It is written, ‘Man shall not live by bread alone, but by every word that comes from the mouth of God.’
It is written, ‘Man shall not live by bread alone, but by every word that comes from the mouth of God.’
Kita sudah membahas di Cell Group minggu lalu bahwa Temperance (Penguasaan diri) adalah suatu kebajikan yang meliputi moderasi, pengendalian diri, dan disiplin yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang baik, penuh sukacita, dan bermartabat. Melalui penguasaan diri, kita dapat menggunakan kenikmatan dengan secukupnya dan mengarahkan keinginan kita menuju hal-hal yang lebih tinggi, seperti cinta kepada Tuhan. Kebajikan ini membantu kita menghindari kecanduan pada berbagai hal yang baik namun bisa menjadi berlebihan, dan mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menggunakan sumber daya dunia ini dengan bijaksana, terutama untuk membantu yang membutuhkan.
Penguasaan diri merupakan kebajikan sentral dalam kehidupan moral yang membantu kita mengelola keinginan dan tindakan dengan seimbang. Dengan berlatih moderasi dan bijaksana dalam memilih kata serta tindakan, kita dapat menghindari kecanduan, meningkatkan kesehatan emosional, dan mengarahkan hidup kita ke tujuan yang lebih luhur, yaitu cinta kepada Tuhan dan pelayanan kepada sesama. Pada akhirnya, penguasaan diri memungkinkan kita untuk merayakan kehidupan dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan yang sejati.
Maka, pada minggu ini kita mau mencoba menggali lebih jauh lagi tentang contoh / sosok seseorang dengan penguasaan diri yang kuat.
Temperance (Penguasaan diri) adalah kebajikan atau kebiasaan yang diperoleh yang mengatur, sesuai dengan alasan dan iman, daya tarik terhadap kesenangan indriawi, terutama daya tarik terhadap makanan dan kenikmatan seksual. Indra pengecap, peraba, penglihatan, pendengaran, dan penciuman sejalan dengan tatanan baik ciptaan Tuhan dan melibatkan kesenangan. Namun, kita sering menginginkan kenikmatan indriawi secara berlebihan. Oleh karena itu, dibutuhkan kebajikan ini untuk mengendalikan atau mengatur keinginan kita yang melibatkan indera.
Halo sobat CG sekalian, hari ini kita akan menjalani sebuah praktik spiritual yang bernama Lectio Divina. Lectio Divina adalah suatu bentuk meditasi mendalam terhadap Firman Tuhan. Tujuan utama dari Lectio Divina adalah untuk memahami, merenungkan, dan mendalami hubungan kita dengan Allah melalui bacaan Kitab Suci. Metode ini tidak hanya sekedar membaca, melainkan juga mengundang kita untuk mendengarkan suara Tuhan dalam kata-kata-Nya, merenungkan makna yang lebih dalam, berdialog dengan-Nya, dan merasakan panggilan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kita ingin bahagia, dan kita ingin mengejar kebaikan dengan cara yang akan membuat kita bahagia. Ini berarti kita harus belajar bagaimana bertindak dengan baik, yang juga melibatkan nilai kebajikan. Terdengar rumit? Secara sederhana: kebajikan adalah tentang melakukan hal-hal yang benar, dan jika kita melakukan hal-hal yang benar, kita akan menjadi bahagia. Namun, apa hal pertama yang kita butuhkan jika kita ingin melakukan hal yang benar? Jelas, kita perlu tahu apa yang seharusnya dilakukan. Di sinilah kebijaksanaan memainkan peranan penting.
Dalam tradisi Kristiani, kebijaksanaan (prudence) dipahami sebagai kebijaksanaan praktis yang memungkinkan seseorang untuk menjadi baik dan bertindak dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hal-hal biasa maupun luar biasa. Atau, seperti yang dikutip secara ringkas dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) dari St. Thomas Aquinas, kebijaksanaan adalah “right reason in action.” Kebijaksanaan bertanggung jawab untuk memilah keinginan-keinginan yang berbudi luhur, karena ia membentuk kehidupan manusia yang masuk akal. Kebijaksanaanlah yang secara langsung membimbing penilaian hati nurani. Orang yang bijaksana memiliki keinginan yang telah dibentuk oleh kebajikan moral. Salah satu orang yang memiliki kebajikan utama (Central Virtues) kebijaksanaan dan dapat terlihat dengan jelas adalah St. Thomas Aquinas. Dalam CG hari ini, kita mau mengenal lebih dekat lagi dengan Santo Thomas Aquinas.
Halo sobat CG sekalian, hari ini kita akan menjalani sebuah praktik spiritual yang bernama Lectio Divina. Lectio Divina adalah suatu bentuk meditasi mendalam terhadap Firman Tuhan. Tujuan utama dari Lectio Divina adalah untuk memahami, merenungkan, dan mendalami hubungan kita dengan Allah melalui bacaan Kitab Suci. Metode ini tidak hanya sekedar membaca, melainkan juga mengundang kita untuk mendengarkan suara Tuhan dalam kata-kata-Nya, merenungkan makna yang lebih dalam, berdialog dengan-Nya, dan merasakan panggilan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Paus Fransiskus berharap: “Semoga Tahun Yubileum ini menjadi kesempatan bagi semua umat Allah untuk berjumpa dengan Kristus, yang adalah “Pintu” keselamatan kita (Yoh 10:7-9) dan “Sumber Pengharapan” (1 Tim 1:1). Kita semua diajak untuk menjadi peziarah pengharapan (pilgrims of hope) dimana kita memulai perjalanan iman dan transformasi yang membawa pembaruan di dalam hidup kita dan Gereja secara umum.
Tahun Yubileum adalah perayaan yang penuh makna dalam Gereja Katolik. Merupakan bagian penting dari tradisi iman, Tahun Yubileum memberikan kesempatan bagi umat untuk merenungkan perjalanan iman mereka, mendapatkan pengampunan dosa, serta memperdalam relasi dengan Tuhan. Berbeda dengan perayaan agama lainnya, Yubileum menawarkan kesempatan untuk pembaruan spiritual dan sosial, melalui refleksi dan tindakan nyata yang membawa umat lebih dekat dengan ajaran Kristus. Perayaan ini memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak zaman Perjanjian Lama, namun dalam Gereja Katolik, konsep ini diperluas dan diadaptasi untuk konteks zaman modern. Bahan CG hari ini akan membahas sejarah Tahun Yubileum, makna teologisnya, serta dampaknya terhadap kehidupan umat Katolik.
Halo sobat CG sekalian, hari ini kita akan menjalani sebuah praktik spiritual yang bernama Lectio Divina. Lectio Divina adalah suatu bentuk meditasi mendalam terhadap Firman Tuhan. Tujuan utama dari Lectio Divina adalah untuk memahami, merenungkan, dan mendalami hubungan kita dengan Allah melalui bacaan Kitab Suci. Metode ini tidak hanya sekedar membaca, melainkan juga mengundang kita untuk mendengarkan suara Tuhan dalam kata-kata-Nya, merenungkan makna yang lebih dalam, berdialog dengan-Nya, dan merasakan panggilan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam bahan CG kali ini kita akan mensharingkan tentang sajak ‘Hamba yang Menderita’. Sajak ini adalah sosok misterius yang digambarkan dalam kitab Nabi Yesaya. Bahkan sosok ini digunakan secara langsung dan tidak langsung oleh Tuhan kita Yesus Kristus, dan peranNya yang sangat besar dalam kehidupan Gereja.