Sesi 46 - Week of 15 Sep 2024

Love, Trust and Relationship


Intro

Setiap dari kita pasti pernah merasakan bagaimana rasanya dicintai dan mencintai, baik itu cinta kepada orangtua, pasangan, saudara, maupun Tuhan. Pernahkah kita berpikir, mengapa kita begitu menginginkan cinta? Mengapa banyak orang yang mencari cinta? Dan mengapa perasaan ini seolah menjadi kebutuhan mendalam yang harus dipenuhi agar kita merasa bahagia?

Jawabannya sebenarnya sangat sederhana: karena kita diciptakan oleh Tuhan dengan cinta! Tuhan telah menanamkan kebutuhan akan cinta di dalam diri kita sejak dalam kandungan. Kebutuhan akan cinta ini sudah menjadi bagian dari DNA kita. Maka, sangatlah wajar jika setiap orang membutuhkan cinta untuk bisa menjalani hidup.

Symptoms of Cursed Relationship

Cinta sejati itu seperti apa, ya? Apakah aku akan menemukan “the one”? Mengapa rasanya begitu sulit menemukan seseorang yang bisa mencintai kita apa adanya? Dan mengapa banyak dari kita merasa kecewa karena cinta? Berikut adalah beberapa alasannya:

1. Rasa Cinta yang Tidak Terpenuhi di Masa Kecil

Psikolog mengatakan bahwa inti dari pola emosional kita terbentuk pada usia sekitar 5 tahun. Ahli kognitif percaya bahwa 80% dari kecerdasan kita sudah terbentuk ketika kita mencapai usia tersebut. Jadi, jika dalam masa kanak-kanak, rasa cinta ini tidak terpenuhi oleh orangtua yang seharusnya menghabiskan waktu bersama anaknya, mengajar, memberi perhatian, dan peduli pada mereka, tangki cinta anak tersebut akan kosong. Akibatnya, anak-anak ini tumbuh dengan perilaku yang selalu mencari perhatian, membuat keputusan yang tidak dewasa, serta menjadi pemarah, egois, dan tidak sabaran. Atau, kadang mereka menjadi tertutup terhadap semua orang dan menjaga jarak, karena mereka merasa lebih baik menolak orang lain terlebih dahulu sebelum mereka ditolak. Cara ini adalah pendekatan yang salah untuk memenuhi kebutuhan cinta dan tidak akan pernah berhasil.

2. Rasa Ingin Mengontrol

Tuhan berkata, “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita.” Dengan kata lain, kita adalah “fotokopi” Tuhan! Jauh di dalam diri kita, kita memiliki kapasitas untuk mencintai, berjalan, dan bergerak seperti Tuhan. Namun, sayangnya, banyak orang menyalahgunakan keistimewaan ini untuk mendominasi atau mengontrol orang lain. Kita tidak bisa mendominasi sesama manusia karena semua manusia adalah serupa dengan Tuhan, dan tidak ada manusia yang bisa mendominasi Tuhan. Jadi, suami tidak bisa mendominasi istri, orangtua tidak bisa mendominasi anak, bos tidak bisa mendominasi karyawan, dan sebaliknya.

Keinginan untuk mengontrol ini muncul karena kita ingin orang lain memenuhi kebutuhan terdalam kita, yaitu cinta. Banyak orang haus akan cinta karena mereka merasa cinta itu hanya bisa didapatkan dari orang lain. Ketika orang lain tidak memenuhi apa yang kita inginkan, kita jadi semakin ingin mengontrol mereka, mungkin dengan kemarahan, emosi, omelan, manipulasi, rasa malu, rasa bersalah, atau mendiamkan. Mungkin ada yang berhasil mendapatkan kontrol atas orang lain dengan cara ini, tetapi itu tidak akan bertahan lama dan bukanlah dasar yang kuat untuk menjalin relasi dengan sesama.

3. Mempermalukan Orang Lain

Rasa malu adalah perasaan bersalah, tidak berharga, dan tidak dicintai. Ketika kita mempermalukan orang lain, kita membuat mereka merasa ada yang salah dengan diri mereka sebagai pribadi, bukan hanya dengan tindakan mereka. Contoh: “Kenapa hal sesederhana ini saja kamu tidak bisa lakukan?” “Dulu, waktu Papa seumur kamu, Papa sudah bisa mandiri,” “Kenapa kamu tidak bisa lebih perhatian seperti mantanku?” atau “Lihatlah pasangan di drakor ini, mereka selalu bahagia, kenapa kita tidak bisa seperti mereka?” dan sebagainya.

Mempermalukan orang lain juga merupakan salah satu cara untuk mengontrol mereka demi mendapatkan apa yang kita inginkan. Namun, pendekatan ini tidak hanya merusak hubungan, tetapi juga menghancurkan harga diri dan rasa cinta yang seharusnya ada dalam relasi tersebut.

4. Tidak Mau Mengampuni

Efesus 4:32 mengatakan, “tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”

Menggenggam kemarahan dari kesalahan yang terjadi bertahun-tahun lamanya dapat menghalangi kita dari merasakan atau menerima cinta. Pernahkah kita mendengar seseorang berkata, “Aku masih ingat, kemarin tanggal 4 Mei jam 1.15 siang, dia bilang ini padaku!” atau “Aku masih sakit hati karena tahun lalu dia melakukan itu padaku, nggak bakal lupa deh!” Kedengarannya familiar?

Jika hati kita diibaratkan seperti kulkas yang penuh dengan buah yang sudah busuk, susu yang sudah kadaluarsa, dan makanan dari tahun lalu yang masih disimpan entah sampai kapan, bagaimana kita bisa memasukkan barang belanjaan yang masih segar dan baru? Kita harus membuang terlebih dahulu barang-barang yang sudah rusak atau lewat masa pakainya, baru kita bisa mengisinya dengan yang baru.

5. Rasa Egois

Ketika orangtua menyuruh kita untuk belajar, atau saat kita marah karena pasangan kita tidak menjaga tingkah laku yang baik, sering kali bukan karena kita benar-benar ingin yang terbaik untuk anak atau pasangan kita. Sebenarnya, lebih sering itu karena kita tidak ingin dianggap sebagai orangtua yang buruk atau dinilai sebagai pasangan yang tidak becus, jika kita jujur bertanya pada diri sendiri.

6. Kurangnya Kepercayaan

Kepercayaan adalah fondasi dari setiap hubungan yang sehat. Ketika kepercayaan tidak ada, hubungan menjadi rapuh dan mudah runtuh. Ketidakpercayaan sering kali muncul karena pengalaman masa lalu yang buruk, seperti dikhianati atau disakiti. Ini bisa menyebabkan seseorang menjadi terlalu curiga, selalu merasa perlu untuk memeriksa pasangan mereka, atau bahkan menuduh tanpa bukti. Misalnya, “Apakah kamu benar sudah selesai mengerjakan PR? Papa butuh bukti sebelum kamu boleh istirahat.” atau “Aku mau akses ke whatsapp, instagram dan email biar aku tahu kamu tidak selingkuh!”

Kurangnya kepercayaan ini menciptakan jarak emosional dan menghambat perkembangan hubungan yang sehat. Hal ini bisa membuat kedua belah pihak merasa tertekan dan tidak nyaman, karena mereka selalu merasa diawasi atau tidak dipercaya. Akibatnya, cinta yang seharusnya tumbuh dan berkembang justru terhambat, dan hubungan bisa berakhir dengan pahit.

The Solutions

Jadi, apa yang harus kita lakukan? Berikut beberapa tips yang bisa dipertimbangkan untuk memahami cinta dengan lebih baik, sehingga kita bisa mengekspresikannya dengan lebih baik pula, dan pada akhirnya, memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.

1. Berhentilah Mengoreksi Orang Lain Demi Kepuasan Kita

Memang sulit! Tapi kita perlu berhenti melakukannya. Mengapa kita sering merasa terdorong untuk memperbaiki orang lain, seolah-olah itu adalah tindakan yang mulia dan suci? Alasan utamanya adalah kita percaya bahwa jika kita bisa mengubah perilaku orang lain agar sesuai dengan keinginan kita, kita akan menjadi bahagia dan kebutuhan terdalam kita untuk dicintai akan terpenuhi. Namun, ini salah! Mengapa? Karena kebahagiaan kita menjadi tergantung pada orang lain, padahal kita tidak memiliki kuasa untuk mengubah orang lain. Mengubah hati manusia adalah tugas Tuhan; tugas kita hanyalah untuk mencintai sesama. Kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan sejati hanya bisa diperoleh dari kasih Tuhan, bukan dari manusia.

2. Cinta Tanpa Syarat

Ini memang lebih sulit! Mana ada orang yang mencintai tanpa mengharapkan apa-apa? Rasanya rugi kalau sudah berkorban waktu dan tenaga, tetapi akhirnya tidak mendapatkan apa-apa, bukan? Namun, itulah cinta sejati. Lalu, bagaimana caranya?

Waktu terbaik untuk menunjukkan cinta tanpa syarat adalah ketika orang lain mengecewakan kita atau membuat kesalahan. Ketika anak gagal di sekolah, seringkali orangtua akan mengomel dan mencaci maki. Contoh: “Kenapa kamu tidak lulus? Main video game terus!” atau “Kamu tidak tahu betapa kerasnya Papa dan Mama bekerja untuk membiayai kuliahmu?” atau “Masa hal sederhana ini saja tidak bisa?” Ingat, mempermalukan orang bukanlah cara yang efektif dan tidak ada gunanya.

Sebagai gantinya, lakukanlah hal-hal berikut. Langkah pertama adalah mendengarkan. Ajaklah mereka duduk dengan tenang, pegang tangannya, dan tanya dengan lembut: “Ada masalah yang ingin kamu bicarakan?” atau “Aku di sini untuk mendengarkan, bukan untuk menghakimi.” Tanyakan, “Ada yang bisa aku bantu untuk masalah ini?” Jangan mendengar hanya untuk merespons, tetapi mendengarkan untuk mengerti.

Langkah berikutnya adalah memberikan kepercayaan dan cinta. Katakan bahwa kamu mencintai mereka dan akan selalu mencintai mereka, apa pun yang telah mereka lakukan. Ucapkan, “Aku percaya kamu adalah anak yang pintar dan kamu bisa melakukan yang lebih baik di lain waktu.” Ketika kita memberikan kepercayaan dan cinta kepada orang lain tanpa berusaha mengubah mereka, mereka akan merasa sangat dicintai dan diterima. Mereka akan mulai memikirkan, “Mama mencintai aku, bagaimana tingkah lakuku mempengaruhi Mama?” Sebaliknya, jika kita terus-menerus mengomel, mereka justru akan merasa buruk, tidak dicintai, dan ini akan memperlemah hubungan kita.

3. Percaya dan Dipercaya

Salah satu fondasi terpenting dalam hubungan yang sehat adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan, hubungan tidak akan pernah bisa berkembang dengan baik. Misalnya, jika orang tua terus-menerus meragukan kemampuan anaknya atau tidak mempercayai mereka untuk membuat keputusan sendiri, anak tersebut akan tumbuh dengan rasa tidak percaya diri dan mungkin akan sulit untuk mempercayai orang lain di masa depan. Hal yang sama berlaku dalam hubungan antara rekan kerja; jika seorang rekan kerja tidak mempercayai rekannya untuk menyelesaikan tugas dengan baik, ini akan menciptakan suasana kerja yang penuh ketegangan dan rasa curiga. Kita harus belajar untuk percaya kepada orang lain, karena kepercayaan adalah dasar dari setiap hubungan yang kuat. Ketika kita menunjukkan bahwa kita mempercayai seseorang, kita juga mendorong mereka untuk menjadi lebih bertanggung jawab dan menghargai kepercayaan yang diberikan.

4. Minta Rahmat Tuhan

Mintalah kepada Tuhan untuk membuang pikiran duniawi kita, sehingga kita dapat menghargai misteri hidup dan keunikan orang-orang di sekitar kita. Manusia selalu membuat kesalahan, dan martabat manusia tidak terletak pada kesalahan-kesalahan tersebut, tetapi pada kenyataan bahwa kita adalah karya agung Ilahi yang indah, diberkati, dan diciptakan dengan cinta oleh Tuhan.

Relasi yang dipenuhi rahmat hanya dapat terwujud jika kita sendiri adalah pribadi yang penuh rahmat. Orang yang penuh rahmat adalah orang yang penuh kasih, sukacita, damai Sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Buah buah Roh tersebut yang akan membimbing kita untuk mendapatkan anugerah Tuhan. Orang yang penuh rahmat adalah pribadi yang mempesona dan memikat. Jadilah orang yang mempesona dan terpesona lah karena orang lain.

Untuk memperoleh rahmat Tuhan, kita bisa melakukannya melalui doa atau dengan membaca kitab suci.

5. Hanya Tuhan yang Bisa Memuaskan Kehausan Kita Akan Cinta

Jika kamu masih bertanya-tanya, “Akankah aku pernah menemukan ‘the one’ di dunia ini?” Sayangnya, jawabannya adalah TIDAK. Pencarian kita harus berakhir di sini! Hanya Tuhan yang bisa memuaskan hati kita. Tuhan mencintai kita lebih dari yang bisa kita bayangkan. Ada sebuah lubang berbentuk Tuhan dalam hati kita yang tidak bisa diisi oleh siapapun—bukan oleh suami, istri, anak, atau orangtua kita. Dia adalah satu-satunya yang bisa memenuhi kebutuhan hati dan jiwa kita.

Jangan menggantungkan identitas dan kebahagiaan kita pada manusia lain, karena cinta manusia bisa berlalu, bimbang, dan gagal. Cinta manusia tidak stabil dan tidak setia. Kita akan mengalami kekecewaan dari sahabat, bos, pasangan, bahkan orangtua. Carilah kasih Tuhan, karena cinta-Nya adalah kekal. Tuhan memiliki cinta yang berkelimpahan, mencintai kita tanpa syarat, dan telah mencintai kita bahkan sebelum kita lahir ke dunia ini.

Mat 6:33: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, dan semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

Kesimpulan

Cinta adalah kebutuhan mendalam yang ditanamkan Tuhan dalam diri kita. Namun, menemukan cinta sejati seringkali sulit karena berbagai faktor seperti diatas. Masih banyak lagi solusi-solusi lain, tetapi intinya adalah: fokus pada kasih Tuhan yang kekal, bukan pada cinta manusia yang tidak stabil.

Pertanyaan sharing

  1. Apakah kamu memiliki pengalaman pribadi tentang hubungan yang tidak sehat seperti poin-poin diatas? Sharingkan.
  2. Apakah kamu pernah merasakan kasih Tuhan secara mendalam, misalnya saat retret atau berdoa secara pribadi? Ceritakan.
  3. Bagaimana cara kamu mengatasi masalah kepercayaan dalam hubunganmu dengan keluarga, teman, atau rekan kerja? Sharingkan.
  4. Apakah kamu setuju bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi kehausan kita akan cinta? Sharingkan.

Reference

  • “Is your love tank empty?” – a book by Bo Sanchez