Intro
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita berpikir bahwa menjadi santo atau santa hanya untuk imam, biarawan/biarawati, atau orang-orang dengan kesalehan luar biasa. Padahal, Gereja Katolik mengajarkan bahwa panggilan untuk hidup kudus terbuka bagi semua umat beriman, termasuk kita yang hidup di dunia modern sebagai orang awam. Panggilan ini bukan hanya teori; ia adalah undangan nyata untuk meneladani Kristus dan mewujudkan kasih Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Santo dan Santa dalam Gereja Katolik
Santo dan santa adalah mereka yang hidupnya menunjukkan kesalehan luar biasa dan ketaatan penuh kepada Allah, serta dijadikan teladan bagi umat Katolik. Dalam tradisi Gereja Katolik, kita familiar dengan praktik devosi kepada santo/santa, misalnya Bunda Maria atau St Mikael Malaikat Agung. Kita yang sudah menerima Sakramen Baptis dan/atau Krisma juga tentu familiar dengan santo/santa pelindung yang namanya kita pakai. Dalam ajaran Gereja Katolik, peran santo/santa bukanlah untuk menyaingi peran Allah sebagai pelindung (Yes 1:24; Mzm 31:2; 62:7) atau Kristus sebagai satu-satunya pengantara kita kepada Allah (1 Tim 2:5). Allah melibatkan para orang kudus-Nya untuk melindungi kita dengan pengantaraan doa-doa mereka, seperti halnya Allah melibatkan kita menjadi saluran berkat-Nya dengan mendoakan orang lain.
Gereja Katolik memiliki proses resmi untuk mengakui seseorang santo atau santa melalui kanonisasi. Proses ini biasanya dimulai beberapa tahun setelah kematian, dimulai dengan pengakuan sebagai “Servus Dei” (Hamba Allah), diikuti oleh beatifikasi setelah mukjizat pertama diverifikasi, dan kemudian kanonisasi setelah mukjizat kedua dikonfirmasi. Paus kemudian secara resmi menyatakan orang tersebut sebagai seorang “santo” atau “santa”. Di tahun 2025 ini, ada setidaknya sembilan orang yang dikanonisasi sebagai santo/santa, beberapa di antaranya St Carlo Acutis, yang dikenal sebagai santo pertama dari generasi millenial, dan St Pier Giorgio Frassati, santo pelindung kaum muda dan orang awam.
Teladan Orang Awam yang Menjadi Santo
Sejarah Gereja memberikan banyak contoh orang awam yang hidup kudus dan diakui sebagai santo atau santa. Santa Anne Mary Taigi, seorang ibu rumah tangga, menjalani hidup sederhana namun penuh doa dan pelayanan bagi keluarga serta tetangga. Santo Bartolo Longo, seorang pengacara yang kembali ke iman Katolik, menyalurkan hidup kudusnya melalui pendidikan dan pelayanan masyarakat. Kisah mereka menunjukkan bahwa kekudusan bisa diwujudkan di berbagai konteks kehidupan.
Selain mereka yang diakui resmi, banyak orang awam menjalani hidup kudus secara diam-diam, tanpa pamrih atau pengakuan publik. Seorang guru yang sabar mendidik murid, seorang dokter yang merawat pasien dengan tulus, atau seorang tetangga yang selalu siap membantu, semuanya menunjukkan bahwa setiap orang bisa menjadi saksi Kristus melalui tindakan sehari-hari. Teladan-teladan ini mengajarkan bahwa kekudusan bukan sekadar gelar atau status, melainkan cara hidup yang konsisten dan tulus.
Panggilan Universal untuk Kekudusan
Paus Yohanes Paulus II menegaskan dalam ensiklik Christifideles Laici bahwa setiap orang yang dibaptis memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk hidup kudus. Kekudusan bukan soal mukjizat atau hal luar biasa, tetapi kesetiaan dalam hal-hal kecil sehari-hari yang menandakan kasih kepada Tuhan dan sesama. Dalam perumpamaan pekerja di kebun anggur (Mat 20: 1-16), umat beriman diibaratkan sebagai “pekerja” di “kebun anggur” yang ibarat Kerajaan Allah. Tuhan memanggil siapapun, kapanpun untuk membangun Kerajaan-Nya.
Panggilan menjadi kudus bukan hanya untuk keselamatan pribadi, tetapi juga untuk memberi kesaksian kepada lingkungan sekitar kita. Hidup kudus membuat kita menjadi terang di tengah kegelapan, inspirasi bagi orang lain, dan sarana kasih Allah bekerja melalui kita. Kekudusan kita membawa orang lain lebih dekat kepada Tuhan, sekaligus meneguhkan iman kita sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa meneladani kekudusan melalui ketulusan bekerja, kejujuran, kesabaran, pengampunan, dan perhatian terhadap mereka yang membutuhkan. Tindakan-tindakan kecil, jika dilakukan dengan tulus, membentuk karakter kudus yang nyata dan konsisten. Kekudusan juga berarti menempatkan Tuhan sebagai pusat hidup melalui doa, refleksi, dan partisipasi aktif dalam sakramen-sakramen Gereja.
Tidak ada yang terlalu sederhana atau terlalu biasa untuk menjadi tempat mewujudkan kasih Allah. Setiap pekerjaan, setiap hubungan, dan setiap interaksi sosial memiliki potensi untuk menjadi sarana kekudusan. Ini membangun kehidupan yang bermakna dan memberi dampak positif bagi orang lain, sehingga setiap umat beriman dapat menjadi saksi Kristus melalui segala tindakan sekecil apapun. Kesetiaan pada hal-hal kecil yang tampak biasa justru memiliki nilai besar di mata Tuhan.
Tantangan Hidup Kudus di Dunia Modern
Dunia modern penuh godaan yang dapat menghalangi hidup kudus. Ambisi pribadi, tekanan sosial, dan nilai-nilai duniawi yang bertentangan dengan iman membuat sulit fokus pada panggilan kekudusan. Namun, setiap kesulitan juga membuka kesempatan untuk menunjukkan ketekunan iman dan memperdalam hubungan dengan Tuhan.
Menjadi kudus di dunia modern berarti mengintegrasikan iman dalam semua aspek kehidupan dan menentang godaan-godaan yang menjauhkan kita dari Tuhan. Misalnya, seorang profesional yang menolak terlibat praktik KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) demi mengejar posisi atau keuntungan pribadi. Contoh lain yang mungkin lebih relevan, kita bisa memilih untuk tidak terlibat gosip atau pembicaraan negatif tentang orang lain hanya demi popularitas dan hiburan. Memilih untuk menolak godaan-godaan tersebut, walaupun terkadang bukan pilihan yang logis atau mudah, adalah contoh konkrit hidup selaras dengan panggilan hidup kudus.
Kesetiaan pada prinsip Kristiani dalam hidup sehari-hari, ketekunan dalam doa, dan pelayanan kepada sesama menjadi bukti nyata bahwa kekudusan tetap bisa hidup di tengah zaman yang penuh distraksi. St. Josemaria Escriva menekankan, “Santo adalah orang yang melakukan tugas-tugasnya sehari-hari dengan cinta dan kesetiaan kepada Tuhan.” Hal ini menunjukkan bahwa keputusan sehari-hari, sekecil apapun, bisa menjadi jalan menuju kekudusan.
Mengikuti Teladan Kristus
Yesus Kristus adalah teladan utama hidup kudus. Ia hidup sederhana, melayani tanpa pamrih, mengampuni, dan mengasihi tanpa batas. Dalam Alkitab, banyak contoh nyata yang menunjukkan teladan-Nya untuk hidup dalam kekudusan. Salah satu contohnya adalah ketika Yesus mencuci kaki murid-murid-Nya (Yoh 13:1-17). Tindakan ini menunjukkan pelayanan rendah hati, bahwa kekudusan dan kasih bisa diwujudkan melalui tindakan sederhana namun penuh makna. Saat Yesus memberi makan lima ribu orang (Mat 14:13-21), Ia menunjukkan kepedulian terhadap kebutuhan orang lain dan pelayanan tanpa pamrih. Dua dari banyak contoh teladan Yesus ini mengajarkan kita pentingnya kerendahan hati, pelayanan kepada sesama, dan kepedulian yang tulus tanpa mengharapkan balasan.
Kesimpulan
Setiap orang beriman dipanggil untuk hidup kudus sesuai panggilan masing-masing, baik diakui resmi oleh Gereja atau tidak. Kekudusan ditemukan dalam kesetiaan pada hal-hal kecil sehari-hari, kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama, serta ketekunan menghadapi tantangan hidup. Meneladani Kristus dalam pelayanan, pengampunan, dan kerendahan hati adalah inti dari panggilan hidup kudus. Penting diingat bahwa kita dipanggil untuk hidup kudus bukan hanya untuk keselamatan pribadi, melainkan juga menjadi saksi dan perpanjangan kasih Allah bagi lingkungan sekitar kita. Seperti dalam perumpamaan pekerja di kebun anggur, tidak ada yang terkecuali atau terlambat untuk dipanggil hidup kudus atau melayani sesama.
Pertanyaan Sharing
- Siapa santo atau santa pelindungmu, dan bagaimana mereka menginspirasi kehidupan berimanmu?
- Apa godaan atau peer pressure yang paling sulit kamu tolak dalam menjalani panggilan untuk hidup kudus ini? Apa langkah yang kamu ambil untuk bisa tetap menjaga integritas sebagai orang beriman?
- Dari teladan Yesus, seperti mencuci kaki murid-murid-Nya, bagaimana kamu merasa terpanggil untuk melayani dalam kehidupan sehari-hari?
Referensi
https://katolisitas.org/kriteria-seorang-diberi-gelar-santosanta/