2013 Sesi 10 Week of 2 Dec 2013 Deus Caritas Est


[2013] Sesi 10 – Week of 2 Dec 2013
Deus Caritas Est
First Encyclical of Pope Benedict XVI (Summary by ewtn.com)
 
 
Intro
“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangisapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1 John 4:16).
 
Ini adalah inti dari iman Kristiani. Di dunia ini, dimana kadang-kadang nama “Tuhan” dihubungkan dengan balas dendam atau bahkan kebencian dan kekerasan, pesan Kristiani tentang Kasih Tuhan datang di waktu yang tepat.
 
Inti dari Surat Ensiklikal ini terbagi dalam dua bagian:
 
Bagian pertama menjabarkan dari sisi refleksi teologi dan filosofi beberapa dimensi “kasih” eros dan agape dan menjelaskan bukti-bukti penting tentang Kasih Tuhan kepada manusia dan hubungan antara kasih itu dengan kasih kepada sesama manusia.
 
Eros digambarkan sebagai kasih yang cenderung lebih romantis, asmara dan hawa nafsu. Sementara agape digambarkan sebagai kasih yang lebih cenderung kepada keluarga dan Tuhan. (diambil dari id.wikipedia.org/wiki/cinta)
 
Bagian kedua menjabarkan tentang penerapan dari hukum mengasihi sesama manusia seperti dirimu sendiri.
 
 
Part I
 
Istilah “kasih” yang pada saat ini sering digunakan dan disalah-artikan sebenarnya memiliki banyak sekali arti. Dari banyak arti itulah kemudian muncul sebuah model awal kasih yang sempurna yaitu: kasih antara pria dan wanita, yang dalam istilah Yunani kuno dikenal sebagai eros.
 
Dalam Kitab Suci, terutama dalam perjanjian baru, konsep dari kasih ini digali lebih jauh lagi yang dalam perkembangannya mengutamakan agape dibandingkan dengan eros untuk mengekspresikan kasih yang mengorbankan diri (self-sacrificing love).
 
Eros, yang ditanamkan dalam diri manusia oleh Sang Pencipta sendiri, membutuhkan kedisiplinan, pemurnian, dan pertumbuhan kedewasaan, agar tidak mengurangi arti sesungguhnya atau menurunkan artinya, hanya menjadi sebuah “sex”, yang hanya sebuah komoditas.
 
Singkatnya, eros dan agape terkadang perlu untuk dihubungkan satu dengan yang lain. Tentunya, dengan keduanya menemukan kesatuan, semakin sifat asli dari kasih dapat direalisasikan.
 
Bahkan, jika kasih pada awalnya adalah eros yang didominasi oleh hasrat, tetapi ketika semakin mendekatkan diri dengan orang lain, kita menjadi semakin kurang mementingkan diri kita sendiri dan menjadi semakin mencari kebahagiaan dari orang lain, memberikan dirinya dan ingin selalu “ada” untuk orang lain. Pada waktu itulah elemen dari agape masuk kedalam kasih itu.
 
Di dalam Yesus Kristus, yang adalah inkarnasi dari kasih Allah, eros-agape mencapai bentuk yang paling radikal. Dengan wafat di kayu salib dan memberikan dirinya untuk menyelamatkan manusia, Yesus mengekspresikan kasih dalam bentuk yang sempurna. Dia menjanjikan kehadiran-Nya selalu melalui perayaan Ekaristi, dimana Dia memberikan diri-Nya dalam bentuk roti dan anggur sebagai manna yang baru yang menyatukan kita denganNya.
 
Dengan kita berpartisipasi dalam Ekaristi, kita juga terlibat dalam dinamika pemberian diri (self-giving). Kita bersatu dengan Dia, dan diwaktu yang sama, dengan semua orang dimana Dia memberikan diri-Nya, dan kita semua menjadi “satu tubuh” (one body).
 
Dengan cara ini, kasih terhadap sesamamu dan terhadap Allah, benar-benar menjadi satu. Dengan pengalaman kasih Agape dari Allah, kedua perintah ini tidak lagi hanya menjadi sebuah peraturan tetapi kita bisa memberikan kasih itu, karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita. 
 
Sharingkan: 
1. Pernahkah kalian menerima kasih dari orang lain yang mementingkan kebahagiaanmu atau malah memberikan kasih kepada orang lain yang membuat orang lain tersebut bahagia? Sharingkan.
2. Sharingkan pengalaman kalian menerima kasih dari Tuhan yang membuat kalian ingin memberikan kasih tersebut kepada sesamamu.
 
 
Part II
 
Perintah Tuhan “Kasihilah sesamamu” didasari dari Kasih akan Tuhan. Ini juga sebagai tanggung jawab setiap individu untuk setia dan bertanggung jawab kepada keseluruhan kesatuan komunitas, yang menggambarkan kasih Tritunggal dalam aktivitas sosial.
 
Kesadaran untuk tanggung jawab ini juga relevansi yang penting di dalam gereja pada awal mula (Kis 2:44-45 : “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.”), dan segera kebutuhan untuk membentuk organisasi menjadi semakin jelas, sebagai awal mula untuk membawa pesan ini keluar lebih efektif.
 
Sifat gereja yang paling mendalam terdiri dari 3 bentuk tugas utama: untuk menyebarkan firman Tuhan (kerygma-martyria), merayakan sakramen-sakramen (leiturgia), dan melakukan kegiatan charity (diakonia). Tugas-tugas ini saling membutuhkan dan tidak terpisahkan.
 
Sejak abad ke-19, muncul keberatan terhadap kegiatan sosial / charity gereja. Orang-orang mengatakan bahwa kegiatan sosial ini bertolak belakang dengan keadilan dan hanya akan membuat situasi yang ada ini tidak berubah. Gereja sepertinya mendukung dari keberadaan system yang tidak adil, bahkan terkesan membuatnya terlihat gereja mentoleransi situasi itu dan sehingga membuat situasi tidak lebih baik.
 
Magisterium Paus, dimulai dari ensiklikal Rerum Novarum dari Leo XIII (1891) sampai ke trilogi ensiklikal sosial dari Yohanes Paulus II (Laborem Exercens 1981, Sollicitudo Rei Sosialis 1987, dan Centesimus Annus 1991), terus-menerus membahas tentang masalah-masalah sengit dan dalam konfrontasi pertentangan di jaman sekarang, sehingga akhirnya menghasilkan sebuah doktrin sosial yang komprehensif dengan membuat pedoman yang efektif dan universal.
 
Pada masa ini, efek positif dari globalisasi bisa terlihat dari fakta bahwa kepedulian kita terhadap sesama melampaui batas dari wilayah nasional dan lebih menjangkau seluruh dunia. 
 
Dalam gereja Katolik maupun di dalam komunitas-komunitas rohani yang lain juga muncul bentuk-bentuk baru kegiatan sosial. Di antara komunitas-komunitas itu, munculah harapan akan sebuah kerjasama yang baik.
 
Akan tetapi, penting bagi aktivitas sosial dari gereja itu sendiri tidak kehilangan identitas pribadinya dan hanya menjadi suatu bentuk aksi sosial belaka. Kegiatan itu harus tetap mempertahankan tujuan utama hidup Kristiani.
 
Maka dari itu:
Kegiatan sosial Kristiani, selain menjaga kompetensi professional, harus tetap berdasarkan dari pengalaman pertemuan pribadi dengan Yesus Kristus, yang dengan kasihNya telah menggerakan para penganutnya, membangkitkan semangat untuk mengasihi sesama.
Kegiatan sosial Kristiani, harus berdiri sendiri dari segala bentuk partai dan ideologi. Program aksi sosial Kristiani program orang Samaria yang baik, program Yesus yaitu lebih kepada hati yang melihat (heart that sees). Hati yang melihat dimana kasih dibutuhkan dan diberikan.
Kegiatan sosial Kristiani tidak bisa digunakan sebagai media untuk membuat seseorang untuk berpindah agama atau kepercayaan. Kasih itu bebas, bukan sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu dibaliknya.
 
Tapi kegiatan aktivitas sosial ini juga tidak berarti harus, atau katakan, untuk mengesampingkan Tuhan dan Yesus Kristus. Seorang Kristiani mengerti kapan kita harus berbicara mengenai Tuhan dan kapan waktu yang lebih baik untuk tidak berbicara apapun mengenai Tuhan dan biarkan kasih yang berbicara. Santo Paulus berbicara tentang kegiatan sosial (1 Korintus 13) harus menjadi Magna Carta dari semua kegiatan gereja untuk melindungi dari resiko atau berkurang menjadi murni aktivitas.
 
Dalam konteks ini meskipun banyak umat Kristiani terlibat dalam kegiatan sosial, hal ini bisa hanya merupakan sebuah kegiatan sekularisme (tidak dilandasi iman dan kasih), oleh karena itu perlu ditekankan pentingnya doa dalam kegiatan sosial.
 
Orang yang berdoa itu tidak membuang waktunya, walaupun situasi yang dibutuhkan pada saat itu diperlukan segera dilakukan suatu tindakan; tidak juga mengkoreksi rencana Tuhan, tetapi lebih untuk mencari seperti contoh Bunda Maria dan orang-orang Kudus mencari Tuhan dalam terang dan kekuatan dari kasih yang menghadapi segala kegelapan dan keegoisan yang saat ini ada di dunia.
 
 
Sharingkan: Pengalaman kalian melakukan kegiatan sosial yang tidak dilandasi oleh kasih / merasa terpaksa! Dan sharingkan juga pengalaman kalian melakukan kegiatan sosial yang dilandasi dengan doa dan kasih!
 
 
Diambil dan diterjemahkan dari: 
L’Osservatore Romano, Weekly Edition in English, 26 April 2006, page 7
L’Osservatore Romano is the newspaper of the Holy See.
The Weekly Edition in English is published for the US.
 
 
Doa Penutup
 
Ya Yesus, terima kasih atas kasihMu yang sempurna. Begitu besar kasihMu kepada kami sehingga Engkau rela mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kami. Ajar kami ya Tuhan, agar kami bisa meneladani putraMu, mengasihiMu dengan sepenuh hati, juga mengasihi sesama kami, baik terhadap keluarga, teman, pasangan, bahkan orang-orang yang mengecewakan kami. Biarlah kasihMu senantiasa mengalir dan terpancar di dalam diri anak-anakMu ini, sehingga kami boleh menjadi terangMu, khususnya bagi mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan kasihMu. Amin.