Sesi 10 - Week of 27 Oct 2019

Keadilan dan Belas Kasih


Persiapan Fasil:

1. Mohon untuk dibaca dan dipersiapkan baik-baik sebelum membawa bahan ini.

2. Doakan anggota-anggota cg kalian dan orang-orang disekitar kalian dalam doa harian kalian.

Intro

Untuk cg kali ini masih dalam tema yang sama dengan tema ADN dan bahan-bahan cg sebelumnya. Kata mercy (belas kasih) merupakan kata yang belakangan ini sering kita dengar, terutama oleh Paus Fransiskus yang mencanangkan tahun belas kasih (year of mercy).

St. Agustinus, seorang Bapa Gereja dan juga salah satu teolog besar Gereja, memberikan kita pencerahan tentang belas kasih dan keadilan yang terpenuhi dalam diri Yesus. Mari kita melihat apa yang diajarkan St. Agustinus mengenai perikop Yesus dan seorang wanita pezinah (uraian St. Agustinus diambil dari Tractate (lectures) 33).

Yohanes 7:40-8:11

Yoh 7:40 Beberapa orang di antara orang banyak, yang mendengarkan perkataan-perkata itu, berkata: “Dia ini benar-benar nabi yang akan datang.”

Yoh 7:41 Yang lain berkata: “Ia ini Mesias.” Tetapi yang lain lagi berkata: “Bukan, Mesias tidak datang dari Galilea!

Yoh 7:42 Karena Kitab Suci mengatakan, bahwa Mesias berasal dari keturunan Daud dan dari kampung Betlehem, tempat Daud dahulu tinggal.”

Yoh 7:43 Maka timbullah pertentangan di antara orang banyak karena Dia.

Yoh 7:44 Beberapa orang di antara mereka mau menangkap Dia, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyentuh-Nya.

Yoh 7:45 Maka penjaga-penjaga itu pergi kepada imam-imam kepala dan orang-orang Farisi, yang berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak membawa-Nya?”

Yoh 7:46 Jawab penjaga-penjaga itu: “Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu!”

Yoh 7:47 Jawab orang-orang Farisi itu kepada mereka: “Adakah kamu juga disesatkan?

Yoh 7:48 Adakah seorang di antara pemimpin-pemimpin yang percaya kepada-Nya, atau seorang di antara orang-orang Farisi?

Yoh 7:49 Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka!”

Yoh 7:50 Nikodemus, seorang dari mereka, yang dahulu telah datang kepada-Nya, berkata kepada mereka:

Yoh 7:51 “Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuat-Nya?”

Yoh 7:52 Jawab mereka: “Apakah engkau juga orang Galilea? Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea.”

Yoh 7:53 Lalu mereka pulang, masing-masing ke rumahnya,

Yoh 8:1 tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun.

Yoh 8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka.

Yoh 8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.

Yoh 8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.

Yoh 8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”

Yoh 8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan- Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.

Yoh 8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Yoh 8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.

Yoh 8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.

Yoh 8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”

Yoh 8:11 Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

 

St. Agustinus mengenai perikop Yesus dan seorang wanita pezinah.

Perikop tersebut diawali oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang membawa seorang wanita, yang ketahuan berbuat zinah, ke hadapan Yesus. Mereka melakukan ini dengan niat yang buruk: yakni menguji sikap lembut Tuhan. Mereka berkata: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk merajam perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”

Mereka berusaha untuk menjebak dan menuduh Yesus. Bila Yesus menyetujui agar wanita tersebut dilempari batu, Yesus akan menunjukkan bahwa Ia tidak bersikap lembut. Namun bila Yesus melepaskan wanita itu dari hukuman, maka orang Farisi dan ahli Taurat akan menuduh Yesus karena melanggar hukum, dan menjadikan dirinya musuh bagi hukum Taurat:

“Let us bring before him a woman taken in adultery; let us say to him what is ordered in the law concerning such: if he shall approve her being stoned, he will not show his gentleness; if he consent to let her go, he will not keep righteousness. But, say they, that he may not lose the reputation of gentleness, for which he has become an object of love to the people, without doubt he will say that she must be let go. Hence we find an opportunity of accusing him, and we charge him as being a transgressor of the law: saying to him, You are an enemy to the law; you answer against Moses, nay, against Him who gave the law through Moses; you are worthy of death: thou too must be stoned with this woman.

Yesus, yang telah membaca hati yang busuk dari orang Farisi dan ahli Taurat ini, akan menunjukkan bahwa Ia tetap bersikap lembut dan adil/benar:

Behold, the Lord in answering them will both keep righteousness, and will not depart from gentleness. He was not taken for whom the snare was laid, but rather they were taken who laid it, because they believed not on Him who could pull them out of the net.

Kita tahu apa yang menjadi jawaban Yesus: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” St. Agustinus menjelaskan, betapa jawaban ini penuh dengan keadilan dan belas kasih. Dengan menjawab demikian, maka Yesus menyerahkan persoalan ini kepada orang Farisi dan ahli Taurat. Dari luar, mereka berdiri untuk menuduh, namun mereka tidak memeriksa batin mereka: mereka melihat seorang pezinah, tetapi tidak melihat ke dalam diri mereka. Mereka yang adalah seorang pelanggar hukum, menginginkan agar hukum dipenuhi bagi perempuan tersebut:

What then did He answer? See you how full it is of righteousness, how full of meekness and truth! He that is without sin of you, says He, let him first cast a stone at her. O answer of Wisdom! How He sent them unto themselves! For without they stood to accuse and censure, themselves they examined not inwardly: they saw the adulteress, they looked not into themselves. Transgressors of the law, they wished the law to be fulfilled, and this by heedlessly accusing; not really fulfilling it, as if condemning adulteries by chastity.

Ada sebuah adegan ketika Yesus menulis di tanah. Menurut St. Agustinus, hukum ditulis dengan jari Allah, tetapi tertulis di atas batu karena kerasnya hati manusia. Tuhan kita menulis di tanah, karena Ia mencari buah dari hukum tersebut. Dengan demikian, Yesus mengundang orang Farisi dan ahli Taurat untuk masuk ke dalam diri mereka, berhadapan dengan hati nuraninya, agar mereka mengakui siapa mereka sesungguhnya.

What else does He signify to you when He writes with His finger on the ground? For the law was written with the finger of God; but written on stone because of the hard-hearted. The Lord now wrote on the ground, because He was seeking fruit. You have heard then, Let the law be fulfilled, let the adulteress be stoned. But is it by punishing her that the law is to be fulfilled by those that ought to be punished? Let each of you consider himself, let him enter into himself, ascend the judgment-seat of his own mind, place himself at the bar of his own conscience, oblige himself to confess.

Panduan Fasil:

In regards with “The Lord now wrote on the ground”, can be refer to this information taken from: https://forums.catholic.com/t/what-was-jesus-writing/361690), which is: S. Ambrose (Ep. lxxvi. ad Studitem) says, “He wrote on the ground, for sinners are written on the earth, the just in heaven.” Symbolically, S. Augustine (as above) gives two other reasons.

(1.) To show that He worked miracles on earth, for, though God, He humbled Himself to become man, for miracles are signs which are wrought on earth.

(2.) To point out that the time had now come for His law to be written on the fruitful earth, not on barren stones.

(3.) He adds here (Tract. xxxiii.) a third reason, that it was to signify that it was He who had written the old law on tables of stone, but that the new law was to be written on the productive earth.

But what did Christ write? He could not in the paved court of the temple cut out the shape of the letters, but merely delineate them with His finger. But He seems to have marked out something to put them to shame, or to expose their sin. For He added, in explanation of what He had done, “He that is without sin among you, let him first cast a stone at her.” S. Jerome even says that He wrote the mortal sins of the Scribes and of all men (Lib. ii. Contra Pelag.), S. Ambrose (Ep. lvi.) that He wrote Jer. xxii. 29; and (Epist. lxxix.) that He wrote among other words, Thou seest the mote in thy brother’s eye, but seest not the beam in thine own. Others think that He wrote “Mene, Mene” (Dan. v. 25). But nothing certain can be stated.

Sekarang St. Agustinus menunjukkan aspek keadilan yang sering dilupakan dari perikop ini. Dengan berkata “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”, Yesus menyatakan keadilan dengan lantang: Biarlah pendosa itu dihukum, tetapi tidak oleh pendosa. Biarlah hukum dipenuhi, tetapi bukan oleh pelanggar hukum. Melalui suara keadilan ini, Yesus menembus batin mereka, layaknya sebuah panah yang menghujam tepat di sasarannya, yang menyingkapkan kemunafikan dan keberdosaan mereka. Setelah menyadari bahwa mereka adalah pendosa juga, hanya ada dua orang yang tetap tinggal di situ, yakni wanita pezinah dan Sang Belas Kasih.

Apakah ini berarti bahwa St. Agustinus hendak memberitahu kita, bahwa kita tidak seharusnya menghukum siapapun? Dalam suratnya kepada Magistrat Macedonius, St. Agustinus menggambarkan sikapnya secara umum: bahwa kita harus membenci dosa atau kejahatan dan mencintai orangnya, oleh karena itu penting sekali agar para pendosa dikoreksi dan mendapatkan hukuman.

In no way, then, do we approve of the sins that we want to be corrected, nor do we want the wrongdoing to go unpunished because we find it pleasing. Rather, having compassion for the person and detesting the sin or crime, the more we are displeased by the sin the less we want the sinful person to perish without having been corrected. For it is easy and natural to hate evil persons because they are evil, but it is rare and holy to love those same persons because they are human beings. Thus, in one person you at the same time both blame the sin and approve of the nature, and for this reason you must justly hate the sin because it defiles the nature that you love.

He, therefore, who punishes the crime in order to set free the human being is bound to another person as a companion not in injustice but in humanity. There is no other place for correcting our conduct save in this life. For after this life each person will have what he earned for himself in this life. And so, out of love for the human race we are compelled to intercede on behalf of the guilty lest they end this life through punishment so that, when it is ended, they cannot have an end to their punishment.

Setelah mengusir musuhnya dengan lidah keadilan, sekarang Yesus memandang wanita tersebut dengan tatapan penuh belas kasih, dan terjadilah percakapan berikut

“Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.””

Perhatikan bahwa Yesus tidak mengutuk atau mencela pribadi/orangnya, melainkan yang dikutuk Yesus adalah dosanya. Oleh karena itulah Yesus berkata: pergilah dan jangan berbuat dosa lagi. Yesus tidak berkata, pergilah dan berbuatlah sesuka hatimu, dan aku akan membebaskanmu dari segala hukuman termasuk neraka.

But He, who had driven back her adversaries with the tongue of justice, raising the eyes of clemency towards her, asked her, Hath no man condemned you? She answered, No man, Lord. And He said,Neither do I condemn you; by whom, perhaps, you feared to be condemned, because in me you have not found sin. Neither will I condemn you. What is this, O Lord? Do You therefore favor sins? Not so, evidently. Mark what follows: Go, henceforth sin no more. Therefore the Lord did also condemn, but condemned sins, not man. For if He were a patron of sin, He would say, Neither will I condemn you; go, live as you will: be secure in my deliverance; how much so ever you will sin, I will deliver you from all punishment even of hell, and from the tormentors of the infernal world. He said not this.

Apa yang dikatakan St. Agustinus tentang mereka yang berhati keras dan tidak mau bertobat? Mereka ini menyimpan bagi diri mereka kemurkaan Tuhan, yang akan dijatuhkan pada hari angkara murka dan ketika Allah menyatakan penghakimannya yang benar dan adil, yang menilai setiap manusia berdasarkan perbuatannya. St. Agustinus juga menegaskan bahwa Tuhan memang lemah lembut dan berbelas kasih, namun Ia juga adalah kebenaran dan adil. Ia memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri, tetapi kita lebih menyukai penghakiman yang ditunda daripada memperbaiki jalan hidup kita.

Selanjutnya Agustinus mengajak kita untuk bertobat dan memperbaharui diri. Allah telah berjanji bahwa Ia akan mengampuni mereka yang bertobat dan memperbaiki kehidupannya. Pertobatan harus segera dilakukan, karena Allah tidak pernah menjanjikan kepada setiap manusia, bahwa mereka akan memiliki kehidupan yang panjang di dunia ini.

Have you been a bad man yesterday? Today be a good man. Have you gone on in your wickedness today? At any rate change tomorrow. You are always expecting, and from the mercy of God makest exceeding great promises to yourself. As if He, who has promised you pardon through repentance, promised you also a longer life. How do you know what tomorrow may bring forth? Rightly you say in your heart: When I shall have corrected my ways, God will put all my sins away. We cannot deny that God has promised pardon to those that have amended their ways and are converted. For in what prophet you read to me that God has promised pardon to him that amends, you do not read to me that God has promised you a long life.

Agustinus juga memberikan peringatan kepada mereka yang berharap dengan berlebihan terhadap belas kasih Allah. Siapa yang ditipu dengan berharap? Ia yang berkata, “Allah itu baik, Allah itu berbelas kasih, biarkan aku melakukan apa yang aku senangi, apa yang aku suka, biarkan aku melonggarkan kendaliku terhadap nafsuku, biarkan aku memuaskan hasrat jiwaku. Mengapa? Karena Allah berbelas kasih, Allah itu baik. Mereka ini berada dalam bahaya karena harapan.” Sebuah teguran yang keras dari St. Agustinus, terhadap mereka yang di jaman modern ini juga menyuarakan hal yang sama!

Bagaimana Tuhan memperlakukan mereka yang berada dalam bahaya karena berharap secara berlebihan terhadap belas kasih Allah? Hanya pertobatan yang menjadi satu-satunya jalan, dan ini tidak boleh ditunda, karena bila murka Allah datang secara tiba-tiba, manusialah yang akan mengalami kehancuran.

Akhirnya, penjelasan St. Agustinus terhadap perikop Yesus dan wanita pezinah menunjukkan pada kita tidak hanya belas kasih, melainkan keadilan pun juga menjadi hal yang Yesus lakukan, dan keduanya tidaklah bertentangan. Seperti yang dikatakan Pemazmur, “Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya” (Mzm 25:10), “Keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta- Mu, kasih dan kesetiaan berjalan di depan-Mu” (Mzm 89:14).

Dalam diri Yesus, terpenuhilah belas kasih dan keadilan, karena keduanya adalah cara Allah dalam bekerja dan berhadapan dengan manusia. Dan ini juga lah yang senantiasa diperjuangkan oleh Gereja: bukan menceraikan yang satu dan meninggalkan yang lain, melainkan menyatukan keduanya dengan harmonis. Keadilan dan belas kasih, keduanya harus dipertemukan dan bercium-ciuman, agar semakin nyatalah kasih dan kebenaran Allah.

Mzm 85:10 Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman.

Sharing

1. Setelah membaca bahan diatas, apa pendapat kalian tentang Keadilan dan belas kasih yang dijabarkan? Sharingkan!

2. Menurut kalian apakah belas kasih dan keadilan itu bertentangan? Sharingkan pendapat kalian!

3. Apakah kalian pernah berada didalam situasi yang serupa? Apakah sebagai “ahli taurat”, “perempuan yang berzinah”, atau “Tuhan Yesus”? Sharingkan!

Referensi:

Bahan diambil dari artikel berikut:

https://luxveritatis7.wordpress.com/2015/05/10/ketika-keadilan-dan-belas-kasih-bertemu-dan-berciuman/

https://forums.catholic.com/t/what-was-jesus-writing/361690

http://www.newadvent.org/fathers/1701033.htm