnya berbagi penderitaan dengan Kristus yang bersengsara dan terabaikan?

Paradigma ini membuka kemungkinan untuk memberikan makna pada derita: «setiap waktu adalah berharga. Jika waktu dihidupi demikian, maka segala sesuatu bermakna dan bernilai… Juga pada saat-saat kritis, jika dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Maka, derita tidak diabaikan begitu saja, namun memperoleh maknanya bila dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Ada sebuah perubahan sikap manusia terhadap badan, kesehatan, penyakit, penderitaan dan kematian bisa ditinjau kembali. Tidak ada sikap negatif terhadap badan dan kesehatan. Tidak ada satupun dari orang sakit dan menderita, yang mencari dan memohon penyakit ini, tetapi mereka menerima, ketika tidak dapat dihindari.

Pertanyaan Sharing:

  1. Mungkin dari kita pernah melihat orang lain menderita secara fisik atau bahkan merasakan sendiri penderitaan dalam diri kita. Sharingkan pengalamanmu dalam pengertian atau pemahaman pribadimu akan penderitaan tentang mengapa orang lain mengalami penderitaan atau bahkan mengapa dirimu sendiri mengalami penderitaan!
  2. Pada masa Perjanjian Lama sering digambarkan bahwa penderitaan sering dikaitkan dengan dosa. Namun pada cerita Ayub dengan ketiga sahabatnya, Ayub mengalami banyak penderitaan meski dia tidak bersalah. Sharingkan pendapat kalian apa kalian pernah mengalami situasi dimana kalian mengalami penderitaan, namun kamu tidak bersalah! (Misalnya: ditipu, dipecat, dirampok, dll)
  3. Dari bacaan diatas mengenai dua salib yang berada diantara sebelah kiri dan kanan salib Yesus. Sharingkan pengalaman kalian pada saat kalian mungkin mengalami situasi dimana sedang berada di salib sebelah kiri dan juga pada saat kalian di sebelah kanan!

Referensi:

Disadur dari Artikel P. Alfonsus Widhi, sx

http://www.katolisitas.org/spiritualitas-penderitaan/

PDF Link

Session 31 – Week of 10 June 2018 (web)