Sesi 11 - Week of 8 November 2021

End of Life Issues


Intro

Pada dasarnya banyak dari kita yang tidak suka membicarakan tentang kematian. Di jaman modern sekarang ini, kematian dianggap bukanlah sesuatu yang sopan untuk diperbincangkan, malah terkadang sering dianggap tabu untuk dibicarakan. Padahal di dalam kehidupan duniawi kita ini, ada 1 hal yang pasti terjadi, yaitu kematian. Tapi mengapakah kita jarang atau hampir tidak pernah berbincang tentang end of life issue? Apakah karena hal tersebut terlalu asing untuk kita? Di CG hari ini kita mau belajar beberapa poin yang dapat memperluas wawasan kita akan hal tersebut.

Main Topic

Bahan hari ini akan dibawakan dalam bentuk QnA.

We all have freedom of choice. If someone finds life intolerable, why shouldn’t he be allowed to kill himself ? — even if it means getting someone to help.

Dari perspektif Kristiani, suicide atau bunuh diri adalah pelanggaran berat terhadap cinta kasih atas diri sendiri (proper love of self) dan juga merupakan tindakan yang menghancurkan relasi kasih dan solidaritas kita terhadap keluarga, teman dan Tuhan. (bdk CCC 2281) Hidup kita bukanlah milik kita sendiri, melainkan milik Tuhan. Dengan begitu kita punya tugas mulia untuk menjaga hidup kita ini dengan baik.

Ada juga alasan non-religius lain, mengapa kita harus menolak legalitas suicide atau untuk memperbolehkan orang lain untuk membantu dalam proses suicide tersebut. Tidak hanya hal tersebut membuat suicide menjadi lebih mudah diterima masyarakat, tetapi juga membuat hal tersebut menjadi masalah yang sistematik.

Kita harus juga mempertimbangkan situasi seperti dalam contoh ini : seseorang yang sedang mengalami sakit berat seperti kanker stadium 4, pada suatu hari dia akan merasa putus asa, dan pada hari lainnya dia merasa semangat sekali untuk berjuang untuk hidup. Memberikan opsi untuk bunuh diri kepada orang yang demikian di saat dia lagi merasa putus asa adalah hal yang sangat berbahaya. Apakah dengan begitu kita masih dapat mengatakan bahwa orang tersebut memiliki freedom of choice? Di mana dia dapat mengambil keputusan dengan baik dan jernih pikirannya.

Kita harus ingat bahwa keputusan salah yang diambil dalam contoh ini (suicide), hanya akan terjadi sekali saja dan tidak dapat terulang lagi.

But what if a person is in unbearable pain?

Maka orang tersebut perlu semua support, bantuan dan compassion dari kita !! Mengiyakan dan membenarkan keputusan untuk mengakhiri hidupnya, hanya akan membuat orang tersebut lebih menderita, seakan-akan hidupnya itu tidak berharga.

Kita sebagai umat Kristiani, percaya akan Tuhan yang berinkarnasi menjadi manusia, MENDERITA dan bahkan MATI untuk keselamatan dunia. Kristus tidak datang dan menghindari penderitaan, atau untuk mengambil penderitaan kita.

Kita akan menderita! Kristus sendiri mengatakan kalau siapa saja yang mau mengikuti Dia harus memikul salib. Santo Paulus di suratnya kepada jemaat di Kolose mengatakan bahwa kita dapat mempersembahkan penderitaan kita dan menyatukannya dengan penderitaan Kristus.

Jadi penderitaan kita dapat menjadi berkat, tapi tidak hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain disekitar kita yang melihat “our faithful endurance.”

Kata “compassion” secara harafiah berarti “to suffer with”. Jadi kita tidak melakukan compassion, sampai kita sungguh-sungguh bisa “menderita” bersama orang tersebut. Apakah yang bisa kita lakukan? Cth: Dapatkah kamu menemani orang tersebut ke appointment dokter? Dapatkah kamu bersama-sama dia melewati malam yang sepi dan melewati saat-saat keputusasaan dia? Dapatkah kamu membantu mengurus urusan rumahnya ketika dia di rumah sakit?

We have all become so consumed with the busyness of our own lives that we don’t have time to bear one another’s burden.

At what point should medical treatment be removed from a patient? Do I have to be kept alive by machine?

Pemikiran bahwa kita mempunyai kewajiban moral untuk melakukan segala cara (over treatment) untuk mempertahankan hidup seseorang yang sedang sakit adalah pemahaman yang salah akan ajaran Katolik ataupun praktik medis yang baik.

Seseorang memiliki kewajiban moral untuk menggunakan cara/metode yang biasa atau sesuai dengan situasi untuk mempertahankan hidupnya. Cara/metode yang sesuai dengan situasi disini maksudnya adalah cara/metode ini memberikan harapan bahwa kondisi bisa membaik dan tidak akan membebankan keluarga atau masyarakat dengan biaya yang terlalu berlebihan.

Jadi Gereja mengajarkan kita untuk mengambil keputusan dengan bijaksana, setelah mempertimbangkan apakah metode perawatan yang akan dilakukan memberikan lebih banyak manfaat daripada beban. Walau begitu, setiap orang mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagi dirinya sendiri seberapa jauh dia mau berusaha untuk mempertahankan hidupnya sampai pada titik di mana dia merasa “enough is enough”.

Contohnya: jika seseorang yang menderita kanker stadium akhir diberikan pilihan untuk melakukan kemoterapi yang biayanya sangat mahal tetapi kemoterapi ini tidak dapat menyembuhkan kankernya, hanya memperpanjang hidupnya selama beberapa bulan, maka tidak salah jika orang tersebut menolak untuk melakukan perawatan ini.

Prinsip di atas juga berlaku ketika kita harus mengambil keputusan apakah akan menghentikan perawatan medis untuk seseorang yang hidupnya sudah bergantung dengan itu. Memang sebisa mungkin kita mau melanjutkan perawatan tersebut. Akan tetapi, terkadang ada kondisi tertentu di mana setelah dibandingkan antara manfaat dan beban yang didapat dari perawatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perawatan itu tidak akan membuat orang yang sakit itu sembuh dan dapat hidup tanpa alat tersebut. Ketika harus memilih, pilihlah yang terbaik di antara yang buruk. Dalam situasi seperti ini, perawatan bisa dilanjutkan secara minimal di mana peralatan kesehatan yang sudah dipasang dan vital tidak boleh dicabut, tetapi perawatan/alat-alat tambahan lainnya boleh dihentikan.

Tetapi ketika kita melakukan analisa antara manfaat dan beban dari suatu perawatan, baik bagi orang yang sakit ataupun bagi keluarganya, kita harus berhati-hati agar tidak jatuh dalam pemikiran bahwa kesembuhan itu harus 100% seperti sebelum penyakit itu datang. Kesembuhan yang moderate sudah cukup menjadi dasar keputusan kita untuk melanjutkan perawatan karena manfaat yang didapat lebih besar dari bebannya, jangan sampai mengambil keputusan karena tidak mau mengeluarkan biaya.

Kita harus jujur dengan motivasi dan kondisi kita dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan perawatan. Dan juga kita harus mempertimbangkang kemajuan dunia medis, di mana perawatan yang dulu mungkin dianggap extraordinary (misalnya cuci ginjal atau jenis operasi tertentu), sekarang sudah menjadi jenis perawatan yang standar/biasa dan biayanya mungkin tidak semahal dulu.

What practical things: should I be doing to prepare my own death?

Ada beberapa hal yang disarankan oleh Jason Negri:

Have the crucial conversation with your loved ones regarding end-of-life medical care and life-sustaining treatment.

Terlalu sering bahwa topik ini tidak dibahas sama sekali, sehingga keluarga kita tidak bisa membuat keputusan karena tidak ada panduan atau kepastian pada saat waktunya tiba. Komunikasikanlah secara jelas keinginan kita tentang perawatan medis apa yang kita mau atau tidak mau.

Think about becoming an organ donor.

Paus St. Yohanes Paulus II menulis di Evangelium Vitae: “There is an everyday heroism, made up of gestures of sharing, big or small, which build up an authentic culture of life. A particularly praiseworthy example of such a gesture is the donation of organs, performed in an ethically acceptable manner, with a view to offering a chance of health and even of life itself to the sick who sometimes have no other hope.”

Di Singapore, pada tahun 2017 ada 400 pasien yang menunggu donasi organ. Memberikan organ kita dengan murah hati untuk membantu seseorang yang membutuhkan sangatlah terpuji. Untungnya untuk kita yang berada di Singapore, semua Singapore citizen dan permanent resident berumur 21 ke atas otomatis termasuk di dalam HOTA (Human Organ Transplant Act), di mana jika seseorang meninggal di rumah sakit, organ-organ spesifik akan didonasikan untuk pasien yang memerlukan.

Get life insurance.

Terutama jika kamu adalah satu-satunya pencari nafkah di keluarga, kamu sebaiknya pertimbangkan asuransi jiwa untuk memberikan pendapatan untuk keluargamu saat kamu sudah tidak ada lagi. Atau jika kamu memiliki anak kecil, kamu juga bisa mempertimbangkan apakah pasanganmu yang kamu tinggalkan butuh memperkerjakan seseorang untuk menggantikan peranmu dalam menjaga anak kalian. Juga berhati-hatilah, karena upacara pemakaman adalah sebuah biaya. Bahkan sebuah polis yang minim untuk menutup biaya-biaya ini adalah sebuah keputusan yang bijaksana. Bahaslah hal ini dengan keluargamu, jika perlu pekerjaan seorang profesional dibidang ini untuk membantumu.

Make it easy on your heirs.

Mungkin semua urusan di atas sudah beres (estate planning, surat wasiat, asuransi jiwa, persiapan pemakaman, dll.), dan sistem ini masuk akal untukmu, tetapi akankah keluargamu bisa mengerti dan melaksanakannya dengan mudah? Apakah semua dokumen lengkap di satu tempat? Adakah daftar simpel tentang semua asetmu? Jika semua hal ini diletakkan di safe deposit box, bisakah keluargamu mengaksesnya?

Write a letter to your loved ones.

Kata-kata terakhir yang bijaksana dan penuh cinta bisa menjadi senjata ampuh untuk perdamaian, penyembuhan, dan sesuatu yang akan sangat dihargai keluargamu. Kamu mau meninggalkan kenangan yang abadi? Tuliskan hal itu.

Kesimpulan

Hidup kita adalah pemberian Tuhan, dan adalah hak serta kewajiban kita untuk memastikan bahwa hidup kita ini tidak kita serahkan dengan mudah. Tetapi, kita juga harus tahu di mana batas yang sehat dalam mempertahankan hidup kita. Kita juga harus mempersiapkan beberapa hal praktikal untuk tidak mempersulit keluarga yang kita tinggalkan. Jika di antara kita ada keraguan dalam mengambil keputusan medis yang sesuai dengan ajaran Katolik dapat menghubungi Catholic Medical Guild of Singapore (CMG) (http://www.cmg.org.sg/contact-us/)

Pertanyaan Sharing

  1. Pernahkah kamu kehilangan orang terdekat atau orang yang kamu cintai karena suatu penyakit? Sharingkan pengalamanmu di saat itu dan bagaimanakah kamu melewati masa-masa duka tersebut.
  2. Jika kamu berada dalam situasi di mana kamu harus memutuskan apakah akan melanjutkan perawatan atau tidak (baik untuk diri sendiri atau untuk anggota keluarga di mana kamu adalah guardian-nya), apa yang akan menjadi dasar pertimbanganmu?
  3. Dari hal-hal praktikal yang disarankan Jason Negri, menurutmu hal manakah yang paling penting? Kapan kita harus mulai mempersiapkannya? Sharingkan!

Reference