Sesi 46 - Week of 23 Oct 2022

4 Dogma Maria


Intro

Di minggu terakhir di bulan Oktober ini, kita akan membahas tentang Dogma dari Ibu Kita Tercinta, Bunda Maria. Walaupun mungkin kita sudah pernah mendengar/membaca tentang dogma-dogma ini, tetapi dalam sesi CG hari ini kita diajak untuk merenungkannya kembali dan melihat relevansinya bagi hidup kita. Apa saja dogma-dogma Maria dalam Gereja Katolik? Mari kita baca bahan di bawah.

Main Topic

Dogma adalah sebuah pengajaran dari Gereja yang secara implisit maupun eksplisit dinyatakan oleh Kitab Suci atau Tradisi Suci, yang dipercaya oleh umat beriman karena pemakluman agung atau wewenang mengajar yang biasa dari Gereja. Agar sebuah pengajaran bisa menjadi sebuah dogma, kebenaran yang spesifik harus secara formal pernah dinyatakan dan diajarkan oleh Gereja. Dogma adalah pengikat umat beriman. Oleh karena itu, penerimaan dogma diperlukan untuk keselamatan.

4 dogma berikut menyatakan hubungan pribadi Maria dengan Allah dan perannya dalam keselamatan manusia.

Keibuan Ilahi (Divine Motherhood)

Ada berbagai nama yang telah digunakan untuk menjelaskan peran Maria sebagai Bunda Yesus. Dia disebut “Bunda Allah” yang dalam istilah Yunani disebut sebagai “Theotokos” atau “Birthgiver of God” [Yang Melahirkan Allah]. Salah satu gelar yang diberikan kepada Maria adalah Bunda Allah.

Keibuan Ilahi Maria diumumkan pada Konsili Efesus tahun 431. Hal ini perlu dibaca seturut deklarasi Konsili bahwa di dalam Kristus terdapat dua kodrat, satu ilahi dan satu manusia, namun hanya satu orang. Bahkan menurut Konsili, Sang Perawan Suci Maria adalah Bunda Allah karena dia memperanakkan Sabda Allah yang menjadi daging. Keputusan ini dijelaskan lebih lanjut oleh Konsili Khalsedon (451) berkaitan dengan keibuan Ilahi Maria.

Keibuan Ilahi Maria bukanlah objek dari suatu deklarasi dogmatis yang independen atau eksklusif. Pernyataan ini tertanam dalam teks-teks yang mendefinisikan pribadi dan kodrat Yesus Kristus. Dengan demikian, dogma Keibuan Ilahi menjadi bagian integral dari dogma Kristologis. Namun hal ini tidak mengurangi karakternya yang definitif dan mengikat. Dogma Keibuan Ilahi ini secara umum diterima oleh hampir semua denominasi Kristen.

Keperawanan Abadi (Perpetual Virginity)

Gelar Keperawanan Abadi bagi Maria diumumkan pada Konsili Konstantinopel II, tahun 553. Istilah Keperawanan Abadi, perawan-selamanya, atau sederhananya “Maria Sang Perawan” merujuk terutama pada konsepsi dan kelahiran Yesus. Dari rumusan iman yang pertama, khususnya dalam rumusan pembaptisan atau pernyataan iman, Gereja mengakui bahwa Yesus Kristus dikandung tanpa benih manusia melainkan oleh kuasa Roh Kudus. Di sini terletak makna absolut dari ekspresi seperti “dikandung dalam rahim Perawan Maria”, “konsepsi keperawanan Maria”, atau “kelahiran perawan”.

Rumusan pembaptisan awal (sejak abad ke-3) menyatakan keperawanan Maria tanpa penjelasan lebih lanjut, tetapi tidak ada keraguan mengenai arti fisiknya. Laporan selanjutnya secara lebih eksplisit mengatakan bahwa Maria mengandung “tanpa kerusakan apapun pada keperawanannya, yang tetap tidak terjamah bahkan setelah kelahiran-Nya” (Konsili Lateran, 649).

Meskipun tidak pernah dijabarkan secara rinci, Gereja Katolik mempertahankan dogma bahwa Maria tetap Perawan sebelum, selama dan sesudah kelahiran Kristus. Hal ini menekankan konsep yang mendasar mengenai Inkarnasi Yesus dan misi Maria yang eksklusif sebagai bunda dari Putranya, Yesus Kristus. Konsili Vatikan II menegaskan kembali pengajaran mengenai Maria, Sang Perawan-Selamanya, dengan menyatakan bahwa kelahiran Kristus tidak mengurangi keutuhan keperawanan Maria, melainkan menguduskannya.

Dikandung Tanpa Dosa (Immaculate Conception)

Pernyataan resmi mengenai Maria Yang Dikandung Tanpa Dosa, seperti halnya Keibuan Ilahi dan Keperawanan Abadi, dinyatakan sebagai bagian dari doktrin Kristologis, namun dinyatakan sebagai sebuah dogma yang independen oleh Paus Pius IX melalui Konstitusi Apostolik “Ineffabilis Deus” (8 Desember 1854).

Meskipun menyoroti keistimewaan Maria, konstitusi apostolik ini sebenarnya menekankan kemuliaan dan kekudusan yang diperlukan untuk bisa menjadi “Bunda Allah.” Label khusus “Dikandung Tanpa Dosa” ini adalah sumber dan dasar bagi semua kekudusan Maria sebagai Bunda Allah. Lebih tepatnya, dogma Dikandung Tanpa Dosa menyatakan “bahwa Perawan Maria Yang Paling Terberkati, sejak saat pertama dia dikandung, oleh kasih karunia yang luar biasa dan hak istimewa dari Allah Yang Maha Kuasa dan mengingat jasa Yesus Kristus, telah dijaga bebas dari setiap noda dosa asal.”

Dogma ini memiliki dua arti yang saling melengkapi satu sama lain:

  1. Ini menekankan bahwa bebasnya Maria dari dosa asal adalah disebabkan oleh “retroactive/preventive grace” dari aksi penebusan Kristus.
  2. Ini menyatakan kekudusan Maria yang menyeluruh sebagai konsekuensi dari ketiadaan dosa asal. Kehidupan Maria secara permanen dan erat berhubungan dengan Tuhan, dan dengan demikian dia adalah yang mahakudus.

Dalam konteks Maria, perlu diingat bahwa walaupun dia terlahir tanpa dosa dan kehidupannya selalu kudus, tidak berarti bahwa setan tidak mencoba menggoda Maria dan tidak berarti Maria tidak harus melawan godaan setan. Maria juga berperan dalam memilih untuk selalu hidup kudus.

Dosa asal memprovokasi kekacauan dalam pikiran dan perilaku manusia, terutama berkaitan dengan kehadiran Allah dalam hidup kita. Dalam mendeklarasikan Maria yang dikandung tanpa dosa, Gereja melihat Maria sebagai orang yang tidak pernah menolak cinta Allah dalam hal sekecil apapun. Jadi, dogma ini menyatakan bahwa dari awalnya Maria adalah suci dalam persatuan yang tetap dengan rahmat pengudusan dari Roh Kudus.

Gelar Maria Dikandung Tanpa Dosa juga dikukuhkan lewat penampakan Bunda Maria kepada Santa Bernadet. Pada tanggal 25 Maret 1858, Bernadet dengan gembira bergabung kembali dengan wanita tersebut di gua. Sudah 3 minggu berlalu sejak dia melihat wanita itu dan dia tidak tahu apakah wanita tersebut akan muncul lagi. Kali ini dia bertekad untuk mendapatkan nama wanita itu supaya dia dapat memberi tahu Imam Peyramale. Bernadet memang dikenal keras kepala. Dia mengulangi empat kali pertanyaan ini terhadapt : “Maukah Anda dengan baik mengatakan siapa Anda?” Jawabannya pun akhirnya datang: “Aku adalah Yang Dikandung Tanpa Noda”.

Hanya empat tahun sebelumnya yaitu tanggal 8 Desember 1854, Paus Pius IX dalam ensikliknya Ineffabilis Deus mengeluarkan dogma bahwa Bunda Maria dikandung tanpa dosa. Sudah sejak semula umat beriman secara tradisi percaya bahwa Bunda Maria sungguh-sungguh mulia dan tanpa dosa karena mengandung Tuhan sendiri. Tetapi ungkapan teologis “Yang Dikandung Tanpa Dosa/Immaculate Conception” tidak banyak dikenal umat selain para tertahbis yang mendalami teologi dan filsafat. Ketika ungkapan ini keluar dari mulut Bernadet, seorang anak kecil yang bahkan buta huruf, Imam Peyramale baru diyakinkan bahwa wanita itu adalah sungguh-sungguh Perawan Maria Yang Terberkati dan bahwa dia datang meneguhkan dogma Yang Dikandung Tanpa Dosa.

Pengangkatan Maria Ke Surga (Assumption of Mary)

Pembedaan perlu dibuat antara Kenaikan dan Pengangkatan. Yesus Kristus, Putera Allah dan Tuhan Yang Bangkit, telah naik ke Surga, sebuah tanda kekuasaan Ilahi. Maria, sebaliknya, dinaikkan atau diangkat ke Surga oleh kuasa dan kasih karunia Allah. Dogma Pengangkatan Maria dinyatakan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950 dalam Ensiklik Munificentissimus Deus.

Dogma ini menyatakan bahwa “Maria, Bunda Allah Yang Tak Bercela, Perawan Selamanya, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di bumi, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi”. Definisi ini sebagaimana definisi Dikandung Tanpa Dosa, tidak hanya menjadi referensi terhadap persetujuan yang universal, pasti dan tegas dari Magisterium tetapi sudah menjadi keyakinan kaum beriman pada saat itu. Pengangkatan Maria ini telah menjadi bagian dari spiritual Gereja dan warisan doktrinal selama berabad-abad. Dogma ini juga telah menjadi bagian dari refleksi teologis dan dari liturgi serta bagian dari kaum beriman.

Dogma ini tidak secara eksplisit tertulis pada Kitab Suci. Namun, hal itu dinyatakan “terungkap secara ilahi”, yang berarti bahwa hal itu secara implisit terkandung dalam Wahyu Ilahi. Ini mungkin bisa dipahami sebagai kesimpulan logis dari tugas Maria di bumi, dan cara dia menghidupi kehidupannya dalam persatuan dengan Allah dan misinya. Pengangkatan Maria ini bisa dilihat sebagai konsekuensi dari Keibuan Ilahi. Dengan menjadi perantaraan, dan bersama, dan untuk Putranya di bumi, Maria juga melakukan hal yang sama untuk-Nya di surga. Pengangkatannya ini mengatakan kepada kita bahwa hubungan ini berlanjut di Surga. Maria terus menerus dihubungkan dengan Putranya di atas bumi dan di dalam Surga.

Di Surga, keterlibatan aktif Maria dalam sejarah keselamatan berlanjut: “Diangkat ke Surga, dia tidak mengesampingkan tugas penyelamatannya … Dengan cinta kasih keibuannya ia memperhatikan saudara-saudari Puteranya yang masih dalam peziarahan perjalanan di bumi” (LG). Maria adalah “ikon eskatologis Gereja” (KGK 972), yang berarti Maria adalah ikon gereja untuk merenungkan akhir zaman.

Definisi dogma ini tidak mengatakan bagaimana transisi dari kehidupan duniawi Maria ke kehidupan surgawinya itu terjadi. Apakah Maria mati terlebih dahulu? Apakah ia terangkat ke surga tanpa terpisahnya jiwa dari tubuh terlebih dahulu? Pertanyaan itu tetap terbuka untuk diskusi. Namun, pendapat bahwa Maria melewati kematian sebagaimana Putranya alami, memiliki dukungan yang lebih kuat dalam tradisi. Dimuliakan dalam tubuh dan jiwa, Maria sudah berada dalam kondisi yang akan menjadi milik kita setelah kebangkitan orang mati.

Dengan diangkatnya Maria ke surga, kita juga mempunyai harapan untuk diangkat ke surga seperti Maria. Berikut adalah kutipan dari homili Paus Emeritus Benediktus XVI:

By contemplating Mary in heavenly glory, we understand that the earth is not the definitive homeland for us either, and that if we live with our gaze fixed on eternal goods we will one day share in this same glory and the earth will become more beautiful.

Consequently, we must not lose our serenity and peace even amid the thousands of daily difficulties. The luminous sign of Our Lady taken up into Heaven shines out even more brightly when sad shadows of suffering and violence seem to loom on the horizon.

We may be sure of it: from on high, Mary follows our footsteps with gentle concern, dispels the gloom in moments of darkness and distress, reassures us with her motherly hand.

Supported by awareness of this, let us continue confidently on our path of Christian commitment wherever Providence may lead us. Let us forge ahead in our lives under Mary’s guidance [General Audience, August 16, 2006].

Kesimpulan

Walaupun bukan hal yang mudah bagi kita untuk dapat memahami dogma-dogma di atas, marilah kita berdoa mohon dampingan Roh Kudus agar kita dapat memahami peranan Maria yang begitu besar dalam karya keselamatan Tuhan dan menempatkan Bunda Maria sebagai role model kita dalam menjawab panggilan Tuhan dan menjalani tugas yang telah diberikan-Nya kepada kita.

Marilah kita doakan “Salam Ya Ratu”
Salam, ya Ratu, Bunda yang berbelas kasih, hidup, hiburan dan harapan kami. Kami semua memanjatkan permohonan, kami amat susah, mengeluh, mengesah dalam lembah duka ini. Ya Ibunda, ya pelindung kami, limpahkanlah kasih sayangmu yang besar kepada kami. Dan Yesus, Puteramu yang terpuji itu, semoga kau tunjukkan kepada kami.

O Ratu, O Ibu, O Maria, Bunda Kristus Doakanlah kami, ya Santa Bunda Allah Supaya kami dapat menikmati janji Kristus

Pertanyaan Sharing

  1. Bagaimana kamu memandang Maria sebagai ibumu? Apakah ada kesamaan dengan bagaimana kamu memandang ibumu sendiri?
  2. Menurutmu, apakah arti pengangkatan Maria ke surga bagi manusia?
  3. Dari 4 Dogma Maria di atas, dogma manakah yang paling berkesan/yang paling sulit untuk dipahami bagimu? Sharingkan.

Referensi