Sesi 22 - Week of 6 Mar 2022

Sacrament of Marriage


Intro

Dari awal penciptaan pria dan wanita, Tuhan sudah melembagakan (institutionalize) perkawinan:

KGK 1604 : Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil dia untuk mencinta, satu panggilan kodrati dan mendasar setiap manusia. Manusia telah diciptakan menurut citra Allah, yang sendiri adalah cinta. Oleh karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka cinta di antara mereka menjadi gambar dari cinta yang tak tergoyangkan dan absolut, yang dengannya Allah mencintai manusia.

Panggilan ke sakramen perkawinan adalah panggilan untuk pria dan wanita ke dalam sebuah hubungan yang mencerminkan cinta kasih Tuhan – a love that is absolute, unfailing, sacrificial and life giving.

Marital love is to be a Godly love

Di dalam Perjanjian Lama

Since the nature of Trinitarian love is “absolute and unfailing,” marital love is to be exclusive and permanent in order to truly embody the love of God.

Oleh karena itu kita sering kali bertanya-tanya, kenapa banyak figur di Perjanjian Lama yang sering kali melanggar apa yang kita kenal sebagai cinta kasih perkawinan yang sesungguhnya. Katekismus kita mengajarkan bahwa di masa Perjanjian Lama, Tuhan membiarkan (allowed) beberapa aksi seperti perceraian, dsb karena ketegaran hati manusia (lihat penjelasan KGK 1610 di bagian referensi). Tetapi jika kita mengikuti narrative dalam Alkitab, kita tahu walaupun Tuhan memperbolehkan hal tersebut, Ia juga mengajarkan umat Israel kebenaran cinta kasih perkawinan lewat konsekuensi-konsekuensi yang terjadi jika mereka tidak hidup dalam perkawinan yang sejati.

Alkitab menunjukan secara tersirat jika perkawinan tidak eksklusif dan permanen, sering kali membawa hasil yang sangat buruk. Contohnya:

  • Ketika Abraham mengambil Hagar sebagai selir dan ia melahirkan Ismael. Hasilnya adalah perseteruan antar saudara, umat Israel dan umat Ishmaelites.
  • Ketika Lot tidur dengan anak perempuannya yang kemudian melahirkan Amon dan Moab. Keturunan dari kedua anak tersebut menjadi bangsa yang senantiasa berperang dengan Israel.
  • Ketika Yakub menikahi 2 istri dan memiliki 2 selir, keturunannya menjadi terpecah belah menjadi banyak suku Israel.
  • Ketika Salomo mengambil banyak istri, melanggar aturan yang diberikan Musa, Salomo terjerat akan praktisi berhala karena pengaruh istri-istrinya dan menjauh dari Allah Israel. Kerajaan Israel pun terpecah belah.

The true nature of marital love is most clearly demonstrated by YHWH Himself in His covenant relationship with Israel.

Para nabi-nabi sering kali menggambarkan relasi perjanjian antara Tuhan Allah dan umat Israel seperti sebuah perkawinan. Tuhan sering kali disebut sebagai Suami dari Israel.

“For your Maker is your husband” (Is. 54:5)
“I plighted my troth to you and entered into a covenant with you, says the Lord GOD, and you became mine” (Ezek. 16:8)

Karena Israel ada di dalam sebuah Perjanjian (covenant) dengan Allah, maka penyembahan-penyembahan berhala yang dilakukan Israel menjadi seperti sebuah perselingkuhan dalam perkawinan. Oleh karena itu, Allah pernah menyebut Israel dengan nama “adulterous wife” (Ezek. 16:32). Lewat nabi Yeremia, Tuhan menggambarkan bagaimana Israel merusak perjanjian yang mereka buat di Gunung Sinai, walaupun Ia (Tuhan) adalah suami mereka. (bdk Yer 31:32).

Walaupun Israel tidak setia, Tuhan Allah selalu menunjukan kesetiaan-Nya yang tanpa batas terhadap umat pilihannya.

Kepada nabi Hosea, Tuhan menyatakan bahwa Ia akan membuat sebuah Perjanjian yang baru dengan Israel. Ia akan mengambil Israel sebagai tunangan-Nya di dalam kebenaran dan keadilan. Israel akan menjadi milik Tuhan selamanya dan Israel akan mengenal Tuhan Allahnya. (bdk Hos 2:19-20)

Di dalam Perjanjian Baru

Di dalam Injil Yohanes, Yesus melakukan mujizat pertamanya dalam pesta perkawinan di Kana yang menandai dimulainya karya pelayanan-Nya kepada publik dan mempunyai makna yang penting seperti tertulis dalam KGK 1613: Pada awal hidup-Nya di muka umum Yesus melakukan – atas permohonan ibu-Nya – mukjizat-Nya yang pertama pada suatu pesta perkawinan. Gereja menganggap kehadiran Yesus pada pesta perkawinan di Kana itu suatu hal penting. Ia melihat di dalamnya suatu penegasan bahwa Perkawinan adalah sesuatu yang baik, dan pernyataan bahwa mulai sekarang Perkawinan adalah suatu tanda tentang kehadiran Kristus yang berdaya guna.

Ketika Yesus ditanya oleh orang Farisi tentang perceraian yang diperbolehkan oleh Musa, inilah jawaban Yesus seperti tertulis dalam Injil Matius 19:4-8.

Mat 19:4 – Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?

Mat 19:5 – Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.

Mat 19:6 – Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Mat 19:7 – Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya?”

Mat 19:8 – Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.

Yang dimaksud dengan ketegaran hati disini adalah dosa (dalam bahasa Inggris kata yang dipakai adalah hardness of heart) yang merusak perkawinan sampai pada perceraian. Yesus juga menekankan bahwa perkawinan yang sejati haruslah monogami, antara 1 laki-laki dan 1 perempuan, serta permanen.

Yesus menaikkan status perkawinan sebagai sakramen, bukan hanya tanda biasa tetapi suatu tanda dan sarana penyaluran rahmat dari Yesus sendiri. Yesus sebagai pengantin laki-laki dan lewat Perjanjian Baru yang dibuat oleh-Nya, Gereja menjadi mempelainya.

Kita telah melihat kisah-kisah dalam Perjanjian Lama betapa susahnya untuk tetap setia dalam perkawinan, tetapi dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri memberikan rahmat yang memampukan pasangan suami istri untuk tetap setia satu sama lain dan untuk Gereja agar tetap setia kepada pasangan Surgawinya yaitu Yesus sendiri. Inilah yang dinubuatkan oleh nabi Hosea seperti telah kita baca di atas.

Yesus sering memakai cerita tentang pesta perkawinan dalam pengajaran-Nya. Misalnya di dalam Markus 2:19-20, Yesus menjelaskan mengapa murid-muridNya tidak berpuasa karena mempelai laki-laki (yaitu Yesus) sedang bersama dengan mereka. Pada zaman Yesus, pesta perkawinan biasa dilangsungkan selama 1 minggu. Sementara orang Farisi mempunyai tradisi untuk berpuasa 2x dalam seminggu. Tetapi mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika sedang menghadiri pesta perkawinan.

Perkawinan juga dipakai oleh Yesus untuk menjelaskan tentang Kerajaan Surgawi. Seorang raja mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya dan menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang yang telah diundang ke perjamuan kawin itu, tetapi orang-orang itu tidak mau datang (Mat 22:2-3). Orang-orang yang diundang itu melambangkan orang-orang Israel yang menolak Yesus, yang juga berarti menolak Allah Bapa (yang disimbolkan sebagai raja dalam parabel di atas). Arti dari parabel ini dikonfirmasi oleh Rasul Yohanes dalam kitab Wahyu di mana dia diberi penglihatan oleh malaikat tentang pesta perkawinan di Surga antara Yesus dan Gereja, dan malaikat itu berseru “Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba.” (Why 19:9)

Aplikasi dan Kesimpulan

Bagi kita yang telah dipanggil ke dalam sakramen perkawinan, cerita-cerita dari Kitab Suci di atas seharusnya memperbaharui janji kita untuk menjalani janji nikah kita sepenuhnya. Perjanjian diantara pasangan suami istri terintegrasi dengan janji Tuhan dengan manusia: “Cinta kasih suami istri yang sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi” (KGK 1639). Panggilan untuk hidup berumah tangga haruslah menjadi panggilan yang jelas bagi setiap pasangan untuk bersaksi tentang kasih Tuhan kita yang tak bersyarat, teguh dan abadi. Setiap pernikahan haruslah menjadi simbol manusiawi akan cinta Kristus dan Gereja. Santo Paulus mengatakan bahwa Sakramen Perkawinan adalah sebuah “misteri besar” (Ef 5:32), karena itu menggambarkan hubungan antara Yesus dan Gereja.

KGK 1639 Janji yang olehnya kedua mempelai saling memberi dan saling menerima, dimeterai oleh Allah sendiri. Bdk. Mrk 10:9. Dari perjanjian mereka timbullah satu “lembaga, yang berdasarkan peraturan ilahi, kokoh, juga di depan masyarakat” (GS 48, 1). Perjanjian suami istri digabungkan dalam perjanjian Allah dengan manusia: “Cinta kasih suami istri yang sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi” (GS 48,2).

Cinta Kristus kepada Gereja dan sebaliknya, adalah sebuah teladan untuk pasangan suami istri. Santo Paulus menjelaskan tentang hal ini saat dia mengatakan, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef 5:25). Cara kita mencintai pasangan kita seharusnya menjadi contoh persis untuk cara kita mencintai Kristus. Sebaliknya, cara di mana kita gagal untuk mencintai pasangan kita seringkali merupakan tanda betapa kita gagal dalam mencintai Tuhan. Perkawinan memberikan pembelajaran dalam hal cinta yang perlu direnungkan untuk memperdalam keinginan dan kemampuan kita untuk mencintai Tuhan.

Salah satu hak dan tanggung jawab besar dari cinta dalam perkawinan adalah keterbukaan untuk beranak-cucu. Tuhan telah memberkati perkawinan dari awal zaman, Ia mengatakan, “Beranakcuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28). Dengan cara ini, keluarga yang beranak-cucu memberi kesaksian tentang kekuatan cinta yang memberi kehidupan. Demikianlah Konsili Vatikan ke 2 dan Katekismus:

“Oleh karena itu pengembangan kasih suami istri yang sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan Perkawinan lainnya, bertujuan supaya suami istri bersedia untuk penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya” (KGK 1652, GS 50,1)

Cinta itu murah hati, dan cinta sejati dimodelkan pada yang ilahi, yang juga murah hati. Ajaran alkitab tentang perkawinan tidak hanya berlaku untuk mereka yang dipanggil untuk hidup berumah tangga. Semua orang kristiani, baik secara individual maupun sebagai anggota Gereja, dipanggil untuk menjadi mempelai Kristus. Santo-Santa dan para dokter-dokter Gereja sering menggambarkan hubungan antara Tuhan dan jiwa kita layaknya sebagai pasangan pengantin dan mempelai laki-laki. Santo-Santa seperti Santo Yohanes Salib dan Santa Teresa Avila mengatakan bahwa jiwa kita adalah pengantin Kristus. (Bdk. KGK 1617)

Seiring kita bertumbuh dalam kehidupan Kristiani, hubungan antara jiwa dan Tuhan akan menjadi layaknya perjanjian pernikahan: teguh, abadi, berkorban dan beranak-cucu. Santo Paulus mengingatkan kita tentang bagaimana kita dipanggil untuk menjadi pengantin yang murni dan penuh kasih untuk Yesus mempelai laki-laki kita, ketika dia berkata, “Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus” (2 Kor 11:2).

Pertanyaan Sharing

  1. Sharingkan apa yang kamu cari dari sebuah perkawinan? Apakah ekspektasimu di dalam relasi tersebut?
  2. Pernahkan kamu melihat atau mengalami relasi perkawinan yang tidak baik? Sharingkan apa yang kamu pelajari dari hal tersebut.
  3. Apakah mudah bagimu membayangkan Allah sebagai pasanganmu? Sharingkan alasanmu.
  4. Sharingkan pandanganmu tentang perkawinan dalam Gereja Katolik yang sifatnya monogami, tidak dapat diceraikan dan beranak-cucu!

Referensi

  • Buku : Sacrament in Scripture by Dr. Tim Gray
  • KGK 1610 : Kesadaran susila yang mengerti ketunggalan dan ketakterceraian Perkawinan telah berkembang di bawah bimbingan hukum Perjanjian Lama. Memang poligami para bapa bangsa dan raja belum lagi ditolak dengan jelas. Tetapi peraturan yang diberi kepada Musa bertujuan melindungi wanita dari kesewenang-wenangan pria. Namun seperti Yesus katakan, hukum masih memiliki bekas-bekas “ketegaran hati” pria, sehingga Musa mengizinkan perceraian wanita. (Bdk. Mat 19:8; Ul 24:1)
  • KGK 1617 : Seluruh kehidupan Kristen diwarnai cinta mempelai antara Kristus dan Gereja. Pembaptisan, langkah masuk ke dalam Umat Allah, sudah merupakan satu misteri mempelai; ia boleh dikatakan “permandian perkawinan”, yang mendahului perjamuan perkawinan, Ekaristi. Perkawinan Kristen menjadi tanda yang berdaya guna, Sakramen perjanjian antara Kristus dan Gereja. Karena ia menandakan dan membagikan rahmat-Nya, maka Perkawinan antara mereka yang dibaptis adalah Sakramen Perjanjian Baru yang sebenarnya.