Sesi 72 - Week of 13 Jul 2025

Santa Thérèse dari Lisieux sebagai teladan Penguasaan Diri


Intro

Kita sudah membahas di Cell Group minggu lalu bahwa Temperance (Penguasaan diri) adalah suatu kebajikan yang meliputi moderasi, pengendalian diri, dan disiplin yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang baik, penuh sukacita, dan bermartabat. Melalui penguasaan diri, kita dapat menggunakan kenikmatan dengan secukupnya dan mengarahkan keinginan kita menuju hal-hal yang lebih tinggi, seperti cinta kepada Tuhan. Kebajikan ini membantu kita menghindari kecanduan pada berbagai hal yang baik namun bisa menjadi berlebihan, dan mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menggunakan sumber daya dunia ini dengan bijaksana, terutama untuk membantu yang membutuhkan.

Penguasaan diri merupakan kebajikan sentral dalam kehidupan moral yang membantu kita mengelola keinginan dan tindakan dengan seimbang. Dengan berlatih moderasi dan bijaksana dalam memilih kata serta tindakan, kita dapat menghindari kecanduan, meningkatkan kesehatan emosional, dan mengarahkan hidup kita ke tujuan yang lebih luhur, yaitu cinta kepada Tuhan dan pelayanan kepada sesama. Pada akhirnya, penguasaan diri memungkinkan kita untuk merayakan kehidupan dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan yang sejati.

Maka, pada minggu ini kita mau mencoba menggali lebih jauh lagi tentang contoh / sosok seseorang dengan penguasaan diri yang kuat.

Tokoh dalam Gereja Katolik

Dalam tradisi Katolik, Santa Thérèse dari Lisieux adalah contoh kuat dari penguasaan diri. Ia dikenal karena “jalan kecilnya” dalam melakukan hal-hal biasa dengan cinta yang besar, yang melibatkan pengendalian emosinya dan menemukan sukacita dalam tugas-tugas sederhana.

Santa Thérèse dari Lisieux mencontohkan penguasaan diri dengan mengendalikan emosi dan amarah awalnya yang kuat, menemukan cara untuk hidup dengan rahmat dalam segala hal. Ia mengatasi kecenderungannya yang manja dan belajar untuk percaya pada kasih Allah, yang pada akhirnya mencapai kekudusan melalui tindakan sehari-hari.

Kehidupan Santa Thérèse dari Lisieux

– Thérèse dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sebagai anak bungsu di antara sembilan saudara, di mana hanya lima putri yang mencapai dewasa.

– Karena Thérèse adalah ‘bayi’ dalam keluarga, ia sering kali mendapatkan perlakuan khusus tidak hanya dalam hal materi, tetapi yang lebih penting adalah cinta tanpa syarat, sehingga ia terbiasa mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya.

– Sebagai seorang anak, Thérèse memiliki temperamen yang kuat dan sering kali meledak-ledak ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia sangat sensitif dan mudah menangis. Ketika ditawari sebuah barang dari keranjang mainan, ia mengambil seluruh keranjang. “Saya memilih semuanya!,” deklarasinya dengan penuh kemenangan.

– Ketika Thérèse berusia 4 tahun, ibunya meninggal. Kakak perempuannya, Pauline, yang menjadi ibu kedua baginya, mengajarnya sampai ia berusia 9 tahun. Sekitar saat itu, Pauline meninggalkan rumah dan bergabung dengan biara Karmelit. Thérèse sangat kecewa karena Pauline pergi dan ia tidak diizinkan untuk ikut bersama kakaknya.

– Terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya, Thérèse tetap bersikeras dalam upayanya untuk bergabung dengan biara Karmelit. Ia memulai pencariannya dengan mengajukan permohonan kepada imam administratif komunitas, Uskup setempat, dan kemudian Paus sendiri. Akhirnya, Uskup mengizinkannya untuk masuk ke biara Karmelit setelah Paskah tahun 1888 pada usia 15 tahun.

– Di biara, Thérèse diangkat sebagai asisten pengurus novis. Ia mengajarkan mereka ‘jalan kecilnya’ untuk mencapai kekudusan melalui kepercayaan dan cinta kepada Tuhan.

– Thérèse, santa yang paling dicintai dan terkenal di zaman modern, menulis memoar spiritualnya berjudul “Kisah Sebuah Jiwa.” Ia meninggal akibat tuberkulosis pada usia 24 tahun.

Bagaimana Santa Thérèse dari Lisieux menjadi teladan penguasaan diri?

– Thérèse adalah anak favorit yang dimanjakan dalam keluarganya. Ia juga pemalu, keras kepala, berkehendak kuat, dan sering kali meledak-ledak. Ia mengembangkan rasa dosa yang berlebihan dan menderita keraguan diri. Untuk menemukan jalan menuju Surga, ia mengikuti ‘jalan kecilnya,’ yaitu melakukan tugas-tugas kecil sehari-hari dengan cinta yang besar. Ia melepaskan kebiasaan egoisnya dan ketika ia belajar untuk mempercayai Yesus agar menjadikannya kudus, emosi dan ledakan amarahnya tidak lagi mengendalikan dirinya.

– Thérèse bertekad untuk menjadi seorang santa. Ia melihat dirinya sebagai bunga kecil di taman Tuhan. Ia menyatakan, “Kesempurnaan terdiri dari menjalankan kehendak-Nya, menjadi apa yang Dia inginkan kita jadi.” Ia mengandalkan pengorbanan kecil dan sehari-hari daripada tindakan besar sebagai cara untuk mencapai Surga.

– Sebagai bagian dari ‘jalan kecilnya,’ ia berusaha untuk tetap seperti seorang anak kecil. Ia tidak menganggap dirinya berhak atas kebaikan yang ia lakukan atau bakat yang ia miliki. Ia merujuk segalanya kepada kebaikan Tuhan dan sepenuhnya mempercayakan dirinya kepada-Nya.

Apakah kebajikan penguasaan diri itu?

Penguasaan diri adalah kebajikan atau kebiasaan yang diperoleh yang mengatur, sesuai dengan akal dan iman, daya tarik kesenangan terhadap indra, khususnya daya tarik terhadap makanan dan kenikmatan seksual. Indra perasa, peraba, penglihatan, pendengaran, dan penciuman selaras dengan tatanan ciptaan Allah yang baik dan melibatkan kesenangan. Namun, kita seringkali menginginkan kesenangan indrawi secara berlebihan. Oleh karena itu, dibutuhkan kebajikan ini untuk memoderasi atau mengatur keinginan kita yang melibatkan indra.

* Kebajikan adalah disposisi yang habitual dan teguh untuk berbuat baik. Kita mengembangkan kebajikan atau kebiasaan baik melalui pendidikan, tindakan baik yang sering dilakukan, dan ketekunan dalam perjuangan.

* Kebajikan penguasaan diri adalah praktik moderasi, pengendalian diri, disiplin diri, penguasaan diri dalam segala hal. Tujuan utama penguasaan diri adalah kehidupan yang baik, penuh sukacita, dan pantas di dunia ini.

* Kebajikan penguasaan diri memungkinkan kita, melalui rahmat Roh Kudus dan kerja sama kita melalui kekuatan kehendak kita (“kemauan”), untuk menggunakan segala sesuatu dengan moderasi dan mengarahkan bahkan hal-hal yang menyenangkan dalam hidup menuju keselamatan kita dan keselamatan orang lain. Kebajikan ini terkadang menuntun kita untuk menahan diri dari kesenangan yang diperbolehkan sekalipun (mortifikasi) untuk memperoleh kesenangan ilahi yang penuh sukacita dalam setiap bidang kehidupan kita.

* Ada tujuan hidup yang lebih tinggi daripada sekadar kesenangan demi kesenangan itu sendiri. Kita harus menggunakan kesenangan dengan moderasi, jika tidak, ia dapat mengendalikan kita dan menjadi “berhala”. Kelebihan dalam bidang apapun menyebabkan hilangnya kebebasan, hilangnya sukacita, dan hilangnya kepuasan tertinggi. Kepuasan tertinggi kita adalah mengenal dan mencintai Allah, yang merupakan pemenuhan segala keinginan kita.

Mengapa kita membutuhkan kebajikan penguasaan diri?

* Praktik moderasi, pengendalian diri, dan disiplin diri sangat penting untuk mengembangkan karakter dan mengendalikan keinginan yang tidak teratur dalam tubuh kita.

* Penguasaan diri membimbing kita dalam menikmati hal-hal baik dalam moderasi yang seimbang, tidak pernah berlebihan. Kita dapat menjadi kecanduan pada hal-hal yang pada dasarnya baik seperti makanan, harta benda, olahraga, minuman, hiburan, pengakuan, pekerjaan, uang, kekuasaan, mencari kesuksesan, dll. Berlebihan dalam hal apapun adalah keburukan karena merupakan kurangnya pengendalian diri dan menempatkan pemberian di atas Pemberi segala pemberian, yaitu Yesus.

* Kita membutuhkan penguasaan diri untuk menghindari gaya hidup atau pengeluaran yang boros. Kita memiliki tanggung jawab untuk menggunakan hal-hal dunia ini dengan bijak, terutama untuk membantu orang miskin. Berbagi dengan mereka yang membutuhkan diwajibkan oleh Injil.

* Tugas kita adalah meminta dan bekerja sama dengan rahmat Allah dalam mengembangkan kebajikan penguasaan diri, dan membiarkan Dia menyempurnakannya dalam diri kita.

Kesimpulan

Kebajikan penguasaan diri adalah kemampuan untuk mengendalikan keinginan akan kesenangan indrawi, terutama makanan dan kenikmatan seksual, berdasarkan akal dan iman. Ini bukan hanya tentang menahan diri sepenuhnya, tetapi tentang menikmati hal-hal baik dengan moderasi dan keseimbangan.

Penguasaan diri penting untuk mengembangkan karakter, menghindari kecanduan, menggunakan sumber daya dunia dengan bijak, dan mengarahkan segala sesuatu, termasuk kesenangan, menuju tujuan akhir kita yaitu mengenal dan mencintai Tuhan. Untuk mengembangkan kebajikan ini, kita perlu berusaha, berlatih, dan bekerja sama dengan rahmat Tuhan.

Sharing Questions

  1. Menurut pengalamanmu, apa yang kamu lakukan ketika kamu tidak berhasil mendapatkan apa yang kamu inginkan? (misalkan tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan)
  2. Dalam kehidupan sehari-harimu, area mana saja yang menurutmu paling menantang untuk dipraktikkan kebajikan penguasaan diri, dan mengapa? Sharingkan!
  3. Menurutmu, apa yang bisa dirasakan seseorang dalam hidupnya jika ia sungguh-sungguh berusaha mengembangkan kebajikan penguasaan diri? Sharingkan!

Reference

Temperance – Diocese of La Crosse

https://diolc.org/files/catechesis/Temperance_Teacher.pdf

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://diolc.org/files/catechesis/Temperance_Teacher.pdf&ved=2ahUKEwjTnYzs6eCMAxU1yzgGHXuNJcgQgMkKegQIGBAK&usg=AOvVaw0ln2NeUAiLHMH8barCrMuk