Sesi 7 - Week of 29 Sep 2019

Menghormati dan Toleransi Beragama


Intro

Di sekitar kita terdapat tidak hanya satu agama. Masing-masing agama cenderung menegaskan dirinya sebagai unik dan universal. Bagaimana kita bisa mengerti dan menerima keberadaan agama-agama lain. Agama mengajarkan kepercayaan atau iman dan bagaimana mewujudkan iman atau kepercayaan ini, baik dengan doa, ritual atau berbagai macam cara yang mengatur bagaimana untuk menyembah Tuhan yang dipercayai, maupun dengan satu pengajaran moral yang mengatur bagaimana untuk hidup dengan baik sesuai dengan apa yang dipercayai.

Berikut ini dikemukakan pokok-pokok penting ajaran Gereja Katolik tentang perjumpaan agama-agama, sebagaimana yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II (1962-1965): pertama, sikap Gereja Katolik terhadap Gereja-gereja Kristen lain; kedua, sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama non Kristen.

Gereja Katolik dan Gereja-gereja Kristen Lain

Bagaimana hubungan perjumpaan Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Kristen lain? Sidang Konsili yang dihadiri kurang lebih 500 uskup sedunia juga utusan dari pelbagai Gereja Kristen, setelah 4 tahun bersidang dan berdebat, akhirnya menerbitkan 16 dokumen ajaran resmi Gereja Katolik.

Ada satu dokumen khusus tentang hubungan Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Kristen lainnya, yakni Dekrit UNITATIS REDINTEGRATIO tentang ekumenisme (memuat 24 artikel), ditetapkan pada tahun 1964.

Panduan fasil: Ekumenisme berarti inisiatif keagamaan menuju keesaan di seluruh dunia. Tujuan yang lebih terbatas dari ekumenisme adalah peningkatan kerja sama dan saling pemahaman yang lebih baik antara kelompok-kelompok agama atau denominasi di dalam agama yang sama. (sumber:wikipedia)

Ajaran di dalam dokumen Unitatis Redintegratio ini bersumber pada Konstitusi Dogmatis tentang Gereja LUMEN GENTIUM (memuat 69 artikel), ditetapkan pada tahun 1964. Di dalam kedua dokumen ini Gereja Katolik menyatakan dengan tegas sikap positifnya terhadap Gereja-gereja Kristen dan mengharapkan suatu kerjasama dan kesatuan Gereja Kristus.

Di dalam Lumen Gentium Gereja Katolik dengan jujur mengakui perbedaan dirinya dengan Gereja-gereja Kristen. Konsili Vatikan II membedakan antara mereka yang “sepenuhnya dimasukkan ke dalam serikat Gereja” (LG 14) dan orang yang beriman lain yang berhubungan dengan Gereja Katolik (LG 15).

Akan tetapi, semangat dasar bapa-bapa konsili adalah kesatuan antara semua orang Kristen. Konsili ini tidak hanya menegaskan bahwa “Roh membangkitkan pada semua murid Kristus keinginan dan kegiatan, supaya dipersatukan dalam satu kawanan dengan satu Gembala” (LG 15), tetapi juga merumuskan dasar teologis untuk kesatuan antara Gereja Katolik dengan Gereja-gereja Kristen.

Artikel 8 Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium berbunyi: “Kristus, satu-satunya Pengantara, di dunia ini telah membentuk GerejaNya yang kudus, yakni persekutuan iman, harapan dan kasih, sebagai himpunan yang kelihatan dan tak henti-hentinya memeliharanya, supaya melalui Gereja Ia melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang…Itulah satu-satunya Gereja Kristus, yang dalam syahadat kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, Katolik dan apostolik. Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat (societas), berada dalam (subsistit in) Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para uskup dalam persekutuan dengannya, walaupun di luar persekutuan itu pun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan kurnia-kurnia khas Gereja Kristus, dan mendorong ke arah kesatuan Katolik”.

Di dalam konsili terjadi perdebatan antara uskup konservatif dan uskup progresif. Kaum konservatif mati-matian mempertahankan rumusan Gereja Kristus adalah (est) Gereja Katolik. Sedangkan kaum progresif menentang itu, karena pengertian bahwa Gereja Kristus adalah Gereja Katolik, atau bisa dibalikkan, Gereja Katolik adalah Gereja Kristus, pertanyaannya: bagaimana dengan keberadaan Gereja-gereja Kristen apakah mereka bukan Gereja Kristus?

Perdebatan akhirnya dimenangkan oleh kaum progresif, sehingga rumusan tentang Gereja Kristus menjadi “Gereja Kristus berada dalam (subsistit in) Gereja Katolik”. Dengan ini diakui bahwa Gereja-gereja Kristen juga Gereja Kristus. Konsili mau mengatakan bahwa Gereja Kristus tidak terbatas pada Gereja Katolik saja.

Sedangkan dokumen Unitatis Redintegratio berbicara tentang ekumenisme. Usaha untuk mempertemukan Gereja-gereja Kristen dalam satu persekutuan (communio) disebut gerakan ekumenis. Unitatis Redintegratio artikel 4 berkata: “Yang dimaksud dengan gerakan ekumenis ialah kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha yang diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Sebagai contoh disebutkan, pertama-tama, usaha saling menghormati dan menghindari segala sesuatu yang kurang sesuai; kemudian juga mengadakan pertemuan-pertemuan dan dialog, khususnya di antara para pakar; selanjutnya, segala macam kerjasama dalam arti luas; dan akhirnya, segala usaha untuk memperbarui diri dan mengubah kekurangan-kekurangan dalam Gerejanya sendiri.

Yang dicita-citakan bukanlah semua melebur dalam satu kesatuan yang kabur dan tanpa sifat-sifat Kristiani yang jelas. Sebaliknya, diharapkan bahwa masing-masing Gereja semakin menyadari akar-akarnya dalam iman Kristen dan juga kekhasannya sendiri dalam mengungkapkan dan mewujudkan iman bersama itu. Dengan demikian, sekaligus diharapkan mereka menghormati saudara-saudara seiman yang menghayati iman itu dalam bentuk yang berbeda”.

Gereja Katolik dan Agama-agama non Kristen

Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II (1962-1965) merubah secara mendasar sikapnya terhadap kaum bukan Kristen, dari ajaran extra ecclesia nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) kepada ajaran yang lebih memberikan sikap positif kepada agama-agama bukan Kristen. Bagaimana hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama non Kristen. Tentang agama-agama non Kristen ini Gereja menjawabnya dalam beberapa dokumen berikut.

  1. LUMEN GENTIUM, artikel 16 mengatakan: “Sebab mereka yang tanpa kesalahannya sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta GerejaNya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendakNya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka yang tanpa kesalahan sendiri belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar”.
  2. NOSTRA AETATE, artikel 2, Gereja Katolik mengakui bahwa di dalam agama-agama non Kristen ada yang benar dan suci yang bermanfaat bagi agama itu sendiri namun juga bisa memantulkan cahaya kebenaran itu kepada sesama kaum agama lainnya.Meski demikian, Gereja Katolik tetap menekankan bahwa Kristus adalah jalan, kebenaran dan hidup bagi kaum beriman Kristen: “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidahkaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun, Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diriNya”.
  3. NOSTRA AETATE, artikel 3, berbicara tentang hubungan Gereja Katolik dengan Islam: “Gereja juga menghargai Umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada Umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia… Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah melainkan menghormatiNya sebagai nabi. Mereka juga menghormati Maria BundaNya yang tetap perawan, dan ada saat-saat tertentu dengan kidmat berseru kepadanya. Selain itu, mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka, mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberikan sedekah dan berpuasa”.
  4. Sedangkan Deklarasi DIGNITATIS HUMANAE artikel 4 Gereja mengakui hak atas kebebasan beragama berdasarkan suara hati, dengan sekaligus menegaskan bahwa kebebasan itu disalahgunakan apabila dipakai dengan cara tidak wajar untuk mencari penganut dari agama lain. Artikel 4 ini berkata: “Jemaat-jemaat keagamaan berhak pula untuk tidak dirintangi dalam mengajarkan iman mereka dan memberikan kesaksian tentangnya di muka umum, secara lisan maupun melalui tulisan. Akan tetapi, dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan janganlah pernah menjalankan kegiatan manapun juga, yang dapat menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Cara bertindak demikian harus dipandang sebagai penyalahgunaan hak mereka sendiri dan pelanggaran hak pihak-pihak lain.”

Toleransi, Menghormati Perbedaan

Tujuan dialog kita dengan saudara Gereja-gereja lain adalah persatuan, karena kita orang Kristen bersatu dalam keyakinan tentang Yesus Sabda Allah dan satu-satunya penyelamat.

Toleransi menuntut kita untuk menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama, kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima mereka bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini.

Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung daripada hati kita dan menyerahkan kepada Allah bagaimana ia memandang saudara-saudari yang berlainan agamanya dengan kita. Kita pun menyerahkan diri kepada kebesaranNya.

Toleransi tidak menuntut dari kita semua menjadi sama, baru kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, agama lain, dengan baik dan mengakui keberadaan mereka dalam keberlainan mereka. Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh terhadap identitas masing-masing yang tidak sama.

Toleransi berarti bahwa meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan anda, meskipun iman anda bukan kebenaran bagi saya, namun saya sepenuhnya menerima keberadaan anda, saya gembira bahwa anda ada, saya bersedia belajar dari anda, saya bersedia bekerja sama dengan anda.

Untuk bersikap toleran terhadap agama lain, tidak diandaikan anggapan dangkal bahwa “semua agama sama saja”. Semua agama tentu tidak sama.

Kepercayaan mendalam mereka sangat berbeda, bahasa mereka berbeda, banyak pandangan moral mereka berbeda, sejarah mereka berbeda. Adapun sikap yang tepat adalah mengakui perbedaan, menghormati seratus persen identitas masing-masing agama dan tidak menuntut agar agama merelativisasi diri. Artinya, saya menghormati agama lain dengan segala kebenaran yang dimilikinya tanpa saya merelativisasi iman saya sendiri akan Yesus Kristus sebagai penyelamat tunggal. Ketika saya menghormati agama lain, saya tetap berkeyakinan teguh dan penuh pada iman agamaku sendiri.

Sharing

1. Sharingkan apakah kalian pernah berdialog dengan keluarga, atau saudara, atau teman yang berbeda agama? Dan bagaimana dialog antar agama itu berlangsung?

2. Pernahkan kalian di kritik tentang bagaimana kalian menjalankan tata cara atau ritual agama katolik, contoh: tidak makan daging pada hari jumat, cara puasa agama katolik, dll. Sharingkan.

3. Berikut cuplikan artikel dari catholic.sg berisi tentang pesan dari Archbishop William Goh pada tanggal 14 October 2017 dibacakan oleh Msgr Heng pada Konferensi Internasional. (Untuk artikel lengkapnya bisa diklik di link ini: https://www.catholic.sg/christian-perspective-promoting-culture-peace-harmony-singapore/)

Faith presupposes a personal encounter with the Sacred without which it is just a religion based on practices, rituals and customs.

This means it is not productive to impose faith on others when they do not have a personal encounter with the Sacred. Just by observing the rules and doctrines will not change the heart. That is why religion cannot be imposed but can only be shared and offered as a gift. Without a personal experience of God, religion can become another ideology rather than a true communion with God.

Human culture is the way we express our common values and identity.

This might include faith values, but need not be confined to faith alone. Most of these are universal human values such as filial piety, respect and devotion. To strengthen a common identity, it is also expressed in customs, attire and dressing.

Some of the cultural expressions could be adopted or adapted even by others, so long as they are consistent with the Faith values as well. Indeed, with globalization and mass migration, the world has become a melting pot of cultures. Inculturation is a reality when peoples of different cultures and faith live together.

When we see religion and culture from this perspective, then the second principle of unity is that we must foster what is common among the different religions and cultures.

We must be proactive in appreciating what is good, holy and noble in others’ faith and culture. In recognizing the goodness in the faith of others and the values being promoted, our own faith and values are reinforced and strengthened where they are weak. So people with diverse faith and culture should not be seen as threats to us but they can enrich our lives.

But it also means that we must be honest with our beliefs and values.

We need to recognize and acknowledge that we differ. We all have our sensitivities to some issues and practices. Because we experience the Sacred differently and the way God works in our life, our view of God will necessarily be coloured by our experiences. In such situations, we need to articulate our views clearly without condemning others who think differently. In expressing our identity, we should always respect other religious traditions and cultures. But we should be able to acknowledge our differences even whilst we want to reinforce what is common among ourselves. We must accept our differences and work on what we have in common.

The third principle of unity is that we need to engage each other in dialogue.

Dialogue is the key to a better understanding and appreciation of each other’s position. It is also the key that binds us together as members of the human family. We must use friendship and religion as a critical force to bring harmony, peace and promote goodness in a troubled and divided world. In the midst of conflict and division, religions must come together to promote peace and unity. Through reciprocal dialogue and tolerance, we can help the world to cure its ills, such as inequality, injustice, corruption, moral relativism and xenophobia. Vatican II urges us, “Let Christian’s while witnessing to their own faith and way of life, acknowledge, preserve and encourage the spiritual and moral truths found among non-Christians, also their social life and culture.” (Nostra Aetate, No. 2)

Dari artikel diatas sharingkan menurut kalian bagaimana kita bisa terus meningkatkan kesatuan dalam menghormati agama-agama lain, terutama di lingkungan keluarga yang multireligius, lingkungan sekolah dan lingkungan kerja kalian di Singapura!

4. Sharingkan pengalaman kalian apakah pernah menerima benda, misalnya seperti patung budha atau dewa dewi dari agama lain, atau benda-benda apakah kalian menerima barang tersebut atau menolak, bagaimana sikap kalian? Atau jika pada bulan puasa umat muslim, bagaimana sikap kalian terhadap mereka yang sedang puasa, tetapi kalian perlu makan siang? Atau apakah kalian pernah ikut pergi ke bazaar geylang serai untuk ikut berbuka bersama? Sharingkan!

 

Referensi

https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/alexanderphiliph/toleransi-beragama-dalam-ajarangereja-katolik_550f5b34813311872cbc67bd

https://voxntt.com/2018/11/05/toleransi-dan-perjumpaan-agama-agama-dalam-perspektif-katolik-part-1/36296/

https://voxntt.com/2018/11/05/toleransi-dan-perjumpaan-agama-agama-dalam-perspektif-katolik-part-2/36298/

https://www.catholic.sg/christian-perspective-promoting-culture-peace-harmony-singapore/