Session 33 – Week of 2 June 2024

Eucharist: Super Substantial Bread


Intro

Sebuah survei yang dilakukan Pew Research di tahun 2019 menunjukkan bahwa 69% umat katolik di Amerika tidak percaya bahwa Ekaristi adalah tubuh dan darah Kristus. Hasil survei ini sungguh sangat mengejutkan. Konsili Vatikan II menyebutkan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristiani, yang berarti Ekaristi adalah awal dan akhir kehidupan Kristiani. Jika hampir 70% umat katolik tidak menyadari hal ini, ada sesuatu yang hilang dari pemahaman kita.

Ekaristi adalah sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani

Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani yang bergerak ke arah ‘persatuan yang semakin erat dengan Kristus’ (KGK 2014) akan mencapai puncaknya pada Ekaristi yang adalah Kristus sendiri. Kristus hadir di dalam Ekaristi, sesuai dengan janji-Nya pada saat meninggalkan warisan Ekaristi pada Perjamuan Terakhir sebelum sengsara-Nya. Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan-Nya dan menjadi satu Tubuh (lih. KGK 1329). Jadi, Ekaristi merupakan Perjanjian Baru dan Kekal yang menjadi dasar pembentukan Umat pilihan yang baru, yaitu Gereja. (Lih. Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion) Di dalam Ekaristi kita melihat cerminan liturgi surgawi dan kehidupan kekal di mana Allah meraja di dalam semua (lih. KGK 1326). Dengan menerima Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan melalui Dia, kepada Allah Tritunggal, sebab Ekaristi adalah kenangan kurban Yesus dalam ucapan syukur kepada Allah Bapa, oleh kuasa Roh Kudus (lih. KGK 1358).

Jadi dengan menerima Ekaristi, Tuhan tidak saja hanya hadir, tetapi ‘tinggal’ di dalam kita sehingga kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi, kehidupan yang memberikan kita kekuatan untuk mencapai kesempurnaan kasih yang diajarkan oleh spiritualitas Kristiani, yaitu ‘mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama’.

Makna Liturgi Ekaristi

Di dalam kurban Ekaristi, para anggota Gereja menyatukan diri mereka dengan Kristus, Sang Kepala, untuk mempersembahkan pujian dan syukur kepada Allah Bapa. Di sini Kristus menjadi sekaligus Imam dan Kurban. Kata “Ekaristi” sendiri berarti ‘ucapan terima kasih kepada Allah’ (lih. KGK 1328), dan sesungguhnya adalah doa Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Keikutsertaan kita dalam doa Yesus yang disampaikan kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus adalah liturgi, (lih. KGK 1073) sehingga liturgi adalah suatu tindakan Yesus sebagai Kepala dan Gereja sebagai TubuhNya. (Lih. Sacrosanctum Concilium 7) Yesus yang sungguh hadir di dalam liturgi Ekaristi, mengubah roti dan anggur oleh kuasa Roh Kudus menjadi Tubuh dan DarahNya, melalui perkataan-Nya yang diucapkan oleh imam, “Inilah TubuhKu, yang diberikan bagi-Mu…Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu (Mrk 14:22-24).

Dengan mengambil bagian di dalam doa ini, kita menaikkan pikiran dan hati kepada Tuhan, dan di dalam iman, kita menerima rahmat yang tak terhingga, yaitu Kristus sendiri di dalam rupa hosti kudus, (lih. KGK 2559, 1373) yang menguduskan kita. Dengan demikian kita mengalami kepenuhan doa sebagai karunia Tuhan. Kita memberi kemuliaan kepada Tuhan, tidak hanya dengan menerima karunia itu, tetapi juga dengan memberikan diri kita kepada Tuhan, dalam arti kita ‘berdoa di dalam Roh’ (Ef 6:18) untuk menghidupkan di dalam batin kita kasih Bapa yang dinyatakan dalam Kristus untuk mendatangkan keselamatan bagi kita (lih. KGK 1073). Dengan Allah sendiri yang hidup di dalam kita, maka kita menjadi sungguh-sungguh ‘hidup’. Inilah yang disebut kemuliaan Tuhan.

Di dalam Ekaristi, kita menjadikan Karya Keselamatan Allah sebagai bagian dari diri kita sendiri, karena kita mempersatukan diri dan dipersatukan dengan Kristus yang menjadi Kurban satu-satunya yang dipersembahkan kepada Allah- yaitu Kurban yang menyelamatkan umat manusia (Lih. Redemptor Hominis 7). Dengan demikian, liturgi Ekaristi menjadi sumber doa dan tujuan doa kita. Karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai puncak kehidupan Gereja, kesempurnaan kehidupan rohani dan arah tujuan dari segala sakramen Gereja (lih. KGK 1374).

Ekaristi mempersatukan kita dengan Kristus terutama dalam penderitaan kita

Doa menghantar seseorang kepada persatuan dengan Tuhan, sehingga ia dapat memiliki kehendak yang sama dengan kehendak Tuhan. Di dalam persatuan ini, Kristus bersatu dengan tiap-tiap orang, terutama mereka yang menderita. Di dalam Kristus, penderitaan manusia memperoleh arti yang baru yang berarti “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol 1:24). Maksudnya adalah, karena Gereja sebagai Tubuh Kristus terus berkembang di dalam ruang dan waktu, maka penderitaan Kristus yang menyelamatkan juga dapat terus berkembang dan diikutsertakan dengan penderitaan manusia. (Lih. Salfivici Doloris 24) Di dalam penderitaan, manusia diajak untuk beriman lebih dalam, dengan cara mengubah pengertian kita tentang kebahagiaan untuk disesuaikan dengan kebahagiaan menurut pengertian Allah.

Prinsip kebahagiaan adalah: Allah ingin bersatu dengan kita. Jika kitapun demikian, dan menerima hal persatuan dengan Allah sebagai kebahagiaan kita, maka penderitaan atau kesenangan dalam mengikuti ajaran Kristus seharusnya tidak menjadi masalah bagi kita. Sebaliknya, kita dapat menerima penderitaan tersebut, karena kita mengetahui bahwa di dalam Kristus, hal itu mendatangkan keselamatan bagi kita sendiri, bagi orang lain dan bagi semua orang berdosa secara umum. (Lih. Jordan Aumann, Spiritual Theology) Jadi penderitaan di dunia terjadi untuk mendatangkan kasih, (Lih. Salfivici Doloris, 29-30.)) dan kasih yang memperbaiki dunia yang penuh dosa adalah keselamatan. Maka penderitaan berhubungan erat dengan keselamatan.

Ekaristi juga mengingatkan kita bahwa tidak ada Keselamatan jika tidak ada Salib; dan di dalam Kristus, semua salib kita menyumbangkan arti bagi Keselamatan. Di dalam Ekaristi, kita dipersatukan dengan Kristus dan ikut ambil bagian di dalam penderitaan-Nya agar dapat pula mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya.

Ekaristi adalah contoh kerendahan hati Kristus

Di dalam Ekaristi, Kristus menyatakan pemenuhan janjiNya ketika berkata, “Akulah Roti Hidup yang telah turun dari sorga. Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya… Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:35,51,54,57). Dengan mengambil rupa roti, Yesus membuat Diri-Nya menjadi sangat kecil, meskipun sesungguhnya, bahkan surga-pun tidak cukup untuk memuat DiriNya. Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi seorang hamba… sama dengan manusia. Dan… sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, dan sampai mati di kayu salib (Flp 2: 5-8).

Di dalam kerendahan hati-Nya, Dia menanggung penghinaan untuk dosa yang tidak pernah Dia lakukan. Sekarang, setelah Dia bangkit dari mati, Dia merendahkan diri secara lebih lagi dengan hadir di dalam rupa hosti, agar Dia dapat tinggal bersama kita untuk menghantar kita ke hidup yang kekal. Di dalam Ekaristi, Yesus mengajar kita tentang hal kemiskinan dan kerendahan hati. Dia mengambil rupa roti untuk dipecah dan dibagi-bagi, agar Ia dapat hadir ‘di dalam batas sebuah partikel kecil’ (Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 31) – hanya untuk menunjukkan bahwa Dia mau melakukan apa saja, untuk menyatakan betapa Dia mengasihi kita. Yesus yang sempurna merendahkan diri-Nya sampai ke titik terendah, supaya kita yang rendah ini dapat dibawa kepada kesempurnaan Tuhan, dengan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya. Ia menjadi contoh bagi kita, supaya kita-pun mau berkurban untuk orang lain, supaya mereka dapat pula mengambil bagian di dalam kehidupan Allah.

Ekaristi membimbing kita kepada pengetahuan akan Tuhan, sebab di dalamnya kita melihat belas kasihan Allah dan kuasa Allah yang dinyatakan lewat perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus untuk menyelamatkan kita. Pada saat yang sama, kita dipimpin untuk sampai pada pengetahuan akan diri kita sendiri, sebab kita diingatkan akan dosa-dosa kita yang telah menyebabkan Dia wafat di Salib. Sungguh, Ekaristi merupakan contoh sempurna tentang kerendahan hati, yang menjadi dasar dari segala nilai-nilai kebijakan dalam Spiritualitas Kristiani. (lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, Q. 161, a.5 ad 2.) Ekaristi menyatakan dua kebenaran kepada kita: bahwa kita ini pendosa, namun sangat dikasihi oleh Tuhan. Dengan demikian, kita dapat belajar untuk dengan rendah hati menerima Dia yang sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, dan bahwa Ekaristi adalah cara Allah untuk mengasihi kita dan menyelamatkan kita.

Ekaristi membawa pertobatan yang terus menerus

Belas kasihan Tuhan yang dinyatakan di dalam Ekaristi membawa pertobatan, yang artinya ‘berbalik dari dosa menuju Tuhan’. Hal ini disebabkan karena kita tidak dapat bersatu dengan Tuhan yang kudus, jika kita tetap tinggal di dalam dosa. Pertobatan yang diikuti oleh pengakuan dosa yang menyeluruh adalah langkah pertama yang harus dibuat jika kita ingin sungguh-sungguh memulai kehidupan rohani. Langkah ini adalah pemurnian dari dosa berat. (Lih. St Francis de Sales, An Introduction to the Devout Life p.14-15) Sakramen Ekaristi tidak menghapuskan dosa-dosa berat ini, namun Ekaristi secara tidak langsung menyumbangkan pengampunan atas dosa-dosa tersebut. (Lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 77.) Selanjutnya melalui Ekaristi, Tuhan memberikan rahmat pada kita agar kita sungguh-sungguh bertobat, ‘membenci’ dosa kita, dan hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, sebab Dia membantu kita untuk melepaskan diri dari keterikatan yang tidak sehat kepada dunia, yang menurut Santo Fransiskus dari Sales adalah ‘segala kecenderungan untuk berbuat dosa’. Di dalam Ekaristi, kita ‘melihat’ penderitaan Kristus, sebagai akibat dari dosa-dosa kita, sehingga kita terdorong untuk menghindari dosa tersebut. Dengan pertobatan ini, selanjutnya kita dapat bertumbuh dengan berakar dalam Kristus (lih. KGK 1394).

Ekaristi adalah Sakramen Kasih yang mempersatukan

Di atas segalanya, Ekaristi adalah sakramen Kasih. Ekaristi adalah tanda Kasih, yang disebut oleh Gereja sebagai agape atau pax (damai). Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan yang tak terbatas dan yang membuahkan dua jenis persatuan, yaitu persatuan dengan Tuhan melalui Kristus dan persatuan dengan sesama di dalam Kristus. Persatuan ini adalah kasih yang tulus, yang menurut Santo Thomas adalah persahabatan antara manusia dengan Allah berdasarkan dengan kasih dan komunikasi dua arah, yang termasuk pemberian karunia kebahagiaan Tuhan kepada kita. (Cf. St Thomas Aquinas, Summa Theology II-II, Q.23,a.1.) Dengan demikian, kebahagiaan Allah menjadi kebahagiaan kita. Hal ini membuat kita dapat melakukan perbuatan baik dengan siap sedia dan hati gembira, karena keinginan dan pikiran kita menjadi seperti keinginan dan pikiran Allah.

Ekaristi membawa perubahan

Buah dari rahmat Ekaristi adalah ‘perubahan’. Yesus bukan hanya mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan DarahNya, tetapi Dia melakukan sesuatu yang lebih dahsyat lagi: Ia mengubah kita seutuhnya di dalam Dia dan mengisi kita dengan Roh Kudus yang sama yang membuat-Nya hidup. Dia mengubah keinginan kita untuk berbuat dosa menjadi keinginan untuk mengasihi. Dia mengubah kita, yang mempunyai keinginan hidup sendiri-sendiri menjadi keinginan untuk hidup dalam kebersamaan dalam damai. Sungguh, dengan menerima Ekaristi kita menjadi semakin dekat bersatu dengan Kristus (lih. KGK 1396), sehingga kita dapat terus menerus bertanya pada diri sendiri, “Apa yang akan dilakukan oleh Yesus, jika Ia ada di tempatku?” (Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 102) Sikap ini akan membawa kita kepada jalan kekudusan, sebab kita terdorong untuk selalu mencari kehendak Tuhan di dalam segala sesuatu dan menyesuaikan diri kita dengan gambaran-Nya.

Buah dari penerimaan Ekaristi tergantung dari sikap kita

Sungguh luas dan dalamlah makna Ekaristi dalam kehidupan rohani kita. Namun, buah dari penerimaan Ekaristi ini tergantung dari sikap kita. Semakin murni hati kita, semakin berlimpahlah rahmat yang kita terima. Sebab rahmat Tuhan yang berlimpah diberikan kepada kita di dalam Ekaristi, yang memberikan buah- buahnya yaitu:

  • memperkuat persatuan kita dengan Allah (KGK 1391, 1396)
  • meningkatkan dan memperbaharui rahmat Baptisan kita (KGK 1392)
  • memisahkan kita dari dosa (KGK 1393-1395)
  • mempersatukan kita sebagai tubuh Mistik Kristus (KGK 1396-1398)

Oleh karena itu, kita harus menerima Ekaristi di dalam keadaan berdamai dengan Allah (tidak sedang dalam dosa berat) dan di dalam iman. Di dalam liturgi Ekaristi, pikiran kita harus bersatu dengan perkataan doa kita, dan kita harus bekerja sama dengan rahmat itu; jika tidak, kita menerimanya dengan sia-sia (lih. 2 Kor 6:1, KGK 1394)

Kita harus memiliki pikiran dan hati seperti Bunda Maria, yang mengambil bagian secara penuh di dalam Misteri Paskah Kristus, dengan jawaban ‘YA’ yang total kepada Tuhan. Ia mempersembahkan dirinya seutuhnya kepada Allah sambil menanggung penderitaan sebagai ibu, yang mencapai puncaknya pada saat ia melihat kesengsaraan dan kematian Anaknya di hadapan matanya sendiri, atas tuduhan dosa yang tidak pernah diperbuat oleh-Nya. Oleh karena itu, Bunda Maria menjadi teladan dalam hal iman, kasih dan persatuan yang sempurna dengan Kristus. (Lih. Redemptoris Mater, 42) Dengan menyerahkan segala kehendak bebasnya kepada Allah, Bunda Maria memberikan contoh kepada kita untuk bekerjasama dengan Allah.

Kesimpulan

Ekaristi adalah, “sakramen kasih, tanda kesatuan, dan ikatan kasih”, sebuah Perjamuan Paskah di mana Kristus dikurbankan, untuk mengisi kita dengan rahmat yang menghantar kita kepada kehidupan kekal. (Lih. Sacrosanctum Concilium, 57) Sebagai sakramen kasih, Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk mencapai kesempurnaan kasih yaitu kekudusan. Sebagai tanda kesatuan, Ekaristi menandai persatuan antara Tuhan dengan semua orang beriman (Gereja), dan melalui Gereja, dengan seluruh dunia. Sebagai ikatan kasih, Ekaristi mengarah pada persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Sebagai Perjamuan Paskah, Ekaristi menggambarkan tujuan akhir kita di surga. Sungguh, Ekaristi menjadi ‘Surga di Dunia’. Oleh karena itu, Ekaristi menjadi sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani.

Kita harus bersatu dengan Kritus di dalam Ekaristi, jika kita ingin bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Dia; sebab Ia adalah sumber kekudusan dan guru kesempurnaan. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya,” kata Yesus, “dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (Yoh 15:5,8). Kita harus tinggal di dalam Kristus dan Gereja-Nya, yaitu Tubuh-Nya, supaya kita dapat berbuah, yaitu kekudusan di dalam kesempurnaan kasih, untuk memuliakan Tuhan.

Jadi, kekudusan tidak tergantung dari usaha kita semata-mata, tetapi adalah pemberian Tuhan. Di dalam Ekaristi, Tuhan memberikan kasih dan rahmat pengudusan-Nya kepada kita, yaitu pada saat kita berpartisipasi dengan aktif di dalamnya, dengan mengakui bahwa Ia adalah Tuhan, dan kita membiarkan Ia mengasihi kita dan memberikan rahmat-Nya kepada kita sesuai dengan cara yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya, kita pun memberikan segenap diri kita

kepada Tuhan. Rahmat pengudusan Tuhan akan mengubah kita menjadi orang yang paling berbahagia, karena dapat memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Kita yang lemah dan berdosa dapat diubah Tuhan menjadi kudus, dan dimampukan oleh-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan kasih yang di luar batas pemikiran manusia. Dan di sinilah kemuliaan Tuhan dinyatakan!

(Nonton bareng video Homili Bishop Barrons: https://youtu.be/3-giXW3_ijo)

Sharing

  1. Sharingkan apa yang ada di dalam benak kalian saat pertama kali kalian mendengar dan menyadari bahwa setelah konsekrasi di dalam Doa Syukur Agung, roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Bagaimana sikapmu terhadap Ekaristi kudus?
  2. Apa yang kalian rasakan kalau tidak bisa ke Gereja pada hari Sabtu/Minggu untuk misa kudus? Sharingkan.
  3. Seperti dalam doa Bapa kami “Give us this day our daily bread”, apakah berkat yang telah kamu terima dari Tuhan selama satu minggu terakhir ini? Sharingkan.

Mari kita tutup sesi CG hari ini dengan doa Bapa kami.

Closing Prayer

Our Father, who art in heaven, hallowed be Thy name. Thy kingdom come, Thy will be done, on earth as it is in heaven. Give us this day our daily bread, and forgive us our trespasses, as we forgive those who trespass against us. And lead us not into temptation, but deliver us from evil. Amen.

Reference