Sesi 72 - Week of 06 Jul 2025

Apologetic: Temperance


Intro

Temperance (Penguasaan diri) adalah kebajikan atau kebiasaan yang diperoleh yang mengatur, sesuai dengan alasan dan iman, daya tarik terhadap kesenangan indriawi, terutama daya tarik terhadap makanan dan kenikmatan seksual. Indra pengecap, peraba, penglihatan, pendengaran, dan penciuman sejalan dengan tatanan baik ciptaan Tuhan dan melibatkan kesenangan. Namun, kita sering menginginkan kenikmatan indriawi secara berlebihan. Oleh karena itu, dibutuhkan kebajikan ini untuk mengendalikan atau mengatur keinginan kita yang melibatkan indera.

Bahan

Penguasaan diri adalah praktik moderasi, pengendalian diri, disiplin diri, dan penguasaan diri dalam segala hal. Tujuan akhir dari penguasaan diri adalah hidup yang baik, penuh sukacita, dan bermartabat di dunia ini. Penguasaan diri memungkinkan kita, melalui rahmat Roh Kudus dan kerja sama kita melalui kekuatan kehendak kita (kemauan/kehendak bebas), untuk menggunakan segala sesuatu dengan secukupnya (moderated) dan mengarahkan kenikmatan hidup kita ke arah keselamatan. Kebajikan ini kadang-kadang memimpin kita untuk meninggalkan kenikmatan duniawi (mortifikasi) demi memperoleh kenikmatan yang lebih ilahi dan penuh sukacita di setiap area kehidupan kita.

Ada tujuan yang lebih tinggi dalam hidup ini daripada sekadar kesenangan untuk kesenangan itu sendiri. Kita diminta untuk menggunakan kenikmatan dengan secukupnya, karena jika tidak, kenikmatan tersebut bisa menguasai kita dan menjadi “berhala” atau “Tuhan” kita. Kelebihan dalam segala hal mengarah pada hilangnya kebebasan, kehilangan sukacita, dan kehilangan kepuasan yang sejati. Kepuasan sejati kita adalah mengenal dan mengasihi Tuhan, yang adalah pemenuhan dari semua keinginan kita.

Praktik moderasi, pengendalian diri, dan disiplin diri sangat penting untuk mengembangkan karakter dan mengendalikan keinginan yang berlebihan dalam tubuh kita. Penguasaan diri membimbing kita dalam menikmati hal-hal baik dengan moderasi yang seimbang, tidak berlebihan. Kita bisa menjadi kecanduan pada hal-hal yang pada dasarnya baik, seperti makanan, harta, olahraga, minuman, hiburan, pengakuan, pekerjaan, uang, kekuasaan, pencarian kesuksesan, dll. Terlalu berlebihan dalam segala hal adalah kebiasaan buruk karena itu adalah tanda akan kurangnya pengendalian diri dan menempatkan “berkat” di atas pemberi segala berkat, yaitu Yesus.

Kita membutuhkan penguasaan diri untuk menghindari hidup berlebihan atau pemborosan dalam pengeluaran. Kita memiliki tanggung jawab untuk menggunakan barang-barang dunia ini dengan bijaksana, terutama untuk membantu orang miskin. Berbagi dengan mereka yang membutuhkan adalah kewajiban menurut Injil. Tugas kita adalah meminta dan bekerja sama dengan rahmat Tuhan dalam mengembangkan kebajikan penguasaan diri, dan membiarkan-Nya menyempurnakannya dalam diri kita.

KGK 1805.            Empat kebajikan merupakan poros kehidupan moral. Karena itu orang menamakan mereka kebajikan “kardinal” [cardo berarti poros]; semua yang lain berada di sekeliling mereka. Mereka adalah kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri. “Kalau seorang mengasihi kebenaran, maka kebajikan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan menahan diri dan berhati-hati, keadilan dan kebenaran” (Keb 8:7). Kebajikan-kebajikan ini juga dipuji dalam banyak teks Kitab Suci dengan nama-nama yang lain.

KGK 1809.            Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecenderungan dan tidak membiarkan kecenderungan melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak indriawi-nya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai, dan berpegang pada kata-kata: “Jangan mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu” (Sir 5:2) Bdk. Sir 37:27-31.. Kebajikan penguasaan diri sering dipuji dalam Perjanjian Lama: “Jangan dikuasai oleh keinginan-keinginanmu, tetapi kuasailah segala nafsumu” (Sir 18:30). Dalam Perjanjian Baru ia dinamakan “kebijaksanaan” atau “ketenangan”. Kita harus hidup “bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12).

“Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang mencintai-Nya dengan cinta sempurna, yang tidak dapat digoyahkan oleh kemalangan apa pun (karena keberanian yang hanya mematuhi Dia (karena keadilan) dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan dikalahkan oleh kelicikan atau penipuan (inilah kebijaksanaan)” (Agustinus, mor. Eccl. 1,25,46).

Mari kita baca cuplikan dari “Cycle of Catechesis. Vices and Virtues. 15. Temperance” oleh Paus Fransiskus:

Hari ini saya akan berbicara tentang kebajikan kardinal yang keempat dan terakhir: penguasaan diri. Bersama dengan tiga kebajikan lainnya, kebajikan ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan tidak hanya milik orang Kristen. Bagi orang Yunani, praktik kebajikan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan. Filsuf Aristoteles menulis treatise etika yang paling penting, yang ditujukan kepada putranya, Nikomakhos, untuk mengajarinya tentang seni kehidupan. Mengapa semua orang mencari kebahagiaan, meskipun hanya sedikit yang mencapainya? Inilah pertanyaannya. Untuk menjawabnya, Aristoteles mengacu pada tema kebajikan, di antaranya enkrateia, yaitu penguasaan diri, yang menempati posisi penting. Istilah Yunani ini secara harfiah berarti “kekuatan atas diri sendiri”. Penguasaan diri adalah kekuatan atas diri sendiri. Oleh karena itu, kebajikan ini adalah kemampuan untuk menguasai diri, seni untuk tidak membiarkan diri dikalahkan oleh hasrat yang memberontak, untuk menata kembali apa yang disebut Manzoni sebagai “kekacauan hati manusia”.

Katekismus Gereja Katolik mengatakan bahwa “penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengatur daya tarik terhadap kesenangan dan menyediakan keseimbangan dalam penggunaan barang-barang ciptaan”. Katekismus melanjutkan, “Penguasaan diri memastikan penguasaan kehendak atas insting dan menjaga keinginan-keinginan dalam batas-batas yang terhormat. Orang yang memiliki penguasaan diri mengarahkan nafsu indriawi ke arah yang baik dan mempertahankan kebijaksanaan yang sehat, dan tidak mengikuti keinginan-keinginan rendah, tetapi menahan nafsu” (bdk. 1809).

Oleh karena itu, penguasaan diri, seperti yang dikatakan dalam bahasa Italia, adalah kebajikan dengan ukuran yang tepat. Dalam setiap situasi, seseorang bertindak dengan bijaksana, karena orang yang bertindak selalu didorong oleh dorongan atau keberlebihan pada akhirnya tidak dapat diandalkan. Orang yang tidak memiliki penguasaan diri selalu tidak dapat diandalkan. Di dunia yang banyak orangnya bangga mengatakan apa yang mereka pikirkan, orang yang memiliki penguasaan diri justru lebih suka berpikir terlebih dahulu tentang apa yang akan dia katakan. Apakah Anda mengerti perbedaannya? Tidak mengatakan apa pun yang muncul dalam pikiran saya, seperti begitu saja… tidak: berpikir terlebih dahulu tentang apa yang harus saya katakan. Dia tidak membuat janji kosong tetapi membuat komitmen sejauh mana dia dapat memenuhinya.

Orang yang memiliki penguasaan diri bertindak dengan bijaksana juga terkait dengan kesenangan. Kebebasan penuh untuk mengikuti dorongan dan kesenangan justru berbalik melawan kita, membawa kita ke dalam keadaan kebosanan. Berapa banyak orang yang ingin mencoba segala sesuatu dengan rakus akhirnya merasa kehilangan rasa untuk segalanya! Lebih baik bagi kita untuk mencari ukuran yang tepat. Misalnya, untuk menghargai anggur yang baik, mencicipinya dalam tegukan kecil akan lebih baik daripada meneguknya sekaligus. Kita semua tahu ini.

Orang yang memiliki penguasaan diri tahu bagaimana memilih kata-kata dan menakarnya dengan baik. Dia berpikir tentang apa yang dia katakan. Dia tidak membiarkan kemarahan sesaat merusak hubungan dan persahabatan yang kemudian hanya bisa dibangun kembali dengan kesulitan. Terutama dalam kehidupan keluarga, di mana penghalang lebih rendah, kita semua berisiko tidak dapat mengendalikan ketegangan, kejengkelan, dan kemarahan. Ada waktu untuk berbicara dan ada waktu untuk diam, tetapi keduanya memerlukan ukuran yang tepat. Dan ini berlaku untuk banyak hal, misalnya berada bersama orang lain dan sendiri.

Jika orang yang memiliki penguasaan diri tahu bagaimana mengendalikan kemarahannya, ini tidak berarti kita selalu menemukannya dengan wajah yang tenang dan tersenyum. Bahkan, terkadang marah itu diperlukan, tetapi selalu dengan cara yang tepat. Inilah kata-katanya: ukuran yang tepat, cara yang benar. Kata-kata teguran terkadang lebih sehat daripada diam yang asam dan penuh kebencian. Orang yang memiliki penguasaan diri tahu bahwa tidak ada yang lebih tidak nyaman daripada mengoreksi orang lain, tetapi dia juga tahu bahwa itu perlu; jika tidak, kita memberi kebebasan untuk kejahatan. Dalam beberapa kasus, orang yang memiliki penguasaan diri berhasil menyatukan ekstrem: dia menegaskan prinsip-prinsip mutlak, menegaskan nilai-nilai yang tidak bisa ditawar, tetapi juga tahu bagaimana memahami orang, dan menunjukkan empati terhadap mereka. Dia menunjukkan empati.

Hadiah dari orang yang memiliki penguasaan diri adalah keseimbangan, kualitas yang sangat berharga dan langka. Memang, segala sesuatu di dunia kita mendorong kelebihan. Sebaliknya, penguasaan diri sangat sesuai dengan nilai-nilai Injil seperti kerendahan hati, kebijaksanaan, kesederhanaan, kelembutan. Orang yang memiliki penguasaan diri menghargai rasa hormat dari orang lain tetapi tidak menjadikannya satu-satunya kriteria untuk setiap tindakan dan setiap kata. Dia sensitif, dia bisa menangis dan tidak malu dengan itu, tetapi dia tidak menangisi dirinya sendiri. Dalam kekalahan, dia bangkit lagi; dalam kemenangan, dia mampu kembali ke kehidupan yang lebih sederhana. Dia tidak mencari tepuk tangan tetapi tahu bahwa dia membutuhkan orang lain.

Saudara-saudara, tidak benar bahwa penguasaan diri membuat hidup menjadi tidak berwarna dan tidak penuh sukacita. Sebaliknya, penguasaan diri memungkinkan seseorang untuk menikmati barang-barang dan kehidupan dengan lebih baik: berkumpul bersama di meja, kelembutan dari persahabatan tertentu, kepercayaan dengan orang bijak, kekaguman terhadap keindahan ciptaan. Kebahagiaan dengan penguasaan diri adalah sukacita yang tumbuh di hati mereka yang mengenali dan menghargai apa yang paling penting dalam hidup. Marilah kita berdoa kepada Tuhan agar Dia memberi kita anugerah ini: anugerah kedewasaan— usia, emosional, dan sosial. Anugerah penguasaan diri.

Penutup

Temperance/penguasaan diri merupakan salah satu kebajikan yang menghidupi poros moral kehidupan. Penguasaan diri berarti memiliki kuasa akan keinginan dan kemauan kita. Kebajikan ini dapat diusahakan dengan melakukan segala sesuatu secukupnya/moderated. Memiliki penguasaan diri juga berarti dapat memilih kata-kata yang baik dan layak untuk diucapkan. Keseimbangan adalah kunci dalam menguasai diri dan hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil.

Sharing Questions

  1. Apakah kamu memiliki hal-hal yang belum dapat kamu kendalikan dalam dirimu sendiri? Sharingkan!
  2. Semua yang berlebihan dapat membuat kita kehilangan kebebasan. Apa pandangan kalian terhadap keseimbangan di antara menikmati hidup dan menghindari overindulgence? Bagaimana kalian tahu bahwa apa yang kalian nikmati sekarang masih dalam level moderate?
  3. Menurut kalian, apa definisi dari kepuasan dan kebahagiaan sejati dalam hidup? Bagaimana pengaturan diri dapat membantu kita mencapai kebahagiaan yang secukupnya?

Reference

Temperance – Diocese of La Crosse

https://diolc.org/files/catechesis/Temperance_Teacher.pdf

General Audience – 17 April 2024 – Vatican

https://www.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2024/documents/20240417-udienza-generale.html