Intro
Dalam bahan CG kali ini kita akan mensharingkan tentang sajak ‘Hamba yang Menderita’. Sajak ini adalah sosok misterius yang digambarkan dalam kitab Nabi Yesaya. Bahkan sosok ini digunakan secara langsung dan tidak langsung oleh Tuhan kita Yesus Kristus, dan peranNya yang sangat besar dalam kehidupan Gereja.
Bahan
Kitab ini masih memainkan peran penting dalam liturgi kudus, dibacakan sepanjang Minggu Adven, setiap Misa Natal, beberapa Minggu selama Misa Biasa, Minggu Palma, Misa Krisma pada Kamis Putih, Jumat Agung, dan Paskah Vigili.
Baik sebagai karakteristik maupun isyarat, kitab ini mendasari banyak bagian dari Perjanjian Baru. Selain itu, khususnya gambaran dari Pelayan yang Menderita, seperti yang digambarkan dalam empat Nyanyian Pelayan yang Menderita dari Tuhan (Yes. 42:1-4; 49:1-7; 50:4-11; 52:13-53), yang Yesus padukan dengan nubuat Anak Manusia dari Daniel 7 untuk menjelaskan rupa Dia sebagai Mesias.
Siapakah Pelayan yang Menderita? Pertanyaan ini tidak pernah dijawab secara langsung dalam Kitab Yesaya. Namun, masing-masing nubuat memberikan detail yang dapat mengungkapkannya. Meskipun beberapa orang mengklaim bahwa sosok tersebut adalah Yesaya sendiri atau tokoh Perjanjian Lama lainnya, atau bahkan bangsa Israel itu sendiri, namun hanya sebagai sosok Yesus yang masuk akal, karena hanya Dia yang memenuhi semua yang dinubuatkan tentang Pelayan Tuhan.
Nubuat Pertama
Nubuat pertama menyampaikan misi dari sosok misterius ini. Dia adalah orang yang dipilih oleh Tuhan, yang dengan-Nya Ia merasa senang dan di atasnya Roh-Nya berdiam. Ini mengingatkan pada pembaptisan Yesus ketika Roh Kudus turun atas Yesus dalam bentuk burung merpati dan Bapa berkata kepada Yesus, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi; kepada-Mulah Aku berkenan” (Mrk. 1:10-11). Misi Hamba yang Menderita adalah untuk membawa keadilan kepada bangsa-bangsa melalui petunjuk yang dinantikan oleh seluruh dunia.
Keadilan menurut Alkitab adalah soal berhubungan dengan benar. Tuhan memilih Hamba untuk membawa transformasi umat manusia dari jalan dosa ke jalan keadilan. Dia datang untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan, dirinya sendiri, sesama, dan dunia, yang semua hal itu telah terganggu oleh dosa pertama Adam dan Hawa. Hamba yang Menderita menetapkan keadilan melalui instruksi, yang terutama merujuk kepada Sepuluh Perintah Allah.
Ketika bangsa-bangsa hidup dalam hubungan yang benar, mereka akan hidup di dunia yang digambarkan dalam Sepuluh Perintah Allah.
Nubuat Kedua
Hamba yang Menderita menyampaikan tanggapannya terhadap misinya dalam Nubuat Kedua. Dia mengakui panggilan yang telah diberikan Tuhan kepadanya sejak kelahirannya dan mengumumkan bahwa keselamatan Israel ditujukan bukan hanya untuk penebusan mereka sendiri, namun juga untuk pembebasan semua bangsa. Perjuangan Hamba untuk menyelesaikan misinya yang pertama kali tampak sia-sia dan usahanya sepertinya tidak membuahkan hasil, namun dia akhirnya menyadari bahwa segala sesuatu bergantung pada Tuhan—bahwa keselamatan adalah pekerjaan Tuhan, bukan hanya pekerjaannya sendiri, dan bahwa kesetiaannya terhadap panggilannya akan menghasilkan pemuliaan baginya.
Seperti yang diceritakan dalam nubuat kedua, misi Hamba adalah misi penderitaan karena orang-orang tidak mau mendengarkan apa yang dia ungkapkan. Dia meratapi kekejaman yang ditimpakan kepadanya namun tetap mengakui imannya percaya kepada Tuhan, meskipun tampaknya dia telah ditinggalkan kepada musuh-musuhnya. Dia percaya pada pertolongan Tuhan, tetapi orang-orang tidak percaya padanya maupun kepada Tuhan. Akibatnya, mereka berjalan dalam kegelapan dan jalan menuju maut.
Nubuat Terakhir
Nubuat terakhir menggambarkan seluruh tujuan Hamba — bahwa manusia yang tidak berdosa harus mati demi penebusan orang berdosa. Melalui pengorbanan nyawanya demi tebusan banyak orang, Tuhan meninggikan dia dan mengampuni semua orang yang kepadanya Dia telah mati. Nubuatan ini mungkin memang merupakan nubuatan paling penting mengenai Yesus di seluruh Perjanjian Lama.
Yesus sebagai Hamba yang Menderita
Dengan membaca Injil, kita belajar tentang penghargaan Yesus terhadap identitas-Nya sebagai Hamba yang Menderita. Hal ini terlihat dari cara Yesus menanggapi pertanyaan tentang identitasnya sebagai Mesias. Di seluruh Injil, Yesus enggan menyatakan diri-Nya sebagai Mesias karena ketakutan-Nya yang nyata bahwa orang banyak ingin menjadikan Dia sebagai raja mereka. Namun pengharapan mesianis mereka terhadap Raja Daud atau Raja Salomo yang baru, yang akan mengembalikan Israel ke tempat yang semestinya di dunia, penuh kekuasaan, kemuliaan dan kekayaan, bukanlah misi-Nya. Sebaliknya, Kristus datang untuk mewartakan kerajaan bukan dari dunia ini yang tandanya bukanlah kekuasaan, kemuliaan dan kekayaan, melainkan kerajaan Allah yang tandanya adalah “kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (Rm. 14:17).”
Oleh karena itu, Hamba yang Menderita sangat kontras bertolak belakang dengan harapan manusia di zaman Yesus, baik oleh murid-murid-Nya maupun musuh-musuh-Nya. Misalnya, ketika Yesus mengungkapkan bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan, dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit pada hari ketiga, Petruslah yang menegor-Nya, mungkin tidak hanya mengungkapkan pikirannya sendiri, namun juga mewakili seluruh kelompok. Ini bukanlah Mesias yang mereka harapkan. Yesus menegurnya, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mrk. 8:31-33).” Beberapa saat kemudian, Yesus akan mengulangi nubuatan yang sama kepada mereka, namun mereka tetap menolak untuk mendengarkan apa yang Dia katakan karena mereka terlalu sibuk memutuskan siapa yang paling penting dalam Kerajaan itu (Mrk. 9:30-37).
Hanya dalam terang Kebangkitan dan setelah pencurahan Roh Kudus, yang pada Perjamuan Terakhir Yesus berjanji akan mengajar mereka dalam segala hal dan mengingatkan mereka akan semua yang telah Dia katakan kepada mereka (Yoh. 14:26), barulah para Rasul memahami dengan jelas apa yang ingin dikatakan Yesus tentang menjadi Hamba yang Menderita dan juga Anak Manusia.
Kristus tidak perlu mengatakan bahwa Dia adalah Hamba yang Menderita karena apa yang Dia lakukan dan katakan sudah memperjelas hal itu. Dialah Hamba yang dinubuatkan akan datang yang akan menanggung dosa orang lain demi penebusan mereka.
Memang benar, sejak awal pelayanan publik-Nya, ketika Ia mengumumkan pembacaan kitab Yesaya (“Roh Tuhan Allah ada pada-Ku,… Yes. 61:1 dst.) di Sinagoga di Nazaret (Luk. 4), jelas bahwa Yesus memahami diri-Nya dan misi-Nya dalam terang nubuatan dalam Yesaya dan khususnya tentang Hamba yang Menderita. Pada akhir pelayanan publik-Nya, Dia mengumpulkan para murid di ruang atas untuk Perjamuan Terakhir dan pada saat itulah Dia mengadakan Ekaristi Kudus sehingga murid-murid-Nya selanjutnya dapat memahami makna seluruh hidup-Nya: yaitu pada hari Jumat Agung, ketika Dia akan disalib, Tuhan akan menyampaikan firman-Nya yang terakhir dan lengkap tentang makna cinta dan misteri Tuhan kepada umat manusia. Yesus – kasih yang berinkarnasi – melakukan apa yang dilakukan kasih: menderita bagi orang lain dan mencurahkan seluruh hidup-Nya – mengorbankan segalanya tanpa syarat dan kondisi – demi kebaikan orang lain, bahkan demi kebaikan setiap orang, agar mereka dapat memiliki kehidupan.
Namun ceritanya tidak berhenti sampai disitu, seolah-olah pengorbanan Kristus adalah akhir dari cerita tersebut, karena Jumat Agung tidak ada artinya kecuali jika dirayakan dalam terang gemilang Paskah. Nubuat – nubuat ini adalah penggenapannya akan kebangkitan Kristus. Hamba yang Menderita mencurahkan darahnya demi pengampunan dosa agar kita bisa hidup bersama Dia dalam kemuliaan.
Pertanyaan Sharing
- Bagaimana kita bisa mengerti dan mengaplikasikan konsep keadilan yang diajarkan oleh Hamba yang menderita dalam kehidupan sehari-hari kalian? Sharingkan!
- Apa yang bisa kita pelajari dari sikap Yesus yang setia pada misi-Nya meskipun banyak orang tidak mengerti dan menolak-Nya? Sharingkan!
- Bagaimana kita merasakan arti pengorbanan Yesus dalam hidup kita, terutama saat kita merayakan Jumat Agung dan Paskah? Sharingkan!