Intro
Kita ingin bahagia, dan kita ingin mengejar kebaikan dengan cara yang akan membuat kita bahagia. Ini berarti kita harus belajar bagaimana bertindak dengan baik, yang juga melibatkan nilai kebajikan. Terdengar rumit? Secara sederhana: kebajikan adalah tentang melakukan hal-hal yang benar, dan jika kita melakukan hal-hal yang benar, kita akan menjadi bahagia. Namun, apa hal pertama yang kita butuhkan jika kita ingin melakukan hal yang benar? Jelas, kita perlu tahu apa yang seharusnya dilakukan. Di sinilah kebijaksanaan memainkan peranan penting.
Bahan
Kebijaksanaan adalah kebajikan kardinal yang pertama karena kebijaksanaan adalah kemampuan untuk melihat situasi konkret dan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membuat penilaian yang tepat. Kebijaksanaan memberi kita pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan, kapan harus dilakukan, dan bagaimana harus dilakukan. Sering kali ada kesalahpahaman besar tentang sifat sejati dari kebijaksanaan, jadi mari kita mulai dengan mengerti apa yang bukan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan bukanlah ketakutan, penghindaran terhadap semua bahaya, menjadi pengecut, kurangnya inisiatif, mementingkan diri sendiri, tidak pernah mengeluarkan uang, atau fokus berlebihan pada tata krama (hal ini mungkin terjadi karena salah pengertian dengan arti “prude” yakni seseorang yang menolak membicarakan hal-hal tabu). Sebaliknya, terkadang kebijaksanaan yang sesungguhnya bisa membuat seseorang terjun ke dalam hal-hal yang membuat mereka tidak nyaman, bertarung dengan berani, mengatakan hal-hal yang sangat canggung (yang jujur dan bukannya “politically correct”), atau bahkan melakukan investasi besar yang mungkin sebelumnya tidak mereka bayangkan.
Kebijaksanaan adalah bagaimana kita mengambil prinsip moral dan menerapkannya pada situasi yang konkret. Mari kita lihat beberapa contoh. Kita semua tahu ajaran Tuhan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ini adalah prinsip moral umum. Tetapi bahkan setelah kita mempelajari prinsip ini, tetap masih ada pertanyaan: “Bagaimana cara saya mengasihi tetangga/rekan kerja/teman kerja kelompok ini, yang sulit dikasihi?” Kita masih harus mengambil prinsip moral umum dan menjadikannya konkret dalam situasi tertentu. Contoh lainnya: Gereja mengajarkan bahwa kecanduan (terhadap berbagai hal) adalah dosa berat yang harus kita hindari. Tetapi bagaimana kita menghindari kecanduan main game atau nonton Netflix? Kebijaksanaan “memberitahu” kita kapan kita harus berhenti melakukan kegiatan tersebut. Atau bagaimana dengan prinsip bahwa aktivitas seksual harus diperuntukkan bagi yang telah menikah? Secara praktis, bagaimana kita melindungi seksualitas kita dari penyalahgunaan? Nah, kebijaksanaan memberitahu kita bahwa mungkin sebaiknya kita tidak sendirian dengan pacar kita di kamar, karena itu bisa mengarah pada dosa serius. Oleh karena itu, kebijaksanaan menuntut dua aspek:
Pertama, mengerti prinsip-prinsip, yaitu mengetahui apa yang menjadi kebaikan dari sifat manusia, dan bahwa kita harus bekerja menuju kebaikan tersebut dan tidak pernah melawannya. Bertindak melawan prinsip moral bukanlah sesuatu yang bijaksana, apapun situasinya. Tidak pernah ada yang namanya aborsi yang bijaksana, karena itu selalu melanggar kebaikan kehidupan manusia yang tidak bersalah. Tidak ada kontrasepsi yang bijaksana, karena itu selalu bertentangan dengan kebaikan kehidupan manusia dan kebaikan hubungan pernikahan. Tidak ada pornografi yang bijaksana, karena itu bertentangan dengan kebaikan hubungan manusia.
Kedua, mengetahui bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tersebut pada situasi konkret. Bagian pertama adalah mengetahui tujuannya; bagian kedua adalah mengetahui bagaimana memilih cara untuk mencapai tujuan. St. Thomas Aquinas berkata: The prudent man considers things afar off, insofar as they tend to be a help or a hindrance to that which has to be done at the present time. Hence it is clear that those things which prudence considers stand in relation to the end.” Dengan kebijaksanaan, kita melihat setiap keputusan sebagai cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kebaikan dan kebahagiaan.
Kebijaksanaan sangat mirip dengan pergi liburan. Hal pertama yang harus kita lakukan sebelum pergi jalan-jalan adalah menentukan tujuan. Ke mana kita ingin pergi? Tujuan kita adalah kebaikan yang kemudian membawa kebahagiaan. Lalu kita harus mencari cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Persiapan perjalanan kita akan sangat tergantung dengan destinasi kita. Ketika membuat keputusan, kita perlu mengingat tujuan akhir kita. Itulah kebijaksanaan: memilih cara yang tepat untuk membawa kita menuju kebahagiaan.
Hati Nurani
Hati nurani berhubungan erat dengan kebijaksanaan. “Hati nurani” adalah istilah yang kerap disalahpahami banyak orang. Mungkin kita sering mendengar frasa “Ikuti hati nuranimu,” tanpa ide yang jelas tentang apa artinya. Biasanya kita berpikir hati nurani adalah “gut feeling”, atau suara kecil dari batin kita. Sebenarnya, arti dari “Ikuti hati nuranimu” jauh lebih spesifik dari itu. Mengikuti hati nurani adalah melakukan apa yang kita pikir benar. Mungkin itu terdengar sangat obvious dan tidak perlu diucapkan, tetapi faktanya adalah bahwa banyak orang bahkan tidak pernah berpikir tentang apa yang “benar”. Banyak dari kita hanya melakukan apa yang “terasa” benar. Hati nurani bukan mengenai perasaan, tetapi berpikir apa itu yang benar. “Ikuti hati nuranimu” secara tidak langsung berarti “Ikuti apa yang kebijaksanaanmu dorong kamu untuk lakukan.” Atau kalau itupun masih susah diikuti, terapkan prinsip moral pada situasi yang kalian hadapi, dan kemudian ambil tindakan yang sesuai.
Tiga Bagian dari Tindakan Kebijaksanaan
Ada beberapa langkah yang harus kita semua ambil jika kita ingin mempraktikkan kebijaksanaan dalam pilihan hidup kita.
- Pertimbangan: Ini adalah tahap di mana kita mengumpulkan semua informasi yang relevan, dimulai dengan mempertimbangkan prinsip moral. Kita juga harus menyadari dan menerima ajaran otoritatif Magisterium Gereja karena ajaran Gereja memberi kita prinsip-prinsip yang benar, penting untuk melihat apakah mereka mengajarkan sesuatu secara definitif tentang masalah yang dihadapi. Misalnya, jika Gereja mengatakan bahwa tindakan A tidak bermoral, maka kita tidak perlu mempertimbangkan tindakan itu lagi; kita tahu bahwa kita tidak boleh melakukannya. Dalam pertimbangan kita, kita juga harus melakukan pemeriksaan yang cermat terhadap situasi yang kita hadapi, untuk memastikan bahwa kita telah memahaminya seutuhnya. Bahkan akan lebih baik jika kita bisa berkonsultasi dengan orang lain yang berpengalaman, bijaksana, dan berpengetahuan tentang masalah tersebut. Dan dalam pertimbangan kita, sangat penting bahwa kita sepenuhnya jujur terhadap diri kita sendiri. Kebijaksanaan adalah tentang kebenaran, kebenaran tentang apa yang ada di hadapan kita dan apa yang harus dilakukan. Kebenaran membebaskan kita. Jadi kita tidak bisa membiarkan perasaan atau preferensi kita menghalangi pemahaman yang benar tentang fakta.
- Penilaian: Setelah mempertimbangkan, kita harus menimbang semua bukti dengan adil, dan kemudian mencari jalan tindakan terbaik. Penilaian memisahkan informasi yang relevan dari informasi yang tidak relevan, dan kemudian menerapkannya pada masalah yang dihadapi. Kita tidak bisa hanya memikirkan sesuatu selamanya; kita harus sampai pada suatu kesimpulan. Kegagalan untuk membuat penilaian sama saja dengan ketidakpastian. Menunda, berputar-putar, bermain-main, adalah contoh dari ketidakpastian ini. Memikirkan masalah tanpa benar-benar mencapai hasil yang konkret tidak akan membawa faedah bagi siapa pun.
- Pelaksanaan: Setelah menilai hal yang benar untuk dilakukan, kita harus bertindak! Apa gunanya sudah mempertimbangkan dan mengevaluasi semua opsi tapi kita tidak mengambil tindakan apapun. Kebijaksanaan hanya ada ketika kita sudah melakukan apa yang kita anggap benar. Banyak dari kita yang mungkin merasa kesulitan dalam melaksanakan keputusan kita atau bahkan melakukan keputusan kita dengan konsisten.
Pedoman Praktis untuk Mengembangkan Kebijaksanaan
Salah satu teknik yang sangat membantu untuk memperkuat kebijaksanaan: Luangkan waktu dalam pertimbangan, tetapi setelah kita melakukan penilaian, bertindaklah dengan cepat dan tegas. Tidak bijaksana untuk pikir-pikir ulang kembali ketika kita sudah setengah jalan melaksanakan keputusan kita. Jangan tunggu sampai kita memiliki kepastian yang mutlak sebelum membuat keputusan praktis. Seperti yang dinyatakan oleh Josef Pieper, “The prudent man… does not deceive himself with false certainties.” Masalah dalam hidup kita tidak memiliki ketepatan logis atau kejelasan yang sama seperti soal matematika. Jika kita menunggu sampai kita membuktikan hal yang benar untuk dilakukan dengan sempurna, kita tidak akan pernah melakukan apa pun. Yang bisa kita lakukan adalah mencoba untuk memahami situasi sebaik mungkin sambil mengevaluasi informasi dan waktu yang tersedia. Kemudian buatlah keputusan dan laksanakan dengan setia.
Kita harus menyadari bahwa setiap keputusan mempunyai risiko; tidak ada jaminan bahwa keputusan kita tidak akan mengakibatkan konsekuensi yang sulit. Tetapi kita harus mampu membuat keputusan dan bertindak dengan keberanian dan percaya pada ketersediaan ilahi. Dengan mempertimbangkan, menilai dan melaksanakan keputusan kita, kita telah melakukan bagian kita. Setelah itu, kita hanya dapat menyerahkan sisanya kepada Tuhan, percaya bahwa Dia akan menggunakan bahkan pilihan manusiawi kita yang tidak sempurna dalam mewujudkan rencana-Nya. Meskipun kita tidak melihat hasil dari upaya kebijaksanaan kita, Tuhan mungkin sedang melakukan hal-hal besar dengan upaya kita.
Ada saat-saat tertentu ketika lebih bijaksana bagi kita untuk menghindari pengambilan keputusan. Kita harus berhati-hati agar penilaian dan tindakan kita merupakan hasil dari pemeriksaan yang jujur terhadap realitas, dan dalam situasi tertentu, sangat sulit bagi kita untuk menjaga perspektif yang jujur. Penting agar penilaian dan tindakan kita bukan merupakan reaksi terhadap emosi kita seperti:
- Kemarahan: Seseorang yang bijak akan menunda pengambilan keputusan saat marah. Dia akan menunda atau menunggu hingga dia bisa mempertimbangkan segala sesuatunya dengan tenang dan objektif.
- Nafsu: Nafsu adalah perasaan yang sangat kuat yang dapat mempengaruhi pikiran jernih kita. Keinginan adalah salah satu yang paling mengganggu akal sehat, bahkan St. Thomas Aquinas mengatakan nafsu adalah penyebab utama kebodohan. Orang bijak akan menjauhkan diri dan memberi waktu sebelum dikuasai nafsu.
- Putus Asa: Keputusasaan dapat mendistorsi pandangan kita terhadap realitas. Kita menjadi terlalu pesimis, sehingga keputusan yang kita buat didasarkan pada kesalahan. Kegagalan, dosa, atau langkah bodoh dapat menyebabkan keputusasaan. Oleh karena itu, kita harus menghindari membuat keputusan saat putus asa.
Ingatlah, kebijaksanaan adalah tentang membiarkan kebenaran, bukan perasaan, yang menentukan pilihan kita.
Pertanyaan Sharing
- Setelah membaca bahan CG di atas, apakah definisi kalian mengenai kebijaksanaan berubah? Sharingkan hal baru apa yang kalian pelajari dari bahan hari ini!
- Berikan contoh situasi di mana kalian merasa kesulitan untuk mengambil keputusan yang bijaksana. Apa yang kalian pelajari dari pengalaman tersebut?
- Apakah ada pengalaman pribadi di mana kalian merasa bahwa tindakan kalian tidak mencerminkan kebijaksanaan? Apa yang kalian pelajari dari situasi tersebut?
- Siapa yang kalian anggap bijaksana dalam hidup kalian? Pernahkah kalian meminta nasihat dari mereka dalam mengambil keputusan?
Referensi
https://catholicstand.com/thoughts-on-the-virtue-of-prudence/