Siap Mati


Sebelum memulai CG, mari kita bersama-sama tonton video YouTube ini

Intro

Sudah siap mati? “Wah nanti dulu boss!”

Mungkin itulah jawaban dari kebanyakan dari kita. Kematian adalah suatu subjek yang dianggap tabu dan tidak layak dibahas. Padahal bagi umat Katolik, kematian adalah bagian yang sangat penting dari iman kita. KGK 1006: “Di hadapan mautlah teka-teki kenyataan manusia mencapai puncaknya”.

Fr Henri Nouwen, salah satu penulis gereja berkata “Dying is the most general human event, something we all have to do.” Kematian badani itu sifatnya alami. Semua manusia suatu hari pasti akan mati secara badani. Ini bukan berarti kita harus berserah begitu saja. Dalam CG hari ini, kita akan membahas bagaimana kita dapat mempersiapkan kematian kita secara praktikal.

Kenapa takut mati?

Sebenarnya, sangat natural bagi manusia untuk merasa takut akan kematian karena pada awalnya kita tidak seharusnya mati. Jika kita kembali ke awal mula Allah menciptakan manusia, kita akan melihat bahwa manusia ditakdirkan untuk hidup selamanya. Kemudian iblis/setan masuk ke dalam dunia ini, dan bersama dengannya masuk pula kematian. St. Paulus sendiri menjelaskan di dalam Roma 6:23 “Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Kematian adalah akibat dari dosa yang harus ditanggung manusia sampai detik ini.

Karena ketakutan akan maut, banyak manusia berkecimpung di dunia perobatan dan teknologi untuk membantu menciptakan obat dan remedi yang memperpanjang umur manusia. Pada tahun 1915, kebanyakan orang tidak hidup melebihi umur 55 tahun, tetapi coba bandingkan dengan zaman sekarang. Di tahun 2021, ekspektasi hidup orang di Singapura adalah sekitar 83 tahun. Banyak manusia terus melakukan cara untuk memperpanjang kehidupan kita di dunia ini, seolah-olah kematian merupakan sesuatu yang buruk yang harus kita hindari.

Tradisi dan kultur juga sering menganggap diskusi mengenai kematian sebagai hal tabu yang tidak seharusnya dibahas dalam keluarga. Hal ini malah membuat banyak dari kita merasa tidak siap saat kematian datang mendekat, baik kepada kita maupun kepada orang yang kita sayangi.

Selain itu, pandemi ini tentu membuat kita menjadi lebih sering mendengar kabar duka tentang kematian, baik dari orang yang kita kenal maupun dari berita-berita setiap harinya. Padahal sebelum pandemik ini, mungkin kita tidak begitu sering berpikir soal kematian. Kebanyakan dari kita mungkin berpikir kematian hanya menjadi urusan kita saat kita tua nantinya.

Meskipun natural bagi kita untuk merasa takut, bukan berarti kita harus selalu merasa takut. Sebagai orang Katolik yang telah dibaptis, tidak ada lagi kematian di dalam hidup kita. Di dalam Roma 6:3-4, St. Paulus mengatakan, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Tuhan telah mengalahkan kematian dengan kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya. Dari sudut pandang Katolik, kematian berarti pulang ke rumah Bapa, rumah yang jauh lebih nyaman, indah, dan dimana kita dinantikan oleh para orang kudus. Jadi sudah sepatutnya kita pun tidak perlu merasa takut.

Persiapan Mati

What if people approach death with the same joy that they greet the birth of a new baby?

Ini adalah analogi yang cocok karena kedua proses ini “hidup dan mati” adalah momen natural dari kehidupan manusia yang akan dialami oleh semua makhluk hidup. Keduanya pun adalah sebuah awal dari sesuatu yang baru. Pada saat kita lahir, kita memulai hidup kita di dunia ini. Pada saat kita mati, kita pun memulai hidup kita di alam baka.

Seringkali kita mempersiapkan kelahiran seorang anak bahkan dari berbulan-bulan sebelumnya karena kita sudah tahu kira-kira kapan sang anak itu akan lahir. Tapi kematian berbeda. Kita tidak tahu kapan kita akan mati. Justru karena itu, kita seharusnya mempersiapkan kematian secara serius juga.

Ada beberapa tips praktis dalam mempersiapkan kematian:

Diskusikan dengan keluarga

Tanpa perencanaan, orang yang kita sayangi mungkin tidak mengetahui preferensi kita untuk perawatan, keuangan, atau persiapan pemakaman. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan yang bertentangan di antara anggota keluarga kita. Ketika kita merasa nyaman berbicara tentang kematian, kita bisa memberi tahu orang yang kita sayangi dan percayai apa keinginan kita, sehingga mudah-mudahan keinginan kita bisa dituruti. Perencanaan yang matang termasuk memberikan arahan-arahan sejak awal dan penetapan surat kuasa yang dapat membantu untuk membuat keputusan medis ataupun keuangan atas nama kita jika kita tidak dapat melakukannya.

Di Singapura, ada juga yang namanya Advance Medical Directive (AMD) atau “living will”. AMD adalah dokumen legal yang memberitahu dokter untuk tidak menggunakan alat luar biasa untuk memperpanjang hidup kita di dalam keadaan sangat kritis (terminal illness), jika kita tidak sadar atau jika tidak bisa membuat keputusan. Mengapa AMD tidak disarankan? Karena dokumen ini bisa dengan mudah salah diinterpretasi. Lebih baik kita menunjuk orang yang dapat kita percaya dan diskusikan hal ini sejak awal.

Warisan

Sebagai orang Katolik, kita dipanggil untuk mengelola pemberian Tuhan dengan penuh rasa syukur, membagikannya dengan murah hati, dan mengembalikannya dengan lebih banyak. Membuat surat wasiat memungkinkan kita untuk melindungi pekerjaan hidup kita dan berkat-berkat yang telah Tuhan berikan kepada kita supaya ini dapat mendukung nilai-nilai kehidupan kita, orang-orang yang kita kasihi, dan tujuan-tujuan yang dekat dengan hati kita, bahkan setelah kita meninggal.

Alasan paling penting kenapa kita harus mempersiapkan surat wasiat adalah untuk memberikan kita suara bagaimana aset kita akan didistribusikan saat kita meninggal. Banyak orang berpikir bahwa begitu kita meninggal, harta kita secara otomatis diberikan ke keluarga kita, tetapi sebenarnya ini belum tentu. Jika kita tidak memiliki surat wasiat, harta kita bisa saja dibagikan dengan cara lain yang tidak kita inginkan. Sebagai tambahan sebuah surat wasiat, beberapa orang juga mempersiapkan trust sebagai sarana untuk menyimpan aset dan mendistribusikan nya setelah kematian. Konsultasikan dengan seorang estate planner professional untuk arahan mengenai aset-aset kita.

Seringkali, orang memilih untuk memberikan sisa harta mereka kepada Gereja pilihan mereka atau ke organisasi amal yang dekat dengan hati dan iman mereka sebagai bagian dari warisan abadi mereka. Tanpa donasi warisan seperti ini, karya para Orang Suci seperti Biara yang didirikan St Teresa dari Avila di Spanyol, dan Sisters of Mercy yang didirikan oleh Catherine McAuley tidak akan mungkin terjadi.

Tempat peristirahatan

Dengan mengubur jenazah orang beriman, Gereja meneguhkan iman dan kepercayaannya akan kebangkitan tubuh. Penguburan jenazah juga menyoroti bagaimana martabat agung tubuh manusia merupakan bagian integral dari pribadi manusia, dan bahwa tubuh merupakan bagian dari identitas manusia. Penguburan, menurut Gereja Katolik, adalah cara terbaik untuk menunjukkan “penghargaan” untuk orang yang telah berpulang.

Gereja Katolik juga mengizinkan kremasi. Menurut pedoman baru dari doktrin Vatikan, jenazah yang dikremasi harus disimpan di “tempat suci” seperti pemakaman gereja. Abu tidak boleh dibagi di antara anggota keluarga, juga tidak boleh disimpan dalam perhiasan atau benda lain sebagai bentuk kenang-kenangan. Vatikan khawatir bahwa praktik penebaran abu di laut atau tempat lainnya seringkali melibatkan gagasan yang salah tentang kematian. Gagasan ini mulai dari unsur nihilistik hingga New Age, dari keyakinan bahwa kematian adalah akhir definitif dari kehidupan manusia hingga gagasan bahwa tubuh kita bersatu dengan alam atau memasuki siklus kelahiran kembali. Yang diperbolehkan dalam Gereja Katolik adalah untuk abunya diletakkan ke dalam wadah atau kendi dan ditenggelamkan ke dasar laut.

Dengan melarang penebaran abu di sembarang tempat, Gereja Katolik ingin mengecam pemahaman masyarakat modern yang semakin sekuler tentang kehidupan setelah kematian atau yang menjadikan orang yang meninggal sebagai kenang-kenangan untuk yang masih hidup. Seharusnya orang yang telah meninggal dihargai seperti sebuah kuil yang dibuat menurut gambar dan rupa Tuhan. Di Singapura pada umumnya abu akan diletakkan di dalam rumah abu (columbarium).

Selain tips praktikal di atas, yang paling penting adalah mempersiapkan rohani kita agar kita siap mati dengan baik. Bagi umat Katolik, persiapan rohani dalam menghadapi kematian salah satunya adalah dalam bentuk sakramen.

  • Sakramen Pengampunan Dosa adalah salah satu sakramen terpenting dalam hal ini, terutama untuk mereka yang sudah mendekati ajal. Dalam sakramen ini kita diberi kesempatan untuk berdamai dengan Tuhan serta menerima pengampunan dan kesembuhan. Tidak hanya berdamai dengan Tuhan, sakramen ini juga membantu kita untuk berdamai dengan masa lalu kita dan memperbaiki hubungan kita dengan orang lain. Apabila kematian sudah sangat dekat, Pastor juga bisa memberikan “Apostolic Pardon”, sebuah berkat istimewa yang diiringi dengan kutipan doa berikut: “May God open to you the gates of paradise and welcome you to everlasting joy.”
  • Sakramen Pengurapan Orang Sakit bisa dicari oleh mereka yang merasa mereka berada dalam ancaman kematian karena sakit atau umur.Sakramen ini boleh diterima berkali-kali, jadi kita tidak usah merasa takut untuk menerima sakramen ini dan lalu nantinya sembuh. Sakramen ini menyatukan kita dengan kisah sengsara Yesus, untuk kebaikan kita dan juga seluruh gereja. Jika Tuhan berkenan, sakramen ini bisa membawa kesembuhan dan juga mempersiapkan jiwa kita untuk kehidupan yang kekal. Terlebih lagi, sakramen ini dapat mengampuni dosa kita apabila sakramen pengampunan dosa tidak bisa dilakukan. Hubungi Pastor di paroki kita apabila membutuhkan sakramen ini di rumah ataupun di rumah sakit.
  • Sakramen Ekaristi juga boleh diterima menjelang akhir hidup sebagai “viaticum” (“with you on the way”). Sakramen ini pun boleh diterima berkali-kali bagi mereka yang sakit dan menjelang ajal. “Viaticum” adalah bekal untuk perjalanan kita ke alam berikutnya. Kristus menyertai kita dengan harapan akan kebangkitan. Pada jaman Romawi, istilah viaticum sering diberikan kepada makanan atau uang yang akan dibawa seseorang di perjalanan yang jauh. Sakramen Ekaristi dalam hal ini disebut sebagai ‘viaticum’ karena merupakan bekal kita agar jiwa kita selamat dalam perjalanan ketika jiwa kita dalam keadaan terpisah dari raga.

Conclusion

Doa, menerima sakramen, dan meminta maaf kepada Tuhan dan sesama dapat membuat kematian kita menjadi lebih damai. Bahkan terkadang pada saat menjelang ajal, sifat seseorang pun bisa berubah 180 derajat. Banyak orang mengalami perubahan yang dahsyat pada saat mereka tahu kematian sudah dekat. Dengan mati secara baik, kita bisa menjadi contoh dan membantu yang lain untuk bisa menghadapi kematian tanpa rasa takut.

Tradisi gereja Katolik mengajarkan bahwa kematian adalah bukan sesuatu yang ditakuti, melainkan adalah sesuatu yang menjadi bagian dari kehidupan. “What the Church tries to do is to help people live their life fully and even live their death as an entryway into the life that is promised to us by Jesus Christ” — Father Witczak. Ketika kita telah paham akan arti kematian yang sesungguhnya, di saat itulah kita baru mulai mengerti dan menjalani kehidupan dengan sesungguhnya.

Apakah kita akan menunggu kematian untuk mendekat baru berubah pikiran dan mulai mempersiapkan hari terakhir kita?

Pertanyaan Sharing

  1. Akhir-akhir ini apakah ada kematian terjadi di sekitar kita? Sharingkan refleksi kamu mengenai pengalaman tersebut setelah mengikuti CG hari ini!
  2. Setelah bersama-sama membaca bahan di atas apakah kalian siap menghadapi kematian jika waktunya tiba? Apa persiapan yang akan kalian lakukan? Sharingkan!
  3. Kalau hari ini adalah hari terakhir kita di dunia ini, apa yang akan kalian lakukan?