Intro
Jika Yesus mengajak kita untuk mengampuni ‘sampai tujuh puluh kali tujuh kali’, itu berarti bahwa kita harus memohon terus-menerus petunjuk dari Tuhan bagaimana untuk dapat terus mengampuni sesama. Bagaimana saya dapat mengampuni sahabatku yang telah berkhianat? Bagaimana saya dapat mengampuni rekan kerjaku yang berbohong terus-menerus? Bagaimana saya dapat mengampuni atasanku yang bertindak tidak adil? Itulah contoh-contoh pertanyaan yang sering kita dengar dari orang-orang yang merasa sulit mengampuni.
Rupanya mengampuni juga tak mudah bagi murid sehebat Petrus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus menjawab: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18: 21).
Bapa Gereja, Siprianus menyatakan
Kita memang meneladan kerahiman Allah, yang dalam belaskasihan-Nya menyatakan pengampunan-Nya kepada umat manusia. Karena itu, langkah meneladan Allah tersebut nyata kalau kita sendiri menghidupi kerahiman tersebut, dengan kerelaan hati kita untuk juga mengampuni. Pengampunan adalah salah satu tanda keselamatan, mengampuni karenanya adalah buah dari rahmat keselamatan tersebut. Kerahiman Allah tidak dapat sungguh meresap di hati sebelum kita sedia mengampuni. Malahan saat berdoa pun, mempersembahkan persembahan di altar Tuhan, kita diminta untuk berdamai terlebih dahulu, sebelum meneruskan mempersembahkan kurban di hadapan Allah (lih Mat 5:23-24). Allah tidak menerima kurban orang yang tidak rela berdamai, dan menjauhkan mereka dari altar, supaya berdamai terlebih dahulu, supaya melalui permohonannya yang cintai damai itu mereka juga menemukan perdamaian dari Allah.
Belaskasih pengampunan, yang dihidupi dengan semangat mengampuni itu, berbuah pula dalam tindakan kasih, seperti dalam kisah Yesus yang diurapi oleh perempuan berdosa (lih Luk 7:36-50). Tindakan kasih kepada sesama adalah tanda nyata dari diterima dan dihidupinya rahmat pengampunan, sebab memang pengampunan itu sendiri adalah tindakan kasih. Kesatuan dan persaudaraan hidup merupakan wujud dari kesediaan untuk mau saling mengampuni, demikian Yohanes Paulus II dalam dokumen tentang rekonsiliasi dan pengampunan. Pengampunan merupakan langkah membangun hidup, menuju ke masa depan, agar kehidupan bersama kita menjadi hidup bersama orang yang telah diperdamaikan di dalam Kristus.
Kita berdoa mohon diampuni dosa-dosa kita. Namun permohonan tersebut memuat ajakan dan tuntutan, agar kita pun menghidupi apa yang kita mohonkan: pengampunan. Kalau kita memohon kepada Allah, namun tidak mau menghidupi rahmat belaskasih pengampunan Allah, maka sebenarnya kita tidak siap dan tidak sedia menerima rahmat yang kita mohonkan dalam doa Bapa Kami tersebut. Kita hidupi rahmat itu, agar rahmat yang kita mohonkan itu semakin hidup dan berbuah dalam diri kita.
Salah satu contoh adalah bagaimana Bapa Paus Yohanes Paulus II yang mengampuni Mehmet Ali Agca, yang telah berusaha membunuhnya, dengan menembaknya pada tgl 13 mei 1981. Begitu Bapa Paus sembuh, beliau mengunjungi Ali di penjara, dan menyatakan bahwa beliau mengampuni Ali, walaupun, tidak didahului oleh permintaan maaf dari Ali. Entah bagaimana jika kita yang ada di posisi Bapa Paus, sanggupkah kita mengampuni orang yang telah berusaha membunuh kita?
After Mehmet Alì Ağca almost killed him in May 1981, St. John Paul II visited Alì Ağca in his Rome prison to extend forgiveness. (Credit: AP.)
Tiga prinsip
Bagaimana kita dapat belajar mengampuni atau memaafkan sesama yang bersalah? Kiranya ada tiga prinsip yang penting.
Pertama
Pengampunan adalah sebuah keputusan. Mengampuni adalah sikap yang hendaknya ditetapkan sebagai komitmen, jadi bukan sekedar sebuah perasaan atau emosi sesaat. Mengampuni tidak identik dengan cara instan melupakan sebuah peristiwa atau orang yang bersalah.
Kedua
Pengampunan adalah sebuah proses. Pengampunan tidak selesai dengan komitmen, melainkan sebuah perjalanan. Kata-kata Yesus ‘tujuh puluh kali tujuh kali’ mengandung makna ‘mengampuni terus-menerus’. Mengampuni merupakan usaha yang meliputi hidup seorang. Angka tujuh dalam bahasa Injili menunjukkan dimensi kepenuhan; jadi secara simbolik mengandung pesan bahwa pengampunan merupakan bentuk pertobatan terus- menerus, merupakan corak, cara hidup pengikut Kristus.
Ketiga
Pengampunan adalah sebuah doa. Dalam doa Bapa Kami kita momohon Tuhan, ‘ampunilah kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami’. Daya pengampunan tidak bersumber pada manusia, melainkan pada Allah. Kasih Allah tidak terbatas, tak berkesudahan. Yesus mengampuni Zakheus pemungut cukai (Luk 19: 1-10) dan membiarkan kakinya diurapi perempuan berdosa (Luk. 7:36-50; Yoh. 12: 1-8). Tuhan adalah Bapa yang rahim bagi anak yang hilang (Luk. 15: 11-32), dst.
Orang banyak bersungut-sungut kepada Zakheus, tetapi Yesus menghargai niatnya, bahkan mau tinggal di rumahnya. Bagi Simon, perempuan pendosa patut dihukum, tetapi bagi Yesus iman wanita itu telah menyelamatkannya. Anak sulung menghendaki keadilan, namun kasih Bapa melebihi tuntutan itu. Menurut logika manusia, lawan dosa adalah hukuman, namun bagi Allah, lawan dosa adalah pengampunan.
Bersyukur agar dapat Mengampuni
Perumpamaan tentang hamba yang jahat (Mat 18: 21-35) memberikan pelajaran tentang korelasi antara bersyukur dan mengampuni. Hamba yang jahat telah menerima pengampunan secara cuma-cuma dari tuannya, namun ia lupa diri, malah menjadi congkak hati. Ia lupa bahwa sebagai pendosa yang telah diampuni, seharusnya ia juga belajar untuk mengampuni sesama. Orang yang tidak bersyukur atas rahmat pengampuan dari Tuhan, sulit membuka hati untuk memberi pengampunan.
Sebaliknya orang yang bersyukur kepada Tuhan, terutama bahwa ia berdosa dan tak layak di hadapan Tuhan, namun diampuni Tuhan secara cuma-cuma, terdorong untuk mengasihi sesama pula: “Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah Kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (18: 32-33).
Jika Yesus mengajak kita untuk mengampuni ‘sampai tujuh puluh kali tujuh kali’, itu berarti bahwa kita harus memohon terus-menerus petunjuk dari Tuhan bagaimana dapat mengampuni sesama. Apa yang kita mohon? Rahmat kerendahan hati. Orang yang rendah hati tahu bersyukur bahwa ia telah diampuni Tuhan, dan karena itu – meskipun sulit – belajar untuk mengampuni sesama. Kesediaan mengampuni akhirnya merupakan komitmen untuk berdamai dengan diri sendiri. Sebab, ketika kita menyimpan marah atau benci, kita sedang membelenggu diri sendiri.
Sukacita sebagai pengikut Kristus
Sebagai pengikut Kristus saya patut bersukacita karena: “Aku memiliki Tuhan yang Maharahim”, “Keselamatan terjadi dalam diriku”, “Tuhan menumpang di hatiku”, “Hutang dosaku dihapus Tuhan”, “Tuhan melupakan dosaku”, “Aku berharga di mata Tuhan”, “Aku dijamu Tuhan”, “Tuhan menyediakan perjamuan bagiku”… Semakin dalam orang menimbah sumber kasih, semakin besar pula ia membagikan kasih itu.
‘Mengampuni’ adalah sesuatu yang tidak mudah, dan karenanya kita perlu memohon kekuatan dari Tuhan. Sebenarnya, Tuhan Yesus tidak mengajarkan bahwa orang yang bersalah kepada kita itu harus minta maaf terlebih dahulu baru kemudian ‘layak’ kita ampuni. Berikut ini adalah beberapa ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa kita harus mengampuni tanpa syarat, seperti yang diajarkan oleh Tuhan:
- Dalam doa Bapa Kami, kita setiap kali berdoa, “Ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami…” (Mat 6: 12). Di sini tidak dikatakan “asalkan mereka minta maaf kepada kami”. Jadi sesungguhnya apapun yang terjadi, Tuhan menghendaki agar kita mengampuni orang yang bersalah pada kita- tanpa ada syarat apa-apa lagi.
- Pada khotbah-Nya di bukit, Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mt 5:44) Di sini tidak dikatakan apakah musuh itu harus minta maaf atau menyesal dahulu, baru kita ampuni atau kasihi. Makna “kasihilah” di sini adalah sesuatu yang lebih dalam daripada mengampuni, karena mengampuni saja sudah sulit, apalagi mengasihi dan mendoakan mereka.
- Yesus memberikan sendiri contoh yang sempurna terhadap pengajaran-Nya ini dengan menyerahkan Diri-Nya di kayu salib. Pada saat Ia tergantung di salib, ketika tangan-Nya terentang antara langit dan bumi, Ia berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat ” (Luk 23: 34). Dalam kesatuan-Nya dengan Allah Bapa, Yesus mengampuni mereka yang telah menyalibkan Dia, walaupun pada saat itu mereka tidak bertobat atau minta ampun pada Yesus.
- Rasul Paulus mengatakan, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa.” (Rom 5:8). Jadi Kristus memilih untuk wafat di salib untuk menebus dosa-dosa kita manusia, meskipun pada waktu itu manusia belum bertobat. Dan kasih Allah yang besar inilah yang sesungguhnya malah mengantar kita kepada pertobatan.
- Sebenarnya kita mengampuni bukanlah melulu demi orang yang bersalah kepada kita, seolah-olah jika kita mengampuni maka ‘dia yang untung dan kita yang rugi’. Sebaliknya, jika kita mengampuni sesungguhnya itu adalah untuk kebaikan kita sendiri, karena dengan kita mengampuni, kita dibenarkan oleh Tuhan karena kita mengikuti teladan-Nya dan kita menjauhkan dari diri kita segala bentuk sakit penyakit badani dan rohani yang berkaitan dengan kekecewaan, kesesakan, kepahitan dan sakit hati yang terpendam. Kitab Mazmur mengatakan, “Kasihanilah aku ya, Tuhan, sebab aku merasa sesak; karena sakit hati mengidaplah mataku, meranalah jiwa dan tubuhku. Sebab hidupku habis dalam duka dan tahun-tahun umurku dalam keluh kesah; kekuatanku merosot karena sengsaraku, dan tulang- tulangku menjadi lemah…” (Mz 31: 10-11). Tentulah karena Tuhan mengasihi kita, maka Ia ingin agar kita belajar mengampuni, agar kita tidak menyimpan sakit hati yang dapat mendatangkan hal-hal negatif terhadap diri kita sendiri, baik rohani maupun jasmani.
Pengampunan dalam doa Bapa Kami dalam Injil Matius
Di dalam Injil Matius tentang Doa Bapa Kami. Diberi penjelasan tambahan sebagai berikut, “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di Surga juga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (Mat 6:14-15).
Penyataan tersebut tidak menunjukkan, bahwa Allah belajar mengampuni dari umat manusia, melainkan sebagai suatu tuntutan sikap, bahwa rahmat pengampunan itu barulah sungguh bisa dan layak diterima kalau umat manusia menghidupinya, sebab memang Allah lebih menghendaki kita menjadi pelaksana kehendak Allah, sebagai tanda pribadi yang bijaksana (lih Mat 7:24), memiliki dasar dalam dan kokoh dalam hidupnya (lih Luk 6:46-49). Tidak mengherankanlah kalau Yesus sendiri menyebut ibu dan saudara-saudarinya adalah mereka yang mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah (lih Mat 12:50; Mrk 3:35; Luk 8:21).
Oleh karena itu jika kita sendiri tidak berbelaskasih dan tidak mengampuni satu sama lain, maka pengampunan Allah pun tidak akan sampai kepada hati kita. Kalau kita menolak mengampuni sesama kita, dengan demikian hati kita menutup diri dan kekerasan hati itu menjadikan kita menutup diri pula dari kerahiman Ilahi. Itulah inti pendasarannya.
Katekismus Gereja Katolik menyebut bahwa pengampunan adalah salah satu puncak buah doa Kristiani, sehingga hanya hati yang sesuai dengan belaskasihan Allah dapat menerima anugerah doa di dalam dirinya. Kisah Injil tentang pengampunan menggambarkan hal tersebut, “Bukankah engkau pun harus mengampuni kawanmu seperti aku telah mengampuni engkau? … Maka Bapa-Ku yang di Surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat 18:33.35).
Kesimpulan
Memang, mengampuni bukan sesuatu yang mudah, namun itu adalah pengajaran Tuhan yang tak bisa ditawar. Maka kita semua memang harus berusaha untuk melakukannya, tentu dengan bantuan rahmat Tuhan. Jika kita diizinkan Tuhan untuk mengalami pengalaman disakiti oleh orang lain, maka kita diberi kesempatan oleh-Nya untuk merasakan sedikit dari penderitaan-Nya di kayu salib. Dan untuk itu, obat yang paling mujarab adalah: kita kembali mempersembahkan rasa sakit hati/ hati yang hancur kita di hadapan Tuhan (lih. Mzm 51:19), dan mempersatukannya dengan korban Yesus dalam Ekaristi Kudus, agar kita memperoleh buah-buahnya, yaitu dosa kita diampuni, sakit hati kita disembuhkan, dan kita diberi kekuatan oleh Tuhan untuk mengampuni, dengan kekuatan yang bukan berasal dari diri kita sendiri, tetapi dari Tuhan.
Dengan pertolongan rahmat Tuhan, maka kita akan dapat mengampuni sesama yang bersalah pada kita, walaupun yang bersangkutan tidak minta maaf pada kita. Hal ini dapat terjadi sekaligus, ataupun merupakan perjuangan yang bertahap, namun kita harus terus mengusahakannya, sebab inilah yang dikehendaki oleh Tuhan bagi kita, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh 13:35).
Pertanyaan Sharing
- Sharingkan pengalaman kalian, apakah kalian pernah mengalami kesulitan dalam mengampuni orang lain dan bagaimana kalian dapat mengatasinya! Menurutmu kesalahan apa yang membuat kalian sulit untuk mengampuni kesalahan orang lain, Sharingkan!
- Menurut kalian, jika dilihat dari sisi kita yang melakukan kesalahan, apakah ada kesalahan kita yang sulit untuk dimaafkan oleh orang lain dan bagaimana kalian menerima pengampunan dari orang tersebut? Sharingkan!
- Dalam retret, kadang ada sesi pembasuhan kaki dimana kita membasuh kaki dari orang yang berperan sebagai proxy dari orang yang pernah melakukan kesalahan kepada kita atau sebaliknya. Proxy bisa berperan sebagai orang tua, kakak, adik, teman, rekan kerja atau siapapun. Sharingkan bagaimana pengalaman kalian dalam hal tersebut!
- Jika kalian berada di dalam posisi Paus Yohanes Paulus II, apakah kamu juga bisa mengampuni orang yang berusaha untuk membunuhmu? Sharingkan!
Reference