Sesi 51 - Week of 08 Nov 2020

Makna penderitaan secara Kristiani


Intro

Pertanyaan tentang kejahatan atau “evil”, baik pembunuhan, kematian bayi karena kelaparan, peperangan, bencana alam, dll. Dan sering orang bertanya, apakah semua ini adalah rencana Allah?

Main Topic

Berikut ini adalah prinsip-prinsip untuk menjawab pertanyaan tersebut:

Prinsip 1

Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), dan rencananya adalah rancangan damai sejahtera bukan rancangan kecelakaan (Jer 29:11). Karena kasih adalah menginginkan yang terbaik untuk orang yang dikasihinya, maka Tuhan juga menginginkan yang terbaik untuk umat manusia, ini terbukti dengan memberikan Putera-Nya untuk mati di kayu salib demi keselamatan kita (Yoh 3:16). Dan tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini.

Prinsip 2

Karena Tuhan menginginkan yang terbaik untuk manusia, maka Tuhan memberikan “kehendak bebas atau free will“. Dan sering manusia menyalahgunakan kehendak bebasnya untuk melawan kehendak Tuhan atau ini disebut “dosa“.

Prinsip 3

Semua yang terjadi di dunia ini atas sepengetahuan dan diijinkan oleh Tuhan, karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Kuasa. Namun tidak semua yang terjadi di dunia ini adalah rancangan Tuhan, sebagai contoh adalah evil/kejahatan, dosa, dll, yang melawan hakekat Tuhan dan karenanya pasti bukan dari Tuhan. Namun salah satu atribut yang terbesar bagi Tuhan adalah “Dia dapat membuat situasi yang dipandang oleh manusia jahat atau penderitaan menjadi baik untuk orang yang bersangkutan maupun orang banyak.” Sebagai contoh: ketidaktaatan manusia pertama yang mendatangkan dosa asal menjadi alasan terbesar bagi Tuhan untuk mengirimkan Putera-Nya, Yesus, untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa.

Prinsip 4

Jadi, penderitaan (suffering) dan evil (kejahatan) dapat diubah oleh Tuhan untuk kebaikan yang lebih tinggi (greater good), memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Allah, kesempatan bagi umat Allah untuk membuktikan kasih mereka kepada Allah di tengah-tengah percobaan. Sebagai contoh: kita melihat di dalam penderitaan tsunami di Aceh, banyak orang yang tergerak untuk menolong. Mungkin banyak orang yang berfikir bahwa kehidupan adalah suatu anugerah, atau kehidupan dan semua yang ada di dunia ini (kesehatan, rumah, harta, dll) bersifat sementara.

Kita tidak tahu kebaikan apa yang didapat dari keluarga yang terbunuh, karena cerita kehidupan mereka belum selesai. Namun mungkin keluarga mereka jadi lebih dekat dengan Tuhan. Komunitas di sekitarnya juga mulai mempertanyakan akan arti hidup, arti kematian, atau kehidupan setelah kematian, dll., yang pada akhirnya akan membawa kita kepada Tuhan. Ketidaktahuan kita akan kebaikan yang lebih tinggi di balik penderitaan dan kejahatan menyimpan suatu misteri, yang pada saatnya nanti akan terungkap dengan jelas. Ini terjadi juga dalam cerita Ayub.

Prinsip 5

Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya “Salvifici Doloris” mengatakan bahwa, penderitaan dan kejahatan dapat dibagi 2: a) fisik dan moral, b) sementara dan selamanya. Fisik adalah sakit penyakit, kemiskinan, kematian, dll., sedangkan moral adalah kepahitan, kemarahan, atau dengan kata lain dosa. Sementara adalah semua penderitaan dan kejahatan di dunia ini yang memang bersifat sementara, sedangkan selamanya adalah penderitaan di neraka. Dimata Tuhan, kejahatan moral atau “DOSA” dan juga penderitaan yang bersifat selamanya di “NERAKA“, mendapat perhatian paling utama, karena dua hal itu adalah dua hal yang bertentangan dengan hakikat dan rencana Tuhan.

Itulah sebabnya Yesus datang ke dunia ini untuk MENEBUS DOSA manusia dan menunjukkan jalan ke SURGA. Jadi bagi yang terbunuh, dia mengalami kejahatan fisik, namun jika semasa hidupnya dia hidup di dalam Tuhan, maka dia tidak akan mengalami penderitaan selamanya (ia dapat masuk surga). Bagi yang membunuh, dia melakukan kejahatan fisik dan moral, dan kalau dia tidak bertobat dapat membawa dirinya sendiri kepada penderitaan selamanya (ia membawa dirinya sendiri ke dalam neraka).

Secara lebih mendalam kita mau memahami tentang surat apostolik dari Paus Yohanes Paulus II yang berjudul, Salvifici Doloris (SD), atau On the Christian Meaning of Human Suffering.

Ingatkah kalian kita juga telah membahas mengenai hal ini di bahan CG minggu lalu, yaitu dimana di dalam dokumen yang berjudul: The Quest for an Answer to the Question of the Meaning of Suffering. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa dengan adanya penderitaan-penderitaan di dunia maka manusia dapat bertanya, “Why?” (Mengapa?) Mengapa ada kejahatan di dunia? Malah kadang pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat menjadikan orang frustasi dan akhirnya menolak adanya Tuhan. Maka, menurut Paus, kuncinya adalah kita harus memahami apakah arti dari penderitaan itu.

Alkitab menceritakan tentang misteri penderitaan ini secara jelas di dalam kitab Ayub. Teman-teman Ayub menarik kesimpulan bahwa penderitaan yang diderita oleh Ayub disebabkan oleh dosa-dosanya. Namun Tuhan akhirnya menyatakan kepada para sahabat Ayub bahwa Ayub tidak bersalah. “Itu [Penderitaan Ayub] harus diterima sebagai misteri, yang tidak dapat dipahami oleh manusia dengan akal budinya sendiri” (SD 11).

Maka dapat saja penderitaan terjadi pada orang-orang yang tak bersalah, kepada Bangsa pilihan Allah, dan bahkan Gereja-Nya sendiri. Jika demikian yang terjadi, maka hal ini merupakan undangan terhadap belas kasihan-Nya, yang mengajar manusia untuk memimpinnya kepada pertobatan. Maka penderitaan itu maksudnya adalah untuk memimpin seseorang kepada pertobatan, yaitu untuk membangun kembali kebaikan di dalam diri orang yang mengalami penderitaan (SD 12).

Misteri penderitaan hanya dapat dipahami dalam terang Kristus. Kristus menyebabkan kita memasuki misteri penderitaan dan untuk menemukan alasannya “mengapa”, sejauh kita mampu menangkap kasih ilahi-Nya. “Kasih adalah sumber yang paling penuh yang menjawab pertanyaan mengenai makna penderitaan ini. Jawaban ini telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia di dalam salib Tuhan Yesus Kristus.” (SD 13).

Dengan melihat kepada kejamnya dosa dan penderitaan, kita akan semakin menyadari akan besarnya akibat dosa, namun juga besarnya kasih Allah yang datang di dalam diri Kristus untuk membebaskan kita dari penderitaan kekal akibat dosa tersebut. Tuhan Yesus dekat kepada mereka yang menderita berdasarkan kenyataan bahwa Ia mengambil penderitaan itu bagi Diri-Nya sendiri (lih. SD 14).

Dengan adanya realitas penderitaan di dunia ini yang sifatnya sementara, dan dorongan kita secara alami untuk menghindarinya, maka seharusnya kitapun mempunyai dorongan yang lebih besar untuk menghindari penderitaan yang sifatnya selamanya, yaitu penderitaan di neraka jika kita tidak diselamatkan karena tidak bertobat. (lih. SD 14)

Jika mengalami penderitaan, entah karena kita sendiri mengalami penderitaan itu, ataupun karena kita menderita melihat orang lain yang sungguh menderita, maka kita diundang untuk mengambil bagian di dalam karya keselamatan. Paus Yohanes Paulus mengajarkannya demikian, “Each one is also called to share in that suffering through which the Redemption was accomplished…..Each man, in his suffering, can also become a sharer in the redemptive suffering of Christ.” (SD 19) Ini sesuai dengan ajakan Rasul Paulus untuk melengkapi dalam daging kita, apa yang kurang dalam penderitaan Kristus, untuk Tubuh-Nya, yaitu Gereja-Nya, (Kol 1:24) karena anggota- anggota Gereja-Nya masih ada yang mengalami penderitaan sampai pada saat ini (lih. SD 24)

Dengan menderita bersama Kristus, maka dapat dikatakan bahwa bukan kita lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup di dalam kita (Gal 2:19). Karena jika Ia mengasihi kita dengan cara ini, menderita dan wafat bagi kita, maka dengan penderitaan dan wafat-Nya ini, Ia hidup di dalam diri orang yang mengasihi Dia dengan cara yang sama (SD 20). Maka Kristus dapat dikatakan hidup di dalam diri orang itu.

Namun, dengan iman kita percaya bahwa salib dan penderitaan yang ada di dalam kehidupan manusia itu disertai dengan pengharapan pemenuhan janji akan kebangkitan. Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita adalah “orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rom 8:17-18). Dan Rasul Petrus juga berkata, “Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.” (1 Pet 4:13).

Bagaimana kita dapat menanggapi penderitaan terutama pada masa pandemi Corona virus yang sedang kita alami?

Dalam masyarakat yang semakin individualis, pandemi Covid-19 dapat dengan cepat bermutasi menjadi epidemi keputusasaan. Pastor James Martin, SJ. di America Magazine, menawarkan beberapa saran mengacu pada tradisi Kristen (spiritualitas Ignasian) dan pengalamannya sendiri.

Jangan Panik Ini bukan untuk mengatakan tidak ada alasan untuk khawatir, atau bahwa kita harus mengabaikan nasihat yang baik dari para profesional medis dan ahli kesehatan masyarakat. Namun, kepanikan dan ketakutan bukan dari Tuhan. Tenang dan berharap. Adalah mungkin untuk menanggapi krisis dengan serius, sambil mempertahankan rasa tenang dan harapan.

Yang menjauhkan kita dari Allah, St. Ignatius Loyola menamainya roh jahat, ”menyebabkan kegelisahan yang menggerogoti, menyedihkan dan membuat rintangan. Dengan cara ini hal itu meresahkan orang dengan alasan palsu”. Oleh karena itu, jangan memercayai kebohongan atau desas-desus, atau menyerah pada kepanikan. Percayai apa yang dikatakan para ahli medis. Roh Allah “membangkitkan keberanian dan kekuatan, penghiburan, inspirasi dan ketenangan”. “Jangan takut !,” seperti yang Yesus katakan berkali-kali. Pesan Paskah 2020 Paus Fransiskus: Jangan Menyerah kepada Covid-19. Jangan Mengkambinghitamkan Tuhan, godaan untuk menjelekkan atau mengkambinghitamkan, yang membuat kita stres.

Covid-19 bukan penyakit Cina; itu bukan penyakit “asing”. Itu bukan salah siapa-siapa. Demikian juga, orang yang terinfeksi tidak bisa disalahkan. Ingatlah bahwa Yesus ditanya tentang orang buta: “Siapa yang berdosa, bahwa orang ini dilahirkan buta?” Tanggapan Yesus: “Tidak seorang pun” (Yoh 9: 2). Penyakit bukanlah hukuman. Jadi, jangan menjelekkan dan jangan membenci. Merawat yang Sakit Pandemi ini mungkin membutuhkan waktu yang lama; beberapa teman dan keluarga kita mungkin sakit dan mungkin meninggal dunia. Lakukan apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu orang lain, terutama orang lanjut usia, orang cacat, orang miskin dan terisolasi.

Ambil tindakan pencegahan yang diperlukan; jangan sembrono dan jangan berisiko menyebarkan penyakit. Perintah Kelima “Jangan Membunuh”, dengan mengatakan hal ini sebenarnya berarti kita tidak boleh membahayakan orang lain melalui kelalaian atau kecerobohan kita, mendorong orang percaya untuk mematuhi perintah karantina, mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari penyebaran penyakit. Tetapi juga jangan lupa tugas dasar Kristen untuk membantu orang lain. “Aku sakit, dan kamu datang mengunjungi aku,” kata Yesus (Mat 25). Dan ingatlah bahwa Yesus hidup pada masa ketika orang tidak memiliki akses ke perawatan medis yang paling mendasar sekalipun, dan mengunjungi orang sakit sama berbahayanya, tidak lebih daripada hari ini. Bagian dari tradisi Kristen adalah merawat yang sakit, bahkan dengan biaya pribadi.

Jangan tutup hati kita untuk orang miskin dan mereka yang tidak memiliki atau terbatas perawatan kesehatan. Pengungsi, para tunawisma dan migran, misalnya, akan lebih menderita daripada masyarakat umumnya. Biarkan hatimu terbuka untuk semua yang membutuhkan. Jangan biarkan hati nurani kita terinfeksi juga.

Percayalah bahwa Tuhan Menyertai Anda Banyak orang, terutama mereka yang sakit, mungkin merasakan perasaan terisolasi yang menambah ketakutan mereka. Dan banyak dari kita mengenal orang yang sakit dan bahkan mati. Jadi kebanyakan orang akan bertanya, Mengapa ini terjadi?

Tidak ada jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan itu, yang pada intinya adalah pertanyaan mengapa penderitaan itu ada Sesuatu yang telah dipikirkan para santo dan teolog selama berabad-abad. Pada akhirnya, ini adalah misteri terbesar. Dan pertanyaannya adalah: Bisakah kita percaya pada Tuhan yang tidak kita mengerti?

Pada saat yang sama, kita tahu bahwa Yesus memahami penderitaan kita dan menemani kita dengan cara yang paling intim. Ingatlah bahwa selama pelayanan publiknya Yesus menghabiskan banyak waktu dengan mereka yang sakit. Dengan kata lain, Yesus tahu dunia penyakit. Yesus memahami semua ketakutan dan kekhawatiran yang kita miliki. Yesus memahami Anda, bukan hanya karena Ia ilahi dan memahami segala sesuatu, tetapi karena Ia adalah manusia dan mengalami semua hal. Pergi kepada-Nya dalam doa. Dan percayalah bahwa Dia mendengar kita dan bersama kita.

Jadi bagi kita orang Kristen, penderitaan dan kematian bukanlah “TITIK” atau akhir dari segalanya, namun masih “KOMA” yang menjadi permulaan kehidupan baru. Hal ini dikarenakan pengharapan dan kebahagiaan kita bukan berasal dari dunia ini, namun dari Tuhan dan kepenuhan kebahagiaan ada di surga bersama dengan Yesus.

Pertanyaan Sharing

  1. Dengan membaca bacaan diatas, menurut kalian mengapa penderitaan itu terjadi dan bagaimana tanggapan kalian? Sharingkan!
  2. Menurut kalian apa yang kalian bisa pelajari dari pandemic virus korona ini, dan hal apa yang dapat kalian pelajari dari situasi ini baik positif maupun negatif? Sharingkan!
  3. Pernahkan kalian membuat orang atau pihak lain menderita atas perbuatanmu baik secara sadar ataupun tidak sadar dan bagaimana kalian menanggapi hal tersebut? Sharingkan!
  4. Dari penderitaan-penderitaan yang pernah kalian alami, hal positif atau makna atau hikmah apa yang bisa kalian ambil sebagai pelajaran. Sharingkan!

Reference