Sesi 18 - Week of 3rd Mar 2019

Manusia diciptakan dalam kasih dan untuk kasih


Bahan CG kali ini kita masih membahas mengenai kasih. Kita pasti pernah bertanya sama diri kita sendiri apa sih tujuan atau arti hidup kita, dan kita dapat saja berusaha menjawabnya sendiri. Namun, bagaimanapun juga, jawaban yang yang paling sempurna kita dapatkan dari Allah, sebab Ia-lah yang menciptakan kita. Sebagaimana layaknya perancang selalu merencanakan yang terbaik bagi hasil karyanya, demikian pula Allah. Ia merencanakan yang terbaik bagi kita masing- masing yang diciptakan-Nya di dalam kasih dan oleh karena kasih-Nya. Tujuannya hanya satu dan sederhana saja, yaitu: Allah ingin agar kita semua bahagia! (lih. Baltimore Catechism, Lesson 1. on the Purpose of Man’s Existence).

Mengapa Tuhan menciptakan kita? Tuhan menciptakan kita untuk menunjukkan kebaikan-Nya dan untuk membagikan kepada kita kebahagiaan kekal di surga. Dan bahagianya manusia itu dicapai dengan satu cara yang utama yaitu: mengasihi. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan demikian dalam surat ensikliknya yang pertama:
“Manusia tak dapat hidup tanpa kasih. Ia tetap menjadi sosok yang tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri, dan hidupnya tidak berarti, jika kasih tidak dinyatakan kepadanya, jika ia tidak mengenal cinta kasih, jika ia tidak mengalaminya dan menjadikannya sebagai miliknya, jika ia tidak mengambil bagian di dalamnya.” ((Paus Yohanes Paulus II, surat ensiklik Redemptor Hominis, 10))

Jadi entah pada akhirnya setiap dari kita memutuskan untuk menikah atau tidak menikah, Tuhan ingin agar kita bahagia; Tuhan ingin kita mengasihi satu sama lain. Namun pengertian ‘kebahagiaan’ dan ‘cinta kasih’ menurut Tuhan tidak sama dengan pengertian menurut dunia. Tuhan menginginkan kebahagiaan kekal, sedangkan dunia, kebahagiaan sesaat. Tuhan menghendaki kita mengasihi secara total, sedangkan kita umumnya cukup berpuas diri dengan cinta ‘sebagian’ saja. Mungkin Tuhan tahu bahwa tanpa contoh, kita tidak akan dapat mengasihi seturut kehendak-Nya, sehingga Ia mengutus Putera-Nya, Tuhan Yesus, untuk menunjukkan kepada kita bagaimana caranya mengasihi, supaya kita benar- benar dapat sampai kepada kebahagiaan yang Tuhan rencanakan bagi kita.

Melalui teladan Yesus, kita mengetahui seperti apakah cinta yang sejati; yaitu cinta yang memberikan diri sehabis- habisnya kepada orang yang dikasihi, seperti apa yang telah dilakukan Yesus kepada setiap kita. Yesus ingin agar kitapun dapat mengasihi seperti ini. Allah Bapa memanggil kita untuk hidup di dalam persekutuan dengan Kristus (lih. 1 Kor 1:9). Oleh karena itu, melalui Baptisan, Tuhan menggabungkan kita dengan kehidupan ilahi-Nya sendiri.

Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1265: “Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi serentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu “ciptaan baru” (2 Kor 5:17), seorang anak angkat Allah Bdk. Gal 4:5-7.; ia “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (Bdk. 1 Kor 6:15; 12:27), “ahli waris” bersama Dia (Rm 8:17) dan kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:19).” Sehingga kita dapat memiliki kasih seperti kasih-Nya.

Rahmat Baptisan ini ditambahkan pada sakramen- sakramen selanjutnya, termasuk di dalamnya sakramen Perkawinan, saat Kristus menguduskan hubungan suami istri agar menjadi gambaran kasih Kristus yang total kepada Gereja-Nya, dan demikian juga sebaliknya, kasih Gereja kepada Kristus. ((lih. KGK 1617)).

Gambaran kasih yang total ini juga diperlihatkan dengan lebih jelas oleh mereka yang hidup selibat bagi Kerajaan Allah. Mereka ini bahkan lebih nyata lagi menggambarkan kasih yang total kepada Allah: suatu gambaran yang mengarahkan pandangan kepada kesempurnaan kasih di kehidupan yang kekal. ((lih. KGK 916, 1619, dan Paus Yohanes Paulus II, Ekshortasi Apostolik Familiaris Consortio, 16))

Oleh karena itu, baik kehidupan berkeluarga ataupun selibat untuk Kerajaan Allah mengarahkan kita untuk mencapai kebahagiaan sejati. Jadi kebahagiaan sejati di dalam Kristus juga adalah milik kita yang hidup berkeluarga, bukan hanya milik mereka para imam, biarawan, biarawati. Hubungan suami istri dalam kehidupan berkeluarga malah mempunyai kekhususan yang lain, karena melibatkan juga pengudusan segala hal yang sifatnya sementara di dunia, termasuk hubungan seksual, karena dalam terang Allah, hubungan suami istri adalah kudus, karena tidak saja menyangkut tubuh, tetapi juga emosi, dan jiwa. ((lih. Familiaris Consortio 11)) Sebab jika keseluruhan hidup kita menjadi kudus, maka kita akan memperoleh kebahagiaan sejati seperti yang dikehendaki Tuhan.

Mungkin kita pernah bertanya demikian di dalam hati, “Sebenarnya tujuan perkawinan itu apa, ya?” atau, “Kehidupan perkawinan seperti inikah yang Tuhan kehendaki?” Atau banyak pertanyaan- pertanyaan lainnya, yang intinya mempertanyakan makna kehidupan perkawinan.

Perkawinan Katolik adalah perkawinan yang hidup dalam Roh, yaitu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. (lih. Gal 5:22-23)

Kita tak mungkin lupa, bahwa mujizat pertama yang dilakukan oleh Kristus adalah mujizat yang dilakukan-Nya di perjamuan perkawinan di Kana (lih. Yoh 2:1-11). Artinya, Tuhan Yesus menaruh perhatian istimewa pada perkawinan, pada kesatuan antara suami dengan istri. Ia hadir secara istimewa di dalam setiap rumah tangga untuk menambahkan cinta kasih, jika hubungan suami istri sudah mulai tawar.

Jika Tuhan Yesus menjadi pusat dalam hubungan suami dan istri, maka pasangan suami istri akan menempatkan kehendak-Nya di atas kehendak mereka sendiri. Mereka akan saling menghargai, menganggap bahwa pasangannya adalah ‘kado’ istimewa dari Tuhan untuk mendampinginya sepanjang hidup. Maka suami akan memandang istrinya sebagai “penolong yang sepadan” dengan dia (Kej 2:18,20). Ia akan menghormati istrinya, menganggapnya sebagai teman yang sederajat dengannya ((lih. Familiaris Consortio, 22)) dan bukannya sebagai pelayan untuk disuruh-suruh, atau boneka pajangan untuk diperlakukan sekehendak hati. Atau sebaliknya, bagaikan tuan putri yang harus diikuti segala kemauannya. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, dan karena itu keduanya diciptakan setara di mata Tuhan. Dengan istrinya, suami harus membentuk persahabatan yang erat dan istimewa. “Sebagai seorang Kristiani, suami dipanggil untuk mengembangkan sikap yang baru dalam mengasihi, yang menyatakan kepada istrinya kasih yang lemah lembut dan kokoh seperti kasih yang dimiliki Kristus terhadap Gereja-Nya.” ((Familiaris Consortio, 25)) Demikian juga, dengan mata hati terarah kepada Kristus, istri dipanggil untuk tunduk kepada suaminya, seperti halnya Gereja tunduk kepada Kristus (lih. Ef 5:22).

Karena Kristus yang mempersatukan suami istri, maka perkawinan Kristiani bukan hanya melibatkan dua pihak -yaitu suami dan istri- tetapi juga Kristus. Kristuslah yang mengikat suami istri dalam Perjanjian (covenant) yang sifatnya tetap, seperti perjanjian antara Kristus dengan Gereja. ((lih. KGK 1602, 1617, Familiaris Consortio 13)) Perjanjian antara Kristus dan Gereja-Nya ini setiap kali dinyatakan kembali di dalam Perayaan Ekaristi, sehingga selayaknya suami dan istri menjadikan Ekaristi sebagai sumber kasih dan kekuatan untuk memenuhi janji perkawinan mereka, untuk tetap setia, tak terceraikan sampai akhir.

Pasangan suami istri yang menjadi gambaran akan kasih Kristus kepada Gereja, tidak saja dimaksudkan sebagai gambaran yang dilihat dari luar keluarga, tetapi juga dari dalam. Artinya, sebagai pasangan, suami istri dipanggil untuk menghadirkan Kristus dan menyalurkan kasih-Nya kepada pasangannya setiap hari ((lih. KGK 1617)). Inilah arti perkawinan sebagai sakramen: tanda kehadiran Tuhan.

Sebab jika kita mengikuti kehendak Tuhan, maka kita akan memancarkan iman yang hidup dalam perbuatan kasih, baik kepada pasangan, anak- anak kita, maupun orang- orang lain di sekitar kita. Dengan demikian, rumah tangga kita menjadi persekutuan kasih antara setiap anggotanya dengan Kristus dan persekutuan kasih antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain.  Dengan menyatakan persekutuan kasih yang seperti ini,  keluarga menjadi Gereja kecil, atau yang sering dikenal dengan istilah ecclesia domestica. ((lih. KGK 1656, Familiaris Consortio 21)).  Sebaliknya, jika setiap anggota keluarga memusatkan perhatian kepada diri sendiri, maka keluarga cenderung menjadi pelit, sebab prinsip yang dipegang adalah “pokoknya saya duluan, orang lain belakangan”, atau “saya harus lebih enak, orang lain bukan urusan saya.”  Dan jika “saya” yang menjadi pusat, maka anggota keluarga cenderung menjadi egois, kurang peduli dengan kebutuhan pasangan dan anak-anak, apalagi orang- orang lain di sekitarnya. Sudah saatnya kita sebagai suami istri dan orang tua memeriksa, sejauh mana kita sudah memancarkan kasih Allah di dalam keluarga kita, sebab itu adalah bukti sejauh mana kita sudah menempatkan Kristus sebagai pusat dalam kehidupan kita. Sejauh mana keluarga kita mencerminkan makna ecclesia domestica?

Menempatkan Kristus sebagai pusat kehidupan kita, akan nampak juga dalam topik pembicaraan dan sikap kita sehari- hari dengan anggota keluarga kita. Juga kita akan berusaha untuk memandang keluarga kita dengan cara pandang Kristus, yaitu dengan kasih. Namun kasih ini bukanlah cinta roman menurut dunia, namun seperti tertulis dalam Kitab Suci, “Kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan. Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (1 Kor 13: 4-7). Dengan kasih inilah, kita dapat selalu menemukan kebaikan di dalam diri pasangan kita, dan membangun rasa saling pengertian dengannya, sehingga kita tidak lekas ‘bosan’. Kristuslah yang mempersatukan kita untuk saling menutupi kekurangan kita dan juga untuk saling membangun satu sama lain dengan hal- hal positif yang ada pada diri kita masing- masing.

Pertanyaan Sharing:
1. Sudahkah kalian mengetahui arah tujuan hidup kalian. Sharingkan!
2. Apakah kalian punya panutan akan sosok figur atau sosok pasangan yang kalian kagumi? Dan mengapa kalian mengagumi mereka? Sharingkan!
3. Apakah kalian melihat anggota keluarga kalian berperan sebagai perpanjangan tangan ‘Tuhan’ di kehidupan keluarga kalian? Sharingkan!
4. Mari kita renungkan sejenak, bagi yang sudah/pernah berpasangan (menikah/belum menikah). Dalam keseharian di rumah: Apakah kita sudah menjadi berkat bagi pasangan kita? Apakah wajah kita lebih banyak memancarkan suka cita dan kelemahlembutan, atau duka cita dan kemarahan? Jika kita menghadapi masalah atau kesulitan, apakah kita mencari kehendak Tuhan untuk menyelesaikannya, atau cenderung mengikuti apa saja yang nampaknya enak menurut kehendak sendiri? Sharingkan pengalaman kalian!

Sumber:
http://www.katolisitas.org/perkawinan-katolik-vs-perkawinan-dunia/
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Baltimore_Catechism
Baltimore Catechism
A Catechism of Christian Doctrine, Prepared and Enjoined by Order of the Third Council of Baltimore, or simply the Baltimore Catechism,[1] was the official national catechism for children in the United States of America, based on Robert Bellarmine’s 1614 Small Catechism. The first such catechism written for Catholics in North America, it was the standard Catholic school text in the country from 1885 to the late 1960s. It was officially replaced by the United States Catholic Catechism for Adults in 2004, based on the revised universal Catechism of the Catholic Church.
http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=1265
http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=1617-1622
http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=916
http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=1619-1624
http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=1602
http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=1656