Sesi 68 - Week of 25 Apr 2021

Kasih Kepada Tuhan dan Sesama


Pengantar

Kita sudah membahas The Great Commandment selama 1 bulan terakhir. The Great Commandment bukanlah hal yang asing bagi umat Katolik. Kita dapat menemukan kisah Tuhan Yesus menjelaskan The Great Commandment di dalam kitab Matius, Markus dan Lukas. Bacaan tersebut mengingatkan kita bahwa seluruh Hukum Ilahi dapat diringkas dalam bentuk kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Untuk sesi CG kali ini, kita ingin membahas perintah mana yang termasuk The Great Commandment dan beberapa objections yang sering kita dengar.

The Great Commandment

Rasul Matius menceritakan bahwa beberapa orang Farisi bersekongkol untuk menguji Yesus (lih. 22:34-35). Salah satu dari mereka, seorang doktor Ahli Taurat, menanyakan Yesus: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (ayat 36). Yesus, mengutip Kitab Ulangan, menjawab: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.” (ayat 37-38).

Yesus bisa saja berhenti di sana tanpa melanjutkan kalimat-Nya. Namun, di luar dugaan oleh para Ahli Taurat, Yesus menambahkan sesuatu. Yesus melanjutkan: “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (ayat 39). Perintah kedua ini Yesus ambil dari Kitab Imamat.

Sangat unik bagaimana Yesus menempatkan kedua perintah ini bersama-sama — kasih kepada Tuhan dan kasih untuk sesama. Apa yang Yesus lakukan menunjukkan bahwa kedua perintah ini tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi, ibarat dua sisi koin yang sama. Kita tidak dapat mengasihi Tuhan tanpa mengasihi sesama dan kita tidak dapat mengasihi sesama tanpa mengasihi Tuhan. Paus Benediktus XVI membahas topik ini dalam Ensiklik pertamanya: Deus Caritas Est (nn. 16-18).

Setelah merefleksikan hakikat kasih dan maknanya dalam iman Katolik kita, Paus Benediktus XVI merasa ada dua pertanyaan tersisa mengenai sikap kita sendiri:

  • Dapatkah kita mengasihi Tuhan tanpa melihat-Nya?
  • Apakah kasih dapat diperintahkan?

Kedua pertanyaan ini juga menimbulkan 2 keberatan juga.

  • Tidak ada yang pernah melihat Tuhan, jadi bagaimana kita bisa mengasihi-Nya?

Kasih tidak bisa diperintahkan. Pada akhirnya kasih adalah perasaan yang ada atau tidak ada, tidak dapat dihasilkan hanya oleh kemauan (willingness).

Bagaimana kita dapat mengasihi tanpa melihat Tuhan?

Kitab Suci terkesan memperkuat keberatan yang pertama. “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1 Yoh 4:20). Namun sebenarnya, teks ini tidak mencap kasih Tuhan sebagai sesuatu yang impossible. Malah sebaliknya, konteks perikop yang dikutip dari Surat Pertama Yohanes ini menunjukkan bahwa kasih semacam itu secara eksplisit dituntut.

Perikop ini menekankan bagaimana tak terpisahkannya ikatan antara kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Saking erat hubungannya satu sama lain, kita tidak bisa bilang bahwa kita mengasihi Tuhan jika kita menutup diri dari sesama atau membenci sesama. Kita seharusnya menginterpretasikan kata-kata Santo Yohanes sebagai berikut: kasih kepada sesama adalah jalan yang mengarah pada perjumpaan dengan Tuhan, dan bahwa menutup mata kita kepada sesama juga membuat kita buta terhadap Tuhan.

Memang benar, tidak ada yang pernah melihat Tuhan secara fisikal. Namun Tuhan tidak sepenuhnya invisible; dan bukan berarti Tuhan tidak bisa “dihubungi”. Tuhan mengasihi kita terlebih dahulu, kata Surat Yohanes yang dikutip di atas (lih. 4:10), dan kasih Tuhan ini telah muncul di tengah-tengah kita. Dia menjadi “kelihatan” sejak Dia “telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya” (1 Yoh 4: 9). Tuhan telah membuat diri- Nya terlihat— di dalam Yesus kita dapat melihat Bapa (lih. Yoh 14: 9).

Tuhan terlihat dalam berbagai cara. Kisah Allah menciptakan alam semesta dan isinya merupakan bukti bahwa kita dapat melihat Allah di dalam ciptaan-Nya. Terlebih lagi sesama umat manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Dalam kisah kasih lain yang diceritakan oleh Alkitab, Tuhan Yesus secara fisikal datang kepada kita, berusaha untuk memenangkan hati kita, sampai pada Perjamuan Terakhir, sampai ke penusukan hatinya di kayu Salib, kemudian lanjut ke kebangkitan-Nya dan, melalui para Rasul, membimbing Gereja pada zaman itu. Tuhan juga tidak pernah absen dari sejarah Gereja sampai sekarang ini (dan selama-lamanya). Lewat firman-Nya, sakramen-sakramen, Liturgi Gereja, doa, dan juga komunitas orang percaya, kita mengalami kasih Tuhan, merasakan kehadiran-Nya, dan dengan demikian belajar untuk mengenali kehadiran itu dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dia lebih dulu mengasihi kita dan Dia tidak pernah berhenti melakukannya. Oleh karena itu, kita kemudian juga dapat menanggapinya dengan kasih. Tuhan tidak menuntut dari kita perasaan yang tidak mampu kita hasilkan sendiri. Dia mengasihi kita, Dia membuat kita melihat dan mengalami kasih-Nya, dan karena Dia telah “mengasihi kita terlebih dahulu”, kasih juga dapat berkembang sebagai respons dalam diri kita.

Kasih Terhadap Sesama

Dengan demikian, kasih terhadap sesama terbukti “possible” seperti yang dijelaskan oleh Yesus di dalam Alkitab. Di dalam Tuhan dan dengan Tuhan, kita dapat mengasihi orang yang tidak kita sukai atau bahkan tidak kita kenal. Ini hanya bisa terjadi atas dasar perjumpaan yang intim dengan Tuhan, perjumpaan yang telah berkembang menjadi sebuah persekutuan, yang bahkan mempengaruhi perasaan kita. Kita pun belajar untuk melihat orang lain tidak hanya dengan mata dan perasaan kita saja, tetapi juga dari sudut pandang Yesus Kristus. Mereka bukan lagi hanya sekedar “orang lain”, tetapi sudah menjadi sesama kita. Teman-Nya adalah teman kita.

Lebih dari sekedar penampilan luar, dalam diri sesama, kita dapat melihat keinginan hati mereka untuk sebuah tanda kasih dan perhatian. Kita dapat memenuhi kebutuhan tersebut tidak hanya melalui organisasi maupun Gereja. Melihat dengan mata Kristus, kita dapat memberikan sesama lebih dari kebutuhan lahiriah mereka. Kita dapat memberikan mereka kasih yang mereka dambakan.

Di sinilah kita melihat interaksi penting antara kasih Tuhan dan kasih sesama yang dibicarakan dalam Surat Pertama Yohanes. Apabila kita tidak memiliki hubungan apapun dengan Tuhan dalam hidup kita, maka kita tidak dapat melihat hal yang lebih dalam sesama kita (dan hanya melihat mereka sebagai “orang lain”). Kita tidak mampu melihat citra Tuhan dalam diri sesama.

Tetapi jika dalam hidup kita, kita sepenuhnya gagal untuk memperhatikan orang lain, semata-mata karena keinginan untuk menjadi “taat” dan untuk melakukan “tugas keagamaan” kita, maka hubungan kita dengan Tuhan juga akan menjadi kering. Hubungan kita dengan Tuhan hanya menjadi “benar”, tapi tanpa kasih. Kesiapan kita untuk bertemu dengan sesama kita dan menunjukkan kasih kepada mereka membuat kita peka terhadap Tuhan juga.

Hanya ketika kita melayani sesama, mata kita dapat terbuka terhadap apa yang Tuhan telah lakukan untuk kita dan betapa Dia mengasihi kita. Para kudus — contohnya Santa Teresa dari Kalkuta — terus-menerus memperbarui kapasitas mereka untuk mengasihi sesama melalui pertemuan mereka dengan Tuhan. Sebaliknya, pertemuan mereka dengan Tuhan ini memperoleh “realitas” dan kedalamannya melalui pelayanan mereka kepada sesama.

Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama dengan demikian tidak dapat dipisahkan. Mereka membentuk satu perintah. Tapi keduanya hidup dari kasih Tuhan yang sudah lebih dulu mengasihi kita. Ini bukan lagi pertanyaan tentang “perintah” yang dipaksakan dari luar dan menyerukan sesuatu yang tidak mungkin. Ini adalah pengalaman kasih yang diberikan secara bebas dari dalam diri kita, kasih yang pada dasarnya harus dibagikan dengan orang lain. Kasih tumbuh melalui kasih. Kasih itu “Ilahi” karena kasih datang dari Tuhan dan mempersatukan kita dengan Tuhan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, tanda nyata yang dapat ditunjukkan umat Kristiani untuk menyatakan kasihnya kepada Tuhan adalah kasih yang ia pikul untuk saudara-saudaranya. Perintah untuk mengasihi Tuhan dan sesama adalah perintah yang pertama, bukan karena itu ada di urutan teratas, melainkan karena Yesus menempatkan perintah ini sebagai pusat dari semua perintah lainnya. Dari hatilah segala sesuatu harus keluar dan ke hatilah juga semuanya akan kembali.

 

Sharing

  1. Menurut kalian, mana yang lebih mudah: mengasihi Tuhan atau mengasihi sesama? Mengapa?
  2. Pernahkan kalian merasa kesulitan mengasihi sesama? Sharingkan apa yang kalian lakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut!
  3. Setelah mengikuti sesi CG hari ini, apakah ada sesama yang terlintas di benak kalian untuk kalian bantu? Sharingkan!