Facilitator?
(error)
Jawaban untuk fasil akan ditampilkan

Sesi 27 - Week of 12 Apr 2020

Euthanasia menurut pandangan Gereja Katolik


Intro

Pada bahan Cell Group hari ini kita akan membahas tentang pandangan Gereja Katolik mengenai euthanasia. Apakah itu Euthanasia? Secara singkat, Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘Eu’ yang berarti secara baik, dan ‘Thanatos’ yang berarti mati. Euthanasia berarti kematian yang baik atau mati secara baik. Dalam kamus Oxford English Dictionary, euthanasia berarti kematian yang lembut dan nyaman.

Sejarah singkat Euthanasia

Gagasan dan praktek euthanasia sudah ada dalam budaya Yunani kuno. Pada zaman Yunani-Romawi, penekanan euthanasia terletak pada kehendak kematian seseorang yang mau melepaskan diri dari penderitaan, terutama mereka yang mengalami penyakit yang parah. Hal ini dilakukan agar tidak membebani orang lain. Praktek seperti ini tidak semua disetujui. Pythagoras melawan tindakan ini. Ia melihat bahwa kehidupan manusia itu memiliki nilai keabadian. Euthanasia adalah tindakan yang tidak menghargai arti kehidupan manusia. Seorang filsuf, Aristoteles, menolak tindakan euthanasia dengan ialah hidup manusia memiliki nilai luhur.

Selain dunia filsafat, dunia medis pun sungguh membela kehidupan. Hippocrates berjuang dan berusaha untuk memberikan pelayanan medis untuk kesehatan manusia. Bahkan, ia mengangkat sumpah untuk mengupayakan kesehatan manusia. Sekarang ini, sumpah itu menjadi sumpah jabatan bagi para dokter. Beberapa gagasan ini menunjukan bahwa sejak zaman klasik ada upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan memperjuangkan hidup manusia.

Pendapat Gereja Katolik

Sejak awal Gereja sangat menghargai martabat manusia. Gereja hidup berdasar pada Sabda Tuhan. Tuhan bersabda “janganlah membunuh” (Kel 21:13). Dibalik perintah ini terkandung cinta Tuhan yang mendalam pada manusia dan penghormatan yang tinggi terhadap hidup manusia. Yesus sendiri menegaskan supaya hidup saling mengasihi. “ Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Apabila seseorang mengalami cinta Tuhan maka dia akan mampu hidup dalam cinta dan mengasihi sesamanya.

Pastor Hermas (sekitar abad I) melawan tindakan bunuh diri karena melawan kehidupan yang diberikan oleh Allah sendiri. Pandangan ini juga berkembang dalam pemikiran Santo Yustinus Martir (sekitar abad II) yang mendasarkan pemikirannya pada Kitab Suci bahwa manusia adalah milik Allah seutuhnya. Selain itu, St. Agustinus (abad IV) menolak secara tegas tindakan bunuh diri yang melawan cinta Allah dalam hidup manusia (Kej 1). Hidup manusia adalah pemberian Allah. Allah menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Oleh karena itu, hidup perlu dijunjung tinggi. St. Thomas Aquinas (abad XII), juga melihat tindakan bunuh diri adalah kekerasan terhadap cinta Allah. Manusia menjauhi kasih Allah dalam hidupnya.

Paus Pius XII memberikan tanggapan atas tindakan euthanasia yang dilakukan secara sistematis pada masa kekuasaan Nazi dalam ensiklik Mystici Corporis pada 20 Juli 1943. Selanjutnya Paus menanggapi “eugenic euthanasia”, mengatakan bahwa euthanasia merupakan tindakan kekerasan melawan Allah. Peristiwa ini sungguh mengerikan pada Perang Dunia II dan pembantaian hebat yang dilakukan oleh Hitler terhadap orang-orang Yahudi. Paus melontarkan pemikirannya dengan mengutip Kitab Suci mengenai Kain yang membunuh Habel, adiknya (Kej 4:10). Paus mengedepankan keluhuran tubuh manusia yang harus dihormati.

Konsili Vatikan II (1965) prihatin akan adanya bahaya yang mengancam kehidupan manusia yang akan datang dengan perkembangan metode euthanasia (GS art. 27). Keprihatinan Gereja semakin mendalam ketika melihat adanya gerakkan yang kuat untuk terus melegalkan euthanasia. Sebagai reaksi atas situasi ini, Kongregasi untuk Ajaran Iman mengeluarkan deklarasi tentang euthanasia pada 5 Mei 1980. Kongregasi mengajak umat untuk memperhatikan hidup manusia. Hidup manusia itu sangat bernilai.

Paus Paulus VI, memberi Amanat kepada Sidang Umum PBB, 4 Oktober 1965,“kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan manusia yang canggih tetap memperhatikan pengabdian pada manusia. Maka intervensi untuk memperjuangkan nilai-nilai dan hak-hak pribadi manusia harus dijaga. Orientasi dan pemikiran yang jernih untuk menolong kehidupan manusia pertama-tama mengalir dari semua kaum beriman kristiani dan juga kepada mereka yang mengakui perutusan Gereja, yang ahli dalam kemanusiaan, dalam pengabdian cinta kasih dan kehidupan” (Lihat, Kotbah Misa Penutupan tahun Suci, 25 Desember 1975).

Prinsip Umum

Gereja Katolik sungguh menjunjung tinggi kehidupan, karena kehidupan manusia diberikan dari Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menyatakan secara definitif bahwa pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah selalu merupakan perbuatan imoral/ tidak bermoral. Pernyataan ini bersifat infallible atau tidak dapat sesat.

Dalam artikel 57 dari dokumen Evangelium Vitae, dituliskan sebagai berikut:
“Jadi, dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya, dan di dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tak bersalah selalu merupakan tindakan yang sungguh tidak bermoral. Pengajaran ini, berdasarkan hukum yang tidak tertulis, di mana manusia dalam terang akal budi, menemukannya dalam hatinya (lih. Rm 2:14-15), ditegaskan kembali oleh Kitab Suci, diteruskan oleh Tradisi Gereja dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 25).

Selanjutnya Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan lebih lanjut, demikian:
Keputusan sengaja untuk merampas kehidupan seorang manusia selalu merupakan kejahatan moral dan tidak akan dapat dianggap licit (sesuai aturan), baik sebagai tujuan ataupun sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik. Nyatanya, itu adalah tindakan berat yang menyangkut ketidaktaatan kepada hukum moral, dan sungguh kepada Tuhan sendiri, Pencipta dan Penjamin hukum tersebut; [tindakan itu] bertentangan dengan kebajikan mendasar tentang keadilan dan cinta kasih. Tak ada sesuatupun dan tak seorangpun dapat dengan cara apapun mengizinkan pembunuhan seorang manusia, apakah itu dalam bentuk janin atau embrio, seorang bayi ataupun dewasa, seorang tua, atau seseorang yang menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau seseorang yang dalam keadaan sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diizinkan untuk meminta dilakukannya tindakan pembunuhan ini, entah bagi dirinya sendiri atau untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya, atau tak seorangpun dapat menyetujuinya, baik secara eksplisit ataupun implisit. Tidak juga ada otoritas legitim apapun yang dapat merekomendasikan ataupun mengizinkan tindakan tersebut” (diterjemahkan
dari Congregation for the Doctrine of the Faith (CDF), Declaration on Euthanasia Iura et Bona (5 May 1980), II: AAS 72 (1980), 546).

Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Euthanasia dalam artinya yang sesungguhnya dimengerti sebagai sebuah tindakan atau pengabaian yang dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan kematian, dengan maksud untuk meniadakan semua penderitaan…. Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para pendahulu saya, dan dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa euthanasia adalah pelanggaran yang berat terhadap hukum Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan seorang manusia secara disengaja dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini berdasarkan hukum kodrat dan sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh Tradisi Suci Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium Gereja” (Evangelium Vitae 65).

Namun surat ensiklik Evangelium Vitae tersebut juga menjelaskan bahwa euthanasia berbeda artinya dengan keputusan untuk tidak melakukan perawatan medis yang agresif (“aggressive medical treatment“):
“[Perawatan ini adalah] prosedur- prosedur medis yang sebenarnya sudah tidak lagi cocok dengan keadaan riil pasien, karena prosedur tersebut sudah tidak proporsional dengan hasil yang diharapkan, atau prosedur tersebut memaksakan beban yang terlalu berlebihan kepada pasien dan keluarganya. Dalam keadaan- keadaan seperti ini, ketika kematian sudah jelas tidak terhindari, seseorang dengan hati nuraninya dapat “menolak bentuk- bentuk perawatan yang hanya menjamin perpanjangan hidup yang tak menentu dan sangat membebani, sepanjang perawatan normal yang layak bagi pasien pada kasus- kasus serupa tidak dihentikan.” (CDF, Ibid., IV: loc. cit, 551).

Sudah pasti ada keharusan moral untuk merawat diri sendiri dan membiarkan diri dirawat orang lain, tetapi tugas ini harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi- kondisi konkret. Harus ditentukan apakah perawatan yang ada secara obyektif proprosional dengan kemungkinan penyembuhan. Menolak cara yang berlebihan dan tidak proporsional tidak sama dengan bunuh diri atau euthanasia; melainkan itu mencerminkan penerimaan kondisi manusia menghadapi maut.” (Ibid., seperti dikutip dalam Evangelium Vitae 65)

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa walaupun dalam kondisi ‘vegetatif’ sekalipun, manusia tetap mempunyai martabat yang utuh, dan karenanya harus diperlakukan sebagai manusia. Bahkan ketika kematian sudah di ambang pintu, para pasien, tetap harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya, dengan terus diberikan perlakuan yang umum dan layak. Dokumen untuk Para Petugas Kesehatan, The Charter for Health Care Workers (yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Pastoral Assistance for Health Care Workers, 1995) mengatakan bahwa perlakuan yang layak tersebut termasuk perawatan, kebersihan, pengurangan rasa sakit, pemberian makanan dan air, baik melalui mulut atau dengan infus, jika ini dapat mendukung kehidupan pasien tanpa menimbulkan beban yang serius kepada pasien. Maka persyaratan umum adalah menghindari kematian pasien yang disebabkan oleh kelaparan dan kehausan. Namun, jika kasus yang terjadi malah sebaliknya, yaitu jika pasien telah menjelang ajal, di mana pemberian makanan dan air malah menimbulkan kesulitan yang lebih besar daripada kegunaannya, maka mereka yang bertugas menjaga dan merawat pasien tersebut, dapat memberhentikan pemberian tersebut (lih. National Conference of Catholic Bishops, Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care Services, no. 58).

Kenapa kita perlu menghindari Euthanasia

Manusia diciptakan untuk mengabdi kehidupan. Hidup yang dijalaninya suatu anugerah indah dan pemberian Tuhan. Artinya, kehidupan dan kematian manusia tergantung pada Tuhan. Dan, tidak satu manusia pun di dunia ini yang berhak untuk mengakhiri hidup sesamanya. Apalagi kematian tragis yang diciptakannya. Kita semua prihatin akan fenomena pembunuhan, yakni euthanasia yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin menghabisi kehidupan sesamanya. Kita perlu berdoa agar mereka sadar dan bertobat. Dengan demikian, mereka dapat mengabdi pada kehidupan manusia seutuhnya. Beberapa hal yang diupayakan, sebagai berikut:

Pertama, Tuhan yang memberi kehidupan. Allah telah menciptakan manusia menurut gambar-Nya: “Ia menciptakan mereka sebagai lelaki dan perempuan” (Kej. 1:27), dan mempercayakan kepada mereka tugas “menaklukkan bumi” (Kej 1:28). Segala keahlian yang dimiliki manusia mengarah pada penugasannya untuk mengabdi kehidupan. Anugerah kehidupan yang dipercayakan Allah Bapa kepada manusia, menuntut manusia untuk mengabdi nilai luhur hidup itu dan mengemban tanggung jawab atasnya. Sejak semula hidup manusia merupakan anugerah Allah yang sangat bernilai. Allah tidak membiarkan umat-Nya mengalami kematian tragis melainkan kematian yang layak dan wajar. Bukti bahwa “Allah mencintai manusia yakni mengutus Yesus Putera-Nya , barangsiapa percaya pada-Nya memperoleh hidup kekal” (Yoh 3:16). Allah sungguh mengasihi manusia dengan jalan mengutus Yesus ke dunia dan mati untuk menebus dosa manusia. Sesungguhnya, cinta seperti ini mengalir juga dalam seluruh hidup manusia. Kalau mau mengabdi dan menolong sesama, kita perlu memberi perhatian sampai tuntas.

Kedua, manusia belajar mengasihi sesama. “Yesus mengajar para pengikutnya agar hidup mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.” (Mrk 12:30). #cek apa benar?# Mencintai berarti memperlakukan dia seperti kita memperlakukan diri sendiri. Hal ini akan tercapai apabila seseorang mengalami kasih Yesus dalam seluruh hidupnya. Sesungguhnya siapa pun manusia di dunia ini akan menghadapi kematian. Kesadaran inilah yang memotivasinya untuk menghormati sesamanya terutama yang sakit parah.

Ketiga, segala perbuatan manusia akan dipertanggung jawabkan pada saat mengakhiri perziarahan di dunia. “Apa pun yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang hina ini, kamu lakukan untuk aku” (Mat 25:40). Setiap perbuatan baik yang dilakukan untuk sesama kita lakukan untuk Yesus. Sebaliknya, segala tindakan jahat yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan.

Setelah kita tahu poin-poin di atas, kita bisa melakukan hal-hal berikut, pendampingan manusiawi dan rohani. Kedua pendampingan ini memberikan kekuatan dan ketenangan bagi penderita. Pendampingan manusia meliputi perawatan dan ada bersama penderita. Perhatian seperti ini merupakan kekuatan yang nyata bagi penderita. Pendampingan lain yang ialah pendampingan rohani. Pendampingan seperti ini menguatkan batin penderita. Dia perlu diingatkan bahwa bagi orang beriman, penderitaan merupakan bentuk konkret partisipasi dalam penderitaan Kristus. Selain itu, mendoakan dan menghibur dia. Doa membantu penderita untuk menghadapi semuanya dalam iman dan menguatkan imannya. Dengan demikian dia menghadapi dengan ketenangan batin yang mendalam.

Kita sudah menyimak beberapa pendapat Gereja berkaitan dengan euthanasia. Apa pun alasannya, euthanasia tidak dibenarkan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai agar manusia bertindak dan berbuat yang benar seperti nasihat Injil dan Gereja-Nya. Euthanasia adalah pembunuhan. Pembunuhan adalah dosa berat. Maka siapa yang membunuh akan dihadapkan pada pengadilan, baik di dunia ini, terlebih lagi pada pengadilan terakhir. Setiap perbuatan jahat ganjarannya ialah hukuman. Apa yang diserukan Gereja mestinya membuka mata dan hati manusia. Manusia hidup hanya sementara. Supaya berkenan pada Allah perlu hidup dalam kebenaran, kebaikan dan hormat terhadap sesama. “Manusia dipanggil kepada kepenuhan hidup, yang jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia, sebab terdiri dari partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri” (EV. 2).

Pertanyaan sharing untuk Contoh-Contoh Kasus

Berikut ini adalah contoh beberapa kasus yang diambil dari website Katolisitas yang disampaikan oleh pembaca Katolisitas:

Case 1

Seorang pasien di ICU karena stroke, dan mengalami koma. Biaya di ICU yang mencapai sekitar 6 juta per hari sangat membebani keluarga sederhana itu. Sedangkan kondisi koma sudah berlangsung 2 minggu tanpa batas waktu. Akhirnya karena biaya yang sudah sangat tinggi dan tidak tertanggungkan lagi, keluarga mencabut seluruh alat bantu di tubuh pasien dan pasien tersebut dibawa pulang. Akibatnya sudah bisa dipastikan, pasien meninggal tak lama setelah alat bantu pernafasan dicabut. Sharingkan pendapat kalian!

Tanggapan kami

Perihal pasien yang dirawat di ICU dan koma dengan biaya sangat besar, tanpa batas waktu dengan segala alat bantu: Jika para dokter yang menanganinyapun tidak dapat menjamin bahwa alat bantu tersebut dapat berguna bagi pemulihan pasien, maka dapat dikatakan bahwa segala treatment tersebut sudah tidak lagi proporsional dengan hasil yang diharapkan. Dalam hal ini, keluarga berhak dengan hati nurani mereka untuk menolak melanjutkan penanganan di ICU; namun selayaknya tetap memberikan makanan dan air sebagai syarat minimum bagi kehidupan manusia (infus makanan dan air tidak boleh dicabut). Sehingga sekalipun sampai pasien itu wafat, ia wafat dalam keadaan wajar.

Case 2

Seorang manula berusia di atas 75 tahun, dengan kondisi baru terkena serangan jantung, gejala stroke, kondisi ginjal sangat buruk. Dirawat di ICU selama 1 bulan, dengan biaya yang luar biasa besar. Alat bantu pernafasan (ventilator) dan suntikan vascon (meningkatkan tekanan darah) tak pernah lepas. Kondisi pasien up and down, kadang setengah sadar kadang tidak sadar. Ketika kondisi memburuk, terjadi perbedaan pendapat antara para dokter, satu pihak akan melakukan HD (Hemodialysis)/ cuci darah, pendapat lain menyarankan untuk tidak melakukan tindakan agresif. Akhirnya keluarga tidak melakukan HD, dan hanya berselang 4 hari sejak keputusan menolak HD, kondisi pasien memburuk dengan cepat dan akhirnya meninggal. Sharingkan pendapat kalian!

Tanggapan kami

Serupa dengan kasus sebelumnya, walaupun memang mungkin masih dapat didiskusikan, terutama, jika menurut dokter terdapat kemungkinan pemulihan melalui HD. Namun sepanjang pengetahuan kami, begitu dilakukan HD, kemungkinan besar hidup pasien tersebut selamanya akan tergantung dari HD, dan dengan demikian menjadi cara prolongation of life, yang melibatkan ketergantungan dan beban yang besar, tidak saja bagi keluarga, tetapi juga bagi pasien tersebut, mengingat usianya yang sudah lanjut. Maka dalam kondisi ini jika sampai pasien tersebut ataupun keluarganya memutuskan untuk tidak melakukan HD, juga keputusan tersebut dapat dibenarkan secara moral. Lain halnya jika secara medis, dokter masih melihat kemungkinan pemulihan lewat HD, dan keluarganya mampu membiayai. Jika demikian kasusnya, maka kemungkinan tersebut sesungguhnya dapat dan layak dicoba.

Sebagai kesimpulan, penjelasan diatas tidak bisa digereneralisasi, tergantung dari masing-masing bisa berbeda latar belakangnya. Akhirnya harap diingat bahwa dalam keadaan apapun yang terpenting adalah mengusahakan perawatan/ pertolongan terhadap pasien sebaik mungkin. Jika semua treatment sudah dilakukan namun kondisi pasien terus memburuk, maka memang akhirnya harus diterima bahwa sakit penyakitnya itu kemungkinan tidak dapat tertolong; dan ia sedang menjelang ajal.

Yang terpenting proses tersebut jangan sampai terjadi dengan tidak normal, misalnya disengaja (dengan maksud agar lebih ‘lekas’ mati), seperti yang banyak terjadi di negara maju, entah dengan suntikan atau dengan mencabut infus makanan dan air. Euthanasia semacam ini sungguh bertentangan dengan ajaran iman Katolik, karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Namun, penolakan akan treatment yang berlebihan, seperti yang telah disebutkan di atas, tidak termasuk katagori euthanasia. Dalam hal ini, segala kemungkinan perlu didiskusikan dengan para tim medis dan keluarga pasien tersebut.

Alasan Euthanasia tidak karena manusia, bukan Tuhan, tidak berhak menghentikan / mencabut kehidupan. Contoh kasus apabila ada / mendapatkan:

  1. Sebelum memasang alat bantu, Pastikan kemampuan keuangan, karena sekali terpasang sangat tidak diperkenankan dicabut.
  2. Sebelum memutuskan dicabut, sampaikan kepada Dokter untuk mendapatkan pengobatan / life support yang minimal (ordinary, bukan extra-ordinary).

Pertanyaan

  1. Pernahkah kalian berada dalam situasi atau pernah mendengar orang lain yang melakukan Euthanasia? Sharingkan pengalaman kalian dan apa pendapat kalian dalam situasi tersebut!
  2. Sebelum membahas dan membaca bahan ini, apa yang kalian ketahui tentang Euthanasia? Sharingkan! Dan setelah membaca bahan ini, bagaimana pendapat kalian tentang Euthanasia?

Reference