Sesi 2 - Week of 6 Aug 2023

Tuhan Sumber Kebahagiaanku


Intro

Tidak ada manusia yang bebas dari masalah selama hidupnya. Namun, penderitaan/masalah bagi umat Kristiani dimengerti sebagai salib yang membawa keselamatan karena kita mengikuti teladan Kristus, seperti tertulis di dalam Injil Matius 16:24-25:

Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Walau memikul salib itu pastinya tidak enak, tetapi kita percaya akan janji Yesus seperti tertulis di dalam Injil Matius 11:28-30:

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.”

Kita memiliki Allah yang setia mendampingi sepanjang hidup kita, memberikan kekuatan dan menolong kita saat kita jatuh ke lembah yang kelam dan membawa kita pada kebahagiaan yang sejati walau di tengah kesulitan hidup yang datang silih berganti. Bahan CG hari ini ingin mengingatkan kita bahwa kebahagiaan yang sejati datangnya hanya dari Allah dan di tengah duka atau kesulitan hidup, kita masih bisa merasakan kebahagiaan jika kita mempercayakan hidup kita sepenuhnya kepada Allah.

Kebahagiaan Yang Sementara

Apa yang membuat kamu bahagia? Mungkin ada orang yang secara spontan mengatakan: saya bahagia kalau punya banyak uang, bisa makan yang enak, atau punya pasangan yang good-looking. Atau mungkin ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan dicapai dengan kedudukan dan pendidikan yang tinggi, kesehatan yang prima, dan penampilan yang OK. Setidak-tidaknya itulah gambaran yang sering dipropagandakan melalui iklan dan film-film di televisi. Benarkah kebahagiaan kita dapat dicapai dengan hal-hal tersebut?

Semua orang, baik dewasa maupun anak-anak, ingin bahagia. Kebahagiaan diartikan sebagai pemenuhan semua keinginan hati kita. Jika kita perhatikan, pemenuhan kebahagiaan itu bergeser terus, manusia cenderung menginginkan sesuatu yang ‘lebih’: ingin lebih pandai, lebih sukses, lebih baik. Semua itu disebabkan karena di dalam diri kita ada keinginan untuk mencapai goals seperti halnya seorang atlet yang terus berjuang mencapai finish line. Nah, masalahnya apakah kita akan benar-benar merasakan kebahagiaan ketika goals kita sudah terpenuhi? Atau kebahagiaan kita hanya bersifat sementara? Dan apakah kita akan mencari goals yang baru lagi untuk dicapai?

Tiap-tiap orang mengejar hal yang berbeda-beda untuk mencapai kebahagiaan itu. Contohnya, banyak orang ingin mencari uang sebanyak-banyaknya agar bahagia. Namun, jika kita renungkan, uang dan kekayaan merupakan sesuatu yang lebih rendah daripada manusia itu sendiri. Uang dan kekayaan bersifat sementara: dapat mudah diperoleh, tetapi juga mudah hilang. Uang bukan tujuan, karena ia hanya alat untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Uang memang diperlukan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang kita perlukan, namun semua kebutuhan kita itu ada umurnya. Demikian juga dengan kesehatan, kecantikan, dan kepandaian, karena pada suatu saat semuanya itu akan berkurang atau hilang.

Kebahagiaan Yang Sejati

Kita mungkin sering mendengar orang bilang jika pasangan yang telah lama menikah, lama-kelamaan wajah dan sifatnya menjadi semakin mirip satu dengan yang lain. Hal demikianlah yang juga diinginkan Kristus bagi kita anggota Gereja yang adalah mempelai-Nya, yaitu agar kita bertumbuh semakin menyerupai Dia. Sehingga, jika saatnya nanti kita kembali bertemu denganNya, Ia dapat melihat cerminan Diri-Nya dalam diri kita. Kini pertanyaannya, sudahkah kita menyerupai Dia?

Pertanyaan demikian menghantar kita pada suatu kebenaran yang lain, yaitu bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26). Ini membawa suatu akibat yang sangat luar biasa, manusia sebagai gambaran Allah (imago Dei) ini menjadi mampu untuk menerima rahmat Allah yang terbesar, yaitu Allah sendiri (capax Dei). Maka, walaupun ‘gambaran Allah’ dalam diri kita dirusak oleh dosa, tidak berarti bahwa kita sama sekali tidak berharga. Malah sebaliknya, Allah mengangkat kita dengan mengutus Kristus Putera-Nya ke dunia.

Rasul Yohanes mengatakan, “Karena besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Tuhan mengutus Kristus, agar kita dapat kembali bersahabat dengan Allah, dan kemuliaan ‘gambaran-Nya’ di dalam kita dapat dipulihkan seperti keadaan aslinya. Jadi untuk persahabatan dengan Allah ini, kita diciptakan oleh-Nya.

Mari kita renungkan hal ini. Untuk kebahagiaan inilah Allah menciptakan kita: yaitu agar kita menerima Diri-Nya dan agar kita memberikan diri kita seutuhnya kepada-Nya, sehingga tidak ada lagi jarak antara kita dengan Dia. Allah ingin sungguh bersahabat dan bersatu dengan kita! Inilah kasih Agape, kasih persahabatan yang membuat persatuan yang erat tak terpisahkan, yang kita terima melalui Kristus yang telah menjelma menjadi manusia.

Salib Membawa Kebahagiaan

Penjelmaan Yesus menjadi manusia juga menunjukkan kepada kita bagaimana caranya hidup agar kita bahagia. Yesus mengajarkan kita Delapan Sabda Bahagia (Mat 5: 1-12), dan hidup-Nya sendiri adalah pemenuhan Sabda Bahagia tersebut. Dan semasa hidup-Nya di dunia, Ia adalah manusia yang paling berbahagia, karena satu hal ini: Ia memberikan Diri-Nya seutuhnya kepada Allah Bapa dan kepada manusia. Salib Kristus adalah puncak dan bukti yang sungguh nyata akan hal ini. Pandanglah salib Kristus, dan kita akan menemukan jawaban akan pertanyaan, “apa yang harus kulakukan agar hidup bahagia?” Sebab di sana, di dalam keheningan Kristus akan menjawab kita, “Mari, ikutlah Aku… berikanlah dirimu kepada Tuhan dan sesama….

Mungkin kita bertanya, bagaimana mungkin pengorbanan dapat membuat kita bahagia? Ini memang merupakan misteri kasih Allah yang dinyatakan oleh Kristus kepada kita, dan kitapun diundang untuk melakukan yang sama, karena memang hakikat kasih adalah pengorbanan. Tentu saja, pengorbanan kita tidak dapat dibandingkan dengan pengorbanan Yesus, tapi Tuhan menghendaki kita untuk belajar berkorban dan ‘memberikan diri’ dalam kehidupan kita sehari-hari.

Segala usaha untuk menghindari pengorbanan dalam mencari kesenangan, akan berakhir pada kebahagiaan semu. Zaman sekarang, contoh yang dapat kita lihat begitu nyata. Mereka yang mencari kelimpahan harta duniawi tanpa pernah berpikir untuk berbagi akan mengalami kekosongan hidup. Mereka yang mencari kesenangan dalam seks bebas tanpa mempedulikan tanggung jawab membentuk keluarga, pada satu titik akan mengalami kesedihan dan kehilangan jati diri. Mereka yang mencari kehormatan dan kekuasaan tanpa memperhatikan yang lemah, juga pada akhirnya tidak dihormati. Mungkin justru pada titik terendah ini, manusia akhirnya dapat melihat bahwa kebahagiaan bukan berarti hanya ‘mengumpulkan’ tetapi ‘membagikan’; bukan hanya ‘menerima’, tetapi lebih dari itu: ‘memberi’. Sebab dengan memberi, kita menerima, seperti doa St. Fransiskus dari Asisi.

Marilah kita mengingat sabda Yesus, “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14:6). Maka dengan melihat dan mengikuti Yesus, kita percaya kita akan sampai kepada Bapa. Singkatnya, hanya dengan meniru Yesus, kita dapat hidup bahagia. Lihatlah pada Yesus yang dengan kehendak bebas-Nya selalu memberi. Yesus memberikan diri-Nya secara total kepada Allah Bapa untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan dunia. Yesus memberikan diri-Nya secara total kepada kita manusia, untuk mengampuni kita dan mempersatukan kita kembali dengan Allah.

Kebahagiaan Sejati Dapat Kita Rasakan Di Dunia

Begitu indah tak terselami kebahagiaan kekal ini, sehingga Tuhan mempersiapkan kita dengan memberikan sedikit pengalaman kebahagiaan ini selagi kita masih hidup di dunia. Kita menyembah Sakramen Maha Kudus di dalam adorasi sebagai persiapan kita memandang Allah di surga nanti. Kita menerima Kristus dalam Ekaristi sebagai persiapan bagi kita untuk menyambut Kristus di surga. Kristus yang kita terima dalam Ekaristi ini menjadi sumber kasih kita, baik kepada Tuhan maupun sesama.

Jika kita memberikan diri kita kepada sesama sesuai dengan panggilan hidup kita, kita sudah dapat menikmati kebahagiaan di dunia. Jadi, kebahagiaan kita di dunia ini tergantung dari seberapa banyak kita berpegang dan meniru teladan Kristus, dan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya, dan ketaatan-Nya akan kehendak Bapa.

Dalam banyak kesempatan, Tuhan memberikan kepada kita ‘latihan’ agar sedikit demi sedikit, kita dapat belajar memberikan diri kita dan meniru Kristus, sesuai dengan maksud-Nya dalam menciptakan kita. Tentu, ‘latihan’ ini sangat penting, agar kita dapat memberikan diri kita seutuhnya pada Tuhan dan menyambut kesempurnaan ‘kepenuhan Allah’ di surga kelak. Sebab, jika kita tidak terbiasa ‘memberikan diri’ dan ‘menginginkan Tuhan’, bagaimana kita dapat berharap untuk mencapai kebahagiaan surgawi?

Pada akhirnya nanti, hanya Tuhan saja yang meraja di dalam semua (lih. 1 Kor 15:28), dan kita tergabung di dalam kesatuan yang mulia itu, bersama-sama dengan semua orang pilihan-Nya. Inilah Gereja yang berjaya di surga. Di dalam kemuliaan Tuhan ini tiada lagi tangis dan air mata (lih. Why 21:4), yang ada hanyalah Kasih, dan sungguh, hanya di dalam Sang Kasih ini kita menemukan kebahagiaan tanpa akhir.

Penutup

Allah menciptakan kita sesuai dengan citra-Nya dan telah menanamkan di dalam hati kita keinginan untuk mengenal dan mengasihi Dia. Maka, kebahagiaan sejati manusia hanya ada di dalam Tuhan, sebab manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Allah, sehingga mampu menerima kehidupan ilahi yang dikaruniakan Allah kepadanya sebagai sumber kebahagiaan sejati.

Namun demikian, betapapun kita menyadari bahwa kebahagiaan kita ada di dalam Tuhan, kalau kita tidak mengarahkan hidup kita ke sana, itu belum berguna bagi kita. Ibaratnya kita tahu tujuan perjalanan kita, tetapi kita memilih untuk tidak bergerak ke sana. Maka, mari, jangan sia-siakan hidup yang Tuhan berikan kepada kita.

Kita arahkan segala karunia yang telah kita terima, untuk mencapai kebahagiaan kita di dalam Tuhan. Artinya, berkat kesehatan, rejeki, kepandaian, bakat, keluarga, dst kita arahkan untuk kemuliaan Tuhan. Di atas segalanya, marilah kita berusaha agar ‘gambaran Allah’ yang ada pada diri kita tidak dirusak oleh dosa. Singkatnya, kita harus berusaha hidup kudus, memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Jangan lupa, bahwa hanya dengan kekudusan kita dapat ‘melihat’ Allah dan masuk ke dalam Kebahagiaan Surgawi.

Sharing Questions

  1. Sharingkan apa yang membuatmu bahagia saat ini dan apakah menurutmu kebahagiaan itu akan kamu rasakan terus.
  2. Menurut kalian, bagaimana Tuhan memanggil kalian untuk merasakan kebahagian kekal dalam kehidupan sehari-hari?
  3. Sharingkan pengalaman kalian memberikan/membagikan berkat kepada orang lain. Apa yang mendorong kalian untuk melakukan itu dan bagaimana tindakan “memberi” ini membawa kebahagiaan bagi kalian?

Reference