2014 Sesi 40 Week of 10th Nov 2014 Mencapai Kebahagiaan


 [2014] Sesi 40 – Week of 10 Nov 2014

Mencapai Kebahagiaan 
 
Intro
 
Banyak orang berusaha mencari kebahagiaan sejati dan abadi, tetapi mereka mencari di tempat yang salah. Sangat mudah untuk disesatkan dan menjadi percaya bahwa kebahagiaan ditemukan dalam uang, pangkat, atau kesusksesan. Di sesi ini kita akan belajar dari Uskup Agung Fulton J. Sheen melalui bukunya “Way to Happiness” tentang bagaimana kita bisa mendapat kebahagiaan dalam kehidupan kita di dunia. 
 
Pertanyaan sharing #1
Apa kamu merasa bahagia? Sharingkan hal-hal apa yang membuat kamu merasa bahagia atau tidak bahagia.
 
Main Discussion
 
Beberapa cara berikut ini bisa membantu kita untuk mendapat kebahagiaan dalam kehidupan kita di dunia.
 
1. Kepuasan (Contentment)
 
Kepuasan bukan suatu kebajikan bawaan. Itu diperoleh melalui ketekunan untuk menaklukkan keinginan-keinginan yang sukar dikendalikan. Karena banyak sekali manusia yang merasa tidak puas di jaman sekarang, mari kita lihat beberapa alasan yang menyebabkan rasa ketidakpuasan itu dan mencari jalan untuk mengatasinya.
 
Penyebab utama ketidakpuasan adalah egoisme, yang menempatkankan diri sebagai objek utama yang orang lain harus berputar mengitarinya. Penyebab kedua dari ketidakpuasan adalah iri hati, yang membuat kita membenci orang lain yang memiliki apa yang kita inginkan, dan menganggap harta dan bakat orang lain seolah-olah sesuatu yang telah dicuri dari kita. Penyebab ketiga adalah ketamakan, atau keinginan kuat untuk memiliki lebih banyak lagi, untuk mengganti kekosongan dalam hati kita. 
 
Salah satu kesalahan terbesar adalah berpikir bahwa kepuasan berasal dari sesuatu di luar kita dan bukan dari kualitas jiwa kita. Ada seorang anak yang menginginkan kelereng. Ketika dia memiliki kelereng, dia menginginkan bola. Ketika dia memiliki kelereng dan bola, dia menginginkan layang-layang. Dan ketika dia sudah memiliki kelereng, bola, dan layang-layang, dia masih tidak senang. Mencoba untuk membuat orang yang tidak pernah puas bahagia adalah seperti mencoba untuk mengisi ayak dengan air; tidak peduli betap banyak air yang kita tuangkan ke dalamnya, air akan mengalir keluar terlalu cepat sebelum kita mengisinya kembali.
 
Kepuasan, oleh karena itu, sebagian berasal dari iman – yaitu, dari mengetahui tujuan hidup kita dan meyakini bahwa apa pun cobaan yang kita hadapi, mereka datang dari tangan Bapa Tercinta. Kedua, untuk memiliki kepuasan kita juga harus memiliki hati nurani yang baik. Jika batin tidak bahagia karena moral yang tidak baik dan rasa bersalah yang belum terselesaikan, maka tidak akan ada sesuatu eksternal yang dapat memberikan istirahat bagi jiwa. Persyaratan terakhir adalah membatasi diri dari kenikmatan (ini akan kita bahas lebih lanjut lagi di bagian ketiga nanti). 
 
Rasa puas dengan kondisi duniawi kita saat ini bukan berarti tidak mempunyai keinginan untuk mendapatkan yang lebih baik. Bagi orang miskin, Katolik tidak mengajarkan untuk hanya menjadi puas diri, tetapi juga harus rajin bekerja. Jadi kepuasan itu relatif dengan kondisi kita yang sekarang dan bukan hal yang mutlak. Seorang yang puas diri tidak pernah miskin meskipun ia memiliki sangat sedikit. Orang yang tidak puas tidak pernah menjadi kaya, walaupun sebenarnya dia memiliki sangat banyak.
 
Pertanyaan sharing #2
Sharingkan pengalamanmu apa kamu pernah merasa di pekerjaan atau studi kamu selalu dituntut untuk tidak boleh puas dan harus selalu memperbaiki diri? Apa yang akan atau sudah kamu lakukan untuk mendapatkan rasa kepuasan dan kebahagiaan?
 
2. Kerendahan hati (Humility)
 
Orang yang menyombongkan dirinya sebenarnya berusaha untuk menciptakan impresi bahwa dia adalah seseorang yang sebenarnya bukan dirinya. Kerendahan hati adalah kebenaran tentang diri kita. Seorang pria yang tingginya enam meter, tapi yang mengatakan: "tinggi saya hanya lima meter," tidak rendah hati. Seorang penulis yang hebat tidak rendah hati jika dia mengatakan: "aku menulis sajak yang buruk." Pernyataan seperti itu dibuat dengan harapan ada penolakan dari orang lain dan dengan demikian mendapatkan pujian. Sebaliknya seseorang yang rendah hati akan mengatakan: "Yah, bakat apa pun yang saya miliki adalah pemberian Allah dan saya berterima kasih kepada-Nya untuk itu." Kita harus meniru seperti Yohanes Pembaptis yang mengatakan ketika ia melihat Tuhan Yesus: "Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil. " (Yohanes 3:30)
 
Satu tes dari kerendahan hati yang sejati adalah sikap kita terhadap pujian. Orang yang rendah hati akan mengembalikan segala pujian kepada Allah. Jika dia punya talenta, dia tahu bahwa Allah memberikan itu kepada dia, dan bahwa talenta itu harus digunakan untuk melayani pemilik nya yang sebenarnya, yaitu Allah. Dari sudut pandang spiritual, orang yang bangga akan kecerdasan, bakat atau suara nya, dan tidak pernah bersyukur kepada Allah, mereka adalah perampok; ia telah mengambil karunia dari Allah dan tidak pernah mengakui sang Pemberi. Seseorang yang rendah hati menerima berkat dan musibah sebagai hadiah dari Allah. Dia tahu baik pahit dan manis dikirim oleh Allah yang mengasihi dia. Seperti kata Ayub, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, Terpujilah nama Tuhan" (Ayub 1:21). 
 
Orang yang rendah hati berkonsentrasi pada kesalahan sendiri, dan bukan pada orang lain; ia cuma melihat apa yang baik dan berbudi luhur di sesamanya. Dia tidak membawa kesalahan sendiri di punggungnya, tapi di depannya. Kesalahan orang lain ia bawa dalam karung di punggungnya, sehingga ia tidak akan melihat nya. Seseorang yang sombong, sebaliknya, mengeluh terhadap semua orang dan percaya bahwa ia telah dirugikan atau orang lain tidak memperlakukan dia dengan layak. Ketika seseorang rendah hati diperlakukan dengan tidak baik, dia tidak mengeluh karena ia tahu bahwa ia diperlakukan lebih baik daripada yang dia layak. 
 
Kerendahan hati mengosongkan jiwa dari kesombongan dan keegoisan, sehingga membuat ruang untuk masuknya Kebenaran dan Kasih Allah. Orang yang rendah hati tidak pernah putus asa, tapi orang sombong jatuh dalam keputusasaan. Orang yang rendah hati masih memiliki Tuhan untuk membantu dia; orang yang sombong hanya memiliki egonya sendiri yang telah kempes. “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Lukas 14:11). 
 
Perintah untuk menjadi rendah hati tidak berarti kita harus menjalani hidup dengan rendah diri. Kita tidak mencari lembah penghinaan untuk meringkuk di sana dalam kegelapan, melainkan agar, dari lembah itu, kita bisa melihat gunung Allah dan menemukan peninggian kita di sana. Contoh yang sempurna bisa dilihat dari Bunda Maria yang mengatakan “sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya” (Lukas 1:48). Karena kerendahan hati Bunda Maria, Tuhan Allah meninggikan Bunda Maria di atas semua makhluk. 
 
Salah satu doa terindah untuk kerendahan hati adalah doa dari Santo Fransiskus: “Tuhan, Jadikanlah aku pembawa damai. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Tuhan semoga aku ingin menghibur dari pada dihibur, memahami dari pada dipahami, mencintai dari pada dicintai. Sebab, dengan memberi aku menerima, dengan mengampuni aku diampuni, dengan mati suci aku bangkit lagi, untuk hidup selama-lamanya.”
 
Pertanyaan sharing #3
Apakah kamu pernah melakukan suatu tindakan yang mencerminkan kerendahan hati, misalnya mengakui kesalahan yang telah kamu lakukan, memaafkan kesalahan orang lain, atau memakai talenta yang telah Tuhan berikan kepadamu untuk pelayanan di Gereja? Apa yang kamu rasakan setelah itu?
 
3. Melepaskan diri dari hal-hal eksternal dan membatasi diri dari kesenangan (Detachment to external things and moderation of pleasures)
 
Banyak orang berpikir kalau kehidupan mereka tampaknya biasa-biasa saja dan mungkin malah membosankan. Mereka bertanya-tanya mengapa mereka tidak bisa berkembang, memperbaiki diri, atau belajar hal baru. Mereka ingin tahu bagaimana untuk keluar dari kebosanan itu. Jawaban untuk masalah ini sebenarnya sederhana, meskipun penerapannya tidak pernah mudah. Kita memerlukan sikap melepaskan diri dari hal-hal keduniawian.
 
Hal melepaskan diri adalah seperti memotong semua tali yang mengikat kita ke tanah, sehingga memungkinkan jiwa untuk naik keatas terikat terhadap Allah. Setiap kali kita menjadi tergantung pada hal eksternal (seperti pesta-pesta minuman keras, warta berita yang terbaru), sehingga kita tidak bisa menemukan kebahagiaan tanpa itu, kehidupan batin kita akan menyusut: semua "ekstra" yang tubuh harus miliki akan membebani jiwa. Ungkapan "saya dapat mengambil atau meninggalkannya" (“I can take it or leave it”) adalah satu sikap yang baik untuk diterapkan ke semua aspek hidup kita. 
 
 
Rahasia hidup bahagia adalah moderasi kesenangan kita untuk meningkatkan sukacita. Namun beberapa praktek-praktek modern membuat hal itu sulit bagi kita. Salah satunya adalah iklan-iklan yang mencoba untuk membohongi kita kalau apa yang kita butuhkan adalah lebih banyak barang, lebih banyak kesenangan, lebih banyak hiburan, dan lain-lain. CCC 2290 mengajarkan “Kebajikan penguasaan diri menjauhkan segala bentuk keterlaluan: tiap penggunaan makanan, minuman, rokok, dan obat-obatan yang berlebihan.” Hal-hal sederhana, seperti minum minuman beralkohol (bagi seorang peminum), harus dipertimbangkan baik-baik setiap kali keinginan untuk melakukan hal itu muncul. Bahkan kesenangan yang sah dan tidak berbahaya juga kadang-kadang harus ditolak, sehingga kita tidak dimiliki oleh kesenangan atau keinginan egois kita. 
 
Manusia yang egois melihat penolakan apapun dari keinginan mereka sebagai suatu bencana. Mereka ingin mendominasi dan mengontrol dunia mereka, seperti mengontrol tali-tali di boneka golek, dan memaksa orang lain untuk menaati kehendak mereka. Jika keinginan ego seseorang bersilangan dan dibatasi oleh ego lain, orang itu akan menjadi putus asa. Kesempatan untuk merasa putus asa dan sedih akan menjadi semakin besar, karena kita pastinya tidak akan selalu mendapat apa yang kita mau. Itu adalah pilihan kita apakah kita bisa menerima nya dengan baik dan ceria atau kita menjadi marah karena menganggap itu sebagai suatu pelanggaran atas diri kita. 
 
Mari kita lihat salah satu filsafat tentang kesenangan. Jika kita pernah mengalami waktu yang menyenangakan, kita tidak bisa merencanakan agar hidup kita cuma mengalami hal-hal yang menyenangkan itu saja. Kesenangan adalah seperti kecantikan, disadari dari kondisi sebaliknya (kontras). Seorang wanita yang ingin memamerkan gaun hitamnya (jika dia bijaksana) tidak akan berdiri di depan tirai hitam, tetapi di depan tirai putih. Kembang api tidak akan menyenangkan jika mereka ditembakkan dengan latar belakang api, atau dalam kobaran matahari siang; mereka harus menonjol di dalam kegelapan. Suatu kontras diperlukan untuk membantu kita melihat masing-masing hal dengan jelas.
 
Kesenangan, berdasarkan prinsip yang sama, akan dinikmati lebih ketika datang sebagai "suguhan," berlawanan dengan pengalaman kita yang kurang menyenangkan. Kita membuat kesalahan besar jika kita mencoba untuk berpesta setiap malam. Kita tidak akan menikmati Malam Tahun Baru jika kita sudah meniup terompet di tengah malam setiap malam. Kita bisa menikmati hidup lebih jika kita mengikuti ajaran spiritual untuk membawa penyangkalan diri ke dalam hidup kita. 
 
Sebuah kitab dalam Injil yang berbicara tentang masalah moderasi adalah Pengkhotbah. Raja Salomo adalah raja paling bijaksana yang pernah memerintah atas Israel, dan ia bereksperimen dengan kesenangan yang berlebihan. Kita bisa belajar banyak dari kesimpulan dari raja yang bijaksana ini. Dalam Pengkhotbah 2, Raja Salomo mendaftar banyak kesenangan yang ia kejar: "Aku tidak merintangi mataku dari apapun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apapun, sebab hatiku bersukacita karena segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku." (ayat 10). Namun, pada akhirnya, dia tidak merasa puas: " Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari. "(ayat 11). Kesimpulan Salomo adalah bahwa setiap usahanya terbukti sia-sia. Itu adalah karunia Allah untuk bisa menikmati kehidupan dan karunia-Nya (lihat Pengkhotbah 5:19). Jika kita menghargai kesenangan duniawi lebih dari menghargai Tuhan, kita tidak akan pernah puas karena hati kita sebenarnya memerlukan Tuhan sendiri. 
 
Pertanyaan sharing #4
Sharingkan keterikatan-keterikatanan akan hal-hal eksternal apa (misalnya, uang, pangkat, atau kesuksesan) yang ingin kamu kurangi untuk meningkatkan sukacitamu?
 
Referensi: 
– Fulton J Sheen. Way to Happiness. Garden City, NY, 1954.