Sesi 9 - Week of 11 Nov 2018

Catholic Morality vs Dualism


Intro

Minggu lalu kita belajar bagaimana iman Katolik di zaman sekarang ini terancam dengan teori ‘relativism’ yang mengajarkan bahwa tidak ada hal yang absolute (baik atau buruk) karena semuanya tergantung/relatif pandangan masing-masing orang. Dalam CG minggu ini, kita akan membahas satu teori lagi yang juga bertentangan dengan iman Katolik, yaitu tentang ‘dualism’. Semoga dengan mempelajari teori-teori ini kita sebagai anak-anak Allah menjadi lebih peka terhadap situasi di sekitar kita dan bisa membantu mengajarkan kebenaran.

Apakah teori ‘dualism’ itu?

Dualism adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi, materi (tubuh, raga) dan rohani (jiwa, pikiran, perasaan), dimana keduanya bebas berdiri sendiri. Gagasan tentang dualism jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles, dan berhubungan dengan spekulasi tentang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa kecerdasan seseorang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Versi dualism yang dikenal secara umum saat ini diterapkan oleh Rene Descartes yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi non-fisik, bahwa pikiran tidak sama dengan otak dan pikiranlah yang menjadi tempat kecerdasan. Hakekat rohani dianggap lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan hakekat materi.

 

Bagaimana ajaran gereja Katolik tentang jiwa dan raga?

Menurut gereja Katolik, manusia terdiri dari jiwa, raga dan roh, yang adalah satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Mari kita baca penjelasan dalam CCC berikut:

“BODY AND SOUL BUT TRULY ONE”

[table “” not found /]

Mengapa kita sebagai orang Katolik harus menentang ajaran dualism?

Ajaran dualism sangat berpengaruh pada budaya dunia saat ini yang berfokus pada pandangan moral liberal. Manusia mementingkan pikiran (intellectual) dan perasaan (emotional), sementara tubuh dianggap tidak penting dan hanya sebatas kerangka (shell). Tubuh bisa dipakai dengan seenaknya dan dirubah sesuka hati karena yang penting adalah pikiran dan perasaan.

 

Lalu apa yang salah dengan ajaran dualism ini?

  • Ketika mahluk hidup tidak bisa berpikir atau tidak bisa merasakan, maka dia bukan manusia. Embrio adalah mahluk hidup tapi bukan manusia, karena itu tidak ada salahnya jika embrio diproduksi untuk penelitian dan lalu dibuang. Sama halnya dengan orang tua yang menderita dementia, atau orang yang sedang koma. Mereka sudah tidak bisa lagi menggunakan pikiran mereka, jadi mengakhiri hidup mereka bukanlah suatu hal yang salah. Lalu aborsi dan euthanasia menjadi legal dan hak bagi manusia.

 

  • Tubuh manusia hanya sebuah instrument, yang penting apa yang dirasakan dan dipikirkan. Hubungan seksual sebelum menikah sah-sah saja asalkan keduanya sama-sama mau. Dalam pernikahan, yang penting suami dan istri menikmati hubungan seksual, tidak harus dengan tujuan untuk mempunyai keturunan. Bahkan dalam pernikahan, jika suami dan istri tidak mau berhubungan seksual juga boleh saja, ini keinginan masing-masing. Jika suami/istri sudah merasa tidak cocok, bisa mengajukan cerai dan mencari yang lain. Lalu pernikahan tidak lagi dianggap sesuatu yang suci, dimana pria dan wanita memberikan diri secara total, bebas, berjanji untuk setia satu sama lain dan mempunyai keturunan. Kontrasepsi dan perceraian dianggap suatu hal yang wajar, demikian juga dengan bayi tabung dan surogasi.

 

  • Apa yang ada dalam pikiran adalah yang benar. Jika seorang laki-laki berpikir bahwa dirinya adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki, maka dia berhak untuk dianggap sebagai perempuan. Dia juga berhak untuk melakukan operasi untuk mengganti organnya. Jika dia ingin menjalin hubungan dengan laki-laki lain, itu wajar saja. Perasaan tidak tergantung pada tubuh. Lalu LGBT menjadi suatu hal yang normal, yang harus diakui dan diterima oleh masyarakat, kalau tidak dituduh diskriminasi.

 

Apa yang harus kita ketahui sebagai umat Katolik?      

Gereja Katolik sudah menentang ajaran dualism ini sejak dari abad ke-2. Santo Irenaeus dalam bukunya Adversus Haereses (Against Heresies) sangat menentang doktrin gnosticism yang merupakan akar dari dualism. Dia mengajarkan bahwa manusia bukan mahluk spiritual yang terpisah dari badannya. Santo Irenaeus mengutip rasul Paulus: “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:9-10). Maka dari itu, sangat penting bagi umat Katolik untuk percaya bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang lahir dalam tubuh manusia, disalibkan untuk menebus dosa manusia lalu bangkit jiwa dan raganya. Allah yang sama juga hadir dalam rupa roti, anggur, air, dan minyak (yang merupakan bentuk material untuk menunjukkan kehadiran Allah dalam sakramen Gereja).

Ketika kita mendoakan Syahadat ‘Aku Percaya’, kita diingatkan akan usaha Gereja Perdana menentang ajaran gnosticism. Kita percaya bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi, dan bahwa Yesus dilahirkan oleh Perawan Maria, menderita sengsara, disalibkan, wafat, dan bangkit dari antara orang mati. Kita juga percaya akan kebangkitan badan.

Bagi umat Katolik, sangat penting untuk kita percaya bahwa jiwa, raga dan roh adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan mengetahui bahayanya ajaran dualism, kita bisa membantu mengajarkan hal yang benar, khususnya kepada generasi muda yang sangat gampang dipengaruhi oleh budaya liberal zaman sekarang. Bahan ini juga menjadi perenungan kita, apakah kita mungkin sudah terpengaruh oleh ide dualism ini tanpa kita sadari dan bagaimana kita bisa kembali kepada ajaran yang benar?

Paus Fransiskus juga menentang dualism, seperti tertulis dalam artikel di bawah ini:

Pope Francis: Every violation of the body is an ‘outrage’ to God

On Sunday Pope Francis issued a moving prayer for all those whose bodies have been hurt or exploited, including those who have suffered abuse and those who are sick, pointing to the high-profile cases of Alfie Evans and Vincent Lambert.

“Every offense or wound or violence against the body of our neighbor is an outrage to God the creator,” the pope said April 15, pointing to the children, women and elderly “who are mistreated in the body. In the flesh of these people we find the flesh of Christ.”

“Mocked, slandered, humiliated, scourged, crucified, Jesus taught us love. A love which, in its resurrection, has shown itself as stronger than sin and death, and wants to redeem all those who experience in their own flesh the slavery of our times.”

He noted how when Jesus appears to the disciples in the day’s Gospel reading from Luke, at first they think he is a ghost. “But the Risen Jesus is not a ghost, he is a man with body and spirit,” and he shows the disciples this by eating a fish, the pope said.

Speaking directly about the body, Francis said the resurrection brings to light the Christian perspective about the body, which he said “is not an obstacle or a prison for the soul,” but is a gift created by God, and as such, “man is not complete if he is not a union of body and soul.”

The fact that Jesus rose from the dead in body and spirit means Christians should have a positive idea about the body, he said, noting that while the body can become an occasion for sin resulting from our “moral weakness,” it is also a “marvelous gift” that reflects our likeness to God.

He made an appeal for pilgrims to pray for “the people, such as Vincent Lambert in France, little Alfie Evans in England, and others in different countries who live, at times for a long period, in a serious state of illness, medically assisted for their basic needs.”

The reference was to two specific cases currently circulating in the international news cycle. Alfie Evans, 23 months, suffers from an unidentified degenerative neurological condition, has been under continuous hospitalization since December 2016. In February, the court ruled that Alder Hey Children’s Hospital, where Evans is receiving care, could legally stop treatment for Alfie against his parent’s wishes, arguing that continuing treatment is not in his best interest, and that his life support should be switched off.

Despite the desire for Alfie’s parents, Kate James and Tom Evans, to take their son to Bambino Gesu hospital in Rome, several judges have ruled in the hospital’s favor. The case has drawn international attention, and protesters gathered outside the Liverpool hospital Thursday and Friday to peacefully oppose the decision.

Evans and James recently launched a new legal challenge, asking the Court of Appeal judges to continue life support and treatment for Alfie. The court officials posted their hearing for Monday, saying that a court judge has decided that Alfie could continue treatment, pending the hearing.

In the case of Vincent Lambert, a severely disabled Frenchman without a terminal illness, courts have decided that the Sebastopol Hospital in Reims can remove Lambert’s food and water April 19. Lambert suffered severe head injuries after a tragic car accident in 2008, and as a result has been a quadriplegic and severely disabled for 10 years. Yet despite his injuries, other doctors and his parents have insisted that Lambert is not sick, nor is he in a coma. They argue that he breathes unassisted and his internal organs function normally. However, despite these arguments, the hospital ruled that continuing to feed and hydrate Lambert constituted “unreasonable obstinacy” toward him, and said that his feeding tubes ought to be shut off.

These and similar cases “delicate situations, very painful and complex,” Francis said, and asked faithful to pray with him that every person who is sick would “always be respected in their dignity and cared for in a way suited to their condition, with the consent of family members, and of other healthcare workers.”

… (for full article, refer to link below)

Vatican City, Apr 15, 2018 / 04:55 am (CNA/EWTN News).

Sharing

  1. Apa pendapatmu tentang ajaran dualism? Apakah bisa tubuh dipisahkan dari jiwa?
  2. Apakah kamu melihat tubuhmu sebagai hadiah yang berharga dari Tuhan? Apakah pernah terpikir untuk merubah bagian dari tubuhmu misalnya dengan operasi plastik?
  3. Apakah kamu pernah menghadapi orang atau berada dalam situasi yang pro-dualism (misalnya pendukung aborsi, kontrasepsi, euthanasia, LGBT, dsb)? Apa yang kamu lakukan dalam situasi tersebut?
  4. Berikan pendapat dan pilihan-mu dalam salah satu kasus diatas (Alfie Evans atau Vincent Lambert). Sharing dan jelaskan.

Referensi