Sesi 2 - Week of 6th Aug 2017

Gereja Katolik di Singapura dan Pengaruhnya Bagi Kita


Intro

Banyak dari kita mungkin sudah lama tinggal di Singapura tetapi tidak mengetahui bagaimana gereja Katolik lahir dan berkembang di Singapura dan pengorbanan yang telah diberikan oleh para bapa pendiri gereja untuk membuat gereja bisa berkembang hingga saat ini. Dengan membaca sejarah singkat di bawah tentang perkembangan gereja di Singapura, semoga kita bisa lebih menghargai kesempatan dan kemudahan yang kita nikmati saat ini untuk bisa mengenal dan mempraktekkan agama kita tanpa kesulitan. Dan kita bisa lebih terinspirasi untuk aktif pelayanan dalam berbagai kegiatan ataupun komunitas untuk membangun gereja yang telah diwariskan kepada kita.

Main Discussion

A.Sejarah Gereja Katolik di Singapura

Karena Singapura adalah pusat perdagangan yang strategis, orang-orang Katolik pertama yang tiba di Singapura datang dari misionaris-misionaris lain di Asia, termasuk misionaris Portugis dari Malaka. Sejarah gereja Katolik di Singapura pun diwarnai dengan perpecahan antara dua kubu, seperti diceritakan di bawah.

Pada tahun 1493, Paus Alexander VI membagi benua yang baru diketemukan kepada beberapa kelompok misionaris. Paus membuat perjanjian dengan Portugal yang dikenal dengan nama Padroado, yang kemudian menemukan Singapura dan menyebutnya sebagai bagian dari misionaris Portugis. Pada zaman ini, Singapura adalah bagian dari Kesultanan Malaka.

Pada tahun 1622, Kongregasi untuk Perkembangan Iman (congregation for propagating the faith) yang berpusat di Roma, mengirim pastor-pastor dan uskup-uskup ke daerah yang belum dijamah atau belum dikembangkan oleh Padroado. Salah satu kelompok misionaris yang dikirim berasal dari Perancis dan dikenal dengan ordo Missions étrangères de Paris (MEP). Mereka pun kemudian tiba di Singapura.

Di kepulauan Singapura yang kecil inilah terjadi perpecahan antara misionaris Portugis (Padroado) dengan misionaris Perancis yang dikirim oleh Kongregasi di Roma (Propaganda).
Pada tahun 1822, Fr Jacob Joachim Freire Brumber dikirim dari misionaris Portugis di Malaka untuk mengunjungi umat Katolik di Singapura, yang beberapa diantaranya adalah umat Katolik dari Malaka yang bekerja di Singapura. Setelah Fr Jacob dari Malaka menghentikan kunjungannya di tahun 1824, tiga umat Katolik mengirimkan surat kepada Mgr Florens dari misionaris MEP di Siam (Thailand) untuk meminta seorang pastor. Mgr Florens menolak permintaan mereka karena kekurangan pastor dan ketidakjelasan juridiksi. Mgr Florens kemudian menulis ke Roma untuk meminta kejelasan juridiksi. Paus Leo XII kemudian mengeluarkan keputusan untuk memberikan juridiksi atas Singapura kepada misionaris MEP dari Siam.

Mat 28:19 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus.” Di bagian berikutnya kita akan membaca tentang riwayat orang-orang biasa yang telah melakukan hal-hal yang luar biasa karena kasihnya pada Tuhan dan pada sesama.

B.Mengenal Santo Laurent Marie Joseph Imbert, MEP

Santo Laurent Marie Joseph Imbert mungkin adalah Santo yang pertama kali menginjakkan kaki ke Singapura di tahun 1821. Ia dilahirkan di Marignane, Perancis Selatan, dan masuk seminari di bawah ordo Société des Missions étrangères de Paris (MEP) dan kemudian ditahbiskan pada tanggal 18 Desember 1819. Setahun kemudian ia berlayar dari Perancis untuk perjalanan misionarisnya.

Fr Imbert pertama-tama tiba di Penang, Malaysia dimana dia membantu di College General, Penang. Kemudian Fr Imbert diminta oleh Mgr Florens, Apostolic Vicar of Siam, untuk singgah ke Singapura dalam perjalanannya dari Penang menuju ke Cina.
Setelah menghabiskan waktu seminggu di Singapura, dia menulis surat kepada Mgr Florens mengatakan “Saya telah tiba di Singapura dan mengunjungi umat Katolik di tempat yang baru ini sesuai dengan pesan Anda. Hanya ada sekitar 12 atau 13 orang dan mereka menjalani hidup yang sangat susah. Saya rasa akan lebih baik jika Anda mengirimkan seorang misionaris kemari, jika tidak bisa menetap, setidaknya bisa mengunjungi umat Katolik disini sekali-kali.”

Pada tanggal 26 April 1836, Fr Imbert diangkat menjadi Vicar Apostolic untuk Korea. Setahun kemudian, dia ditahbiskan dan kemudian diam-diam berusaha menyebrang ke Korea yang pada saat itu sedang mengalami banyak persekusi umat Katolik. Tiga tahun kemudian, persekusi semakin meluas dan pemerintah Korea mengeluarkan perintah untuk membunuh semua orang Kristiani. Uskup Imbert dan umatnya (orang Korea yang pindah menjadi Katolik) kemudian pun ditangkap. Pemerintah Korea kemudian menyiksa Uskup Imbert dengan harapan dia akan memberikan informasi tentang lokasi misionaris-misionaris asing lainnya. Karena dijanjikan bahwa umatnya akan dibebaskan, Uskup Imbert pun kemudian menulis surat kepada 2 orang misionaris, Fr Pierre-Philibert Maubant dan Fr Jacques-Honoré Chastan, yang sedang bersembunyi. Dalam suratnya, Uskup Imbert menulis “Dalam situasi terdesak, gembala yang baik adalah gembala yang memberikan nyawanya untuk domba-dombanya.”

Fr Maubant dan Fr Chastan kemudian menyerahkan diri. Tetapi hal ini tidak menghentikan pemerintah Korea untuk tidak membunuh orang-orang Korea yang telah menjadi Katolik. Akhirnya setelah disiksa lebih lanjut, ketiga misionaris itu pun kemudian dipenggal pada tanggal 21 September 1839 di Saenamteo, Korea.
Ketika berita tentang pemenggalan Uskup Imbert sampai ke Singapura, pada saat itu Fr Jean Marie Beurel dan komitenya sedang mencari nama untuk gereja pertama di Singapura. Mereka kemudian memilih nama “Good Shepherd” karena terinspirasi oleh surat yang ditulis oleh Uskup Imbert. Gereja Good Shepherd pun kemudian diberkati pada tanggal 6 Juni 1847 dan pada tanggal 14 Februari 1897 gereja ini dinaikkan statusnya menjadi Katedral.

Bersama dengan Fr Maubant dan Fr Chastan, Uskup Imbert kemudian dibeatifikasi pada tanggal 5 July 1925, dan dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 6 May 1984. Hari perayaannya jatuh pada tanggal 20 September bersama dengan martir-martir Korea lainnya. Relik dan patung dari Uskup Imbert ada di Katedral saat ini.

C.Mengenal Father Jean Marie Beurel, MEP

Fr Beurel dilahirkan di Perancis tahun 1813 dan bergabung dengan ordo Missions Etrangères de Paris (MEP) sebagai diakon pada tahun 1838. Setelah ordinasi, dia meninggalkan Perancis menuju Singapura pada tahun 1839. Walaupun usianya baru 26 tahun, dia membuktikan dirinya sangat handal. Tugas pertamanya adalah membangun gereja pertama di Singapura. Walaupun pada saat itu sudah ada kapel kecil di Bras Basah Road (yang sekarang menjadi Singapore Art Museum), kapel itu tidak cukup besar untuk mengakomodasi jumlah umat yang semakin bertambah.

Fr Beurel memulai dengan mengumpulkan dana untuk membangun gereja. Sebidang tanah kemudian dibeli untuk gereja baru ini, yang lokasinya di persimpangan Victoria Street dan Bras Basah Road. Gereja tersebut diberkati oleh Uskup Courvezy pada tanggal 6 Juni 1847 dan dinamai Good Shepherd.

Fr Beurel tidak hanya fokus untuk pembangunan gereja tetapi juga untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak. Pada tahun 1850, Fr Beurel dengan inisiatifnya sendiri kembali ke Perancis untuk mencari biarawan/biarawati yang bisa mengelola sekolah Katolik di Singapura.

Fr Beurel kembali ke Singapura pada tahun 1852 dengan 6 orang biarawan De La Salle dan 2 suster dari ordo Infant Jesus. Biarawan De La Salle membuka sekolah Katolik pertama untuk anak laki-laki, yang kemudian dinamai St Joseph’s Institution. Walaupun tidak mendapat persetujuan dari superiornya, Fr Beurel memakai uang pribadinya untuk membeli sebidang tanah guna mendirikan sekolah Katolik pertama untuk anak perempuan. Sekolah ini kemudian diberikan kepada suster dari Infant Jesus di tahun 1852.

Fr Beurel melayani di Singapura selama dua dekade sampai tahun 1869 ketika dia menderita stroke dan dibawa kembali ke Perancis. Beliau meninggal di Paris pada tahun 1872 pada umur 59 tahun dan dimakamkan di Montparnasse Cemetery. Fr Beurel dikenal sebagai salah satu bapa pendiri gereja di Singapura karena usahanya yang gigih untuk mengembangkan misionaris di Singapura.

D.Gereja setelah perang

Singapura jatuh ke tangan Jepang pada tahun 1943. Sekitar 300 keluarga Eurasian dan 400 keluarga Cina Katolik dikirim ke Bahau bersama dengan Uskup Devals yang menjabat pada masa itu.

Uskup Devals kemudian meninggal disana. Gereja di bawah penjajahan Jepang sangat menderita, tetapi tetap bertahan dan malah menjadi semakin kuat untuk melayani umat di Singapura setelah perang.

Dua tahun kemudian, Fr Michael Olcomendy ditahbiskan menjadi Uskup Malaka. Setelah itu banyak misionaris lain yang datang ke Singapura dan mendirikan rumah sakit, sekolah dan organisasi Katolik lainnya. Pada tahun 1953, Keuskupan Malaka (yang melingkupi Singapura), dinaikkan statusnya menjadi Keuskupan Agung dan Uskup Olcomendy menjadi Uskup Agung pertama Malaka-Singapura.

Sharing Questions:

  1. Sharingkan pengalamanmu menemukan gereja Katolik ketika baru pertama kali tiba di Singapura.
  2. Sharingkan interaksi pertamamu dengan komunitas Katolik di Singapura.
  3. Membaca kisah Santo Laurent Imbert mungkin kita bisa membayangkan seperti film Silence yang baru-baru ini beredar. Apa pendapatmu tentang umat Katolik yang dianiaya seperti dalam kisah ini? Apakah ada inspirasi yang kamu dapatkan?
  4. Sharingkan pendapatmu tentang Catholic Foundation yang dicanangkan oleh Keuskupan Agung Singapura untuk pencarian dana bagi pembangunan infrastruktur dan biaya operasional gereja lainnya.
  5. Bagi teman-teman yang berasal dari sekolah Katolik, sharingkan nilai-nilai apa yang ditanamkan oleh sekolahmu yang masih kamu pegang sampai saat ini.
  6. Sharingkan pengalaman pelayanan di komunitas yang menurutmu paling sulit / paling banyak masalah. Pelajaran apa yang kamu dapatkan setelah pelayanan itu selesai?

Reference

http://history.catholic.sg/